tirto.id - Pada awal Mei 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyewa firma PR terkemuka, Hill+Knowlton Strategies, untuk melawan propaganda negatif Covid-19 di Amerika Serikat.
Tindakan ini diambil setelah sejumlah pihak menyebut pandemi Covid-19 sebagai konspirasi, dan vaksinnya disebut-sebut sebagai obat palsu yang tidak efektif.
WHO menandatangani kontrak senilai $135.000 untuk merancang strategi pesan publik. Hill+Knowlton Strategies menulis dalam proposalnya kepada WHO bahwa ada kritik dan klaim yang dilontarkan terhadap organisasi tersebut serta liputan media yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap WHO.
Firma PR itu menyarankan untuk mengidentifikasi tiga tingkatan influencer: (1) pesohor dengan pengikut media sosial yang besar, (2) individu dengan pengikut yang lebih kecil tetapi sering terlibat dalam percakapan, dan (3) para pengguna dengan sedikit pengikut tetapi "tetap membentuk dan memandu opini publik".
Pada tahun 1990, Hill+Knowlton Strategies terlibat dalam kontroversi yang menyebabkan intervensi militer AS di kawasan Teluk.
Perusahaan ini membantu mempersiapkan kesaksian Nayirah, seorang gadis remaja Kuwait, di hadapan Kongres Amerika Serikat yang menggambarkan bahwa tentara Irak melakukan kekejaman selama invasi Irak ke Kuwait.
Namun, belakangan terungkap bahwa Nayirah adalah putri dari Duta Besar Kuwait untuk AS, ceritanya palsu, dan tidak dapat diverifikasi sepenuhnya.
Operasi Badai Gurun
Tanggal 2 Agustus 1990, pasukan Irak menyerbu dan menduduki Kuwait. Alasan utama di balik invasi ini adalah permasalahan perbatasan, sengketa wilayah, dan masalah ekonomi yang melibatkan kedua negara.
Selain itu, invasi juga dipicu oleh ketegangan politik dan persaingan di wilayah Teluk Persia yang kaya akan minyak. Irak menuduh Kuwait telah mencuri minyak dari ladang minyak bersama di perbatasan kedua negara.
Amerika Serikat secara tegas menentang dan mengutuk invasi tersebut. Presiden George H.W. Bush menyatakan invasi itu sebagai "pencurian, penjarahan, dan perampokan" dan menyatakan bahwa agresi Irak harus dihentikan.
AS segera menetapkan berbagai sanksi ekonomi terhadap Irak, termasuk larangan perdagangan minyak dan pembekuan aset militer Irak di AS.
Paman Sam juga memimpin upaya diplomatik untuk membentuk koalisi internasional dalam menentang invasi dan membebaskan Kuwait. Tidak seperti intervensi militer sebelumnya di Grenada dan Panama, mengalahkan tentara Irak akan membutuhkan mobilisasi besar-besaran dan mahal. Maka itu Pemerintah AS perlu membangun dukungan publik untuk perang.
Beberapa minggu setelah invasi, AS bersama dengan negara-negara lain membentuk koalisi internasional yang mendukung Resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut penarikan pasukan Irak dari Kuwait.
AS juga mulai mengirim pasukan militer ke wilayah Teluk Persia sebagai langkah pencegahan dan mendukung kehadiran pasukan koalisi di kawasan tersebut.
Pada November 1990, PBB mengeluarkan Resolusi 678 yang memberikan kuasa untuk menggunakan kekuatan militer jika Irak tidak menarik pasukannya dari Kuwait pada tanggal 15 Januari 1991.
Resolusi ini memberikan landasan hukum bagi pasukan koalisi untuk melancarkan Operasi Badai Gurun pada Januari 1991.
Kesaksian Palsu Nayirah
Hill+Knowlton Strategies merupakan perusahaan konsultan komunikasi global yang didirikan pada tahun 1927 oleh John W. Hill dan Donald Knowlton. Perusahaan ini beroperasi dan memiliki klien di sejumlah negara, termasuk Arab Saudi, Turki, Haiti, dan Angola, serta mewakili berbagai badan amal dan yayasan.
Mereka memiliki tim ahli yang terlatih dalam merancang pesan-pesan persuasif dan menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memengaruhi opini publik dan pemimpin politik.
Pemerintah Kuwait menyadari bahwa upaya mereka untuk memengaruhi opini internasional akan lebih efektif jika didukung oleh perusahaan dengan pengalaman dan cakupan internasional.
Dalam kasus Nayirah, peran Hill+Knowlton Strategies membantu memastikan bahwa identitas sebenarnya si gadis tidak terungkap secara langsung. Mereka mampu merancang narasi yang menggerakkan emosi dan membantu Pemerintah Kuwait dalam menyampaikan pesan secara efektif.
Nayirah adalah nama samaran yang digunakan seorang perempuan Kuwait berusia 15 tahun yang mengaku telah melihat pasukan Irak membunuh bayi-bayi di rumah sakit Kuwait. Dia bersaksi di hadapan Kaukus Hak Asasi Manusia Kongres pada 10 Oktober 1990.
Pada minggu kedua setelah invasi Irak, ia mengaku menjadi sukarelawan di Rumah Sakit Al-Addan bersama dua belas relawan perempuan lainnya.
“Ketika saya berada di sana, saya melihat tentara Irak datang ke rumah sakit dengan senjata. Mereka mengeluarkan bayi-bayi itu dari inkubator, mengambil inkubator dan meninggalkan anak-anak mati di lantai yang dingin,” ujar Nayirah sembari terisak.
Dalam kesempatan itu, Nayirah mengatakan telah membagikan sejumlah selebaran yang mengutuk perilaku dan kekejaman tentara Irak selama invasi, lalu menghadapi pelecehan verbal dan fisik atas diri dan keluarganya sehingga harus meninggalkan Kuwait.
Kesaksian Nayirah lantas dikutip oleh para senator dan diulangi oleh Presiden George H.W. Bush sebanyak enam kali dalam satu bulan, khususnya mengenai bayi-bayi dalam inkubator yang dibunuh.
Dalihnya digunakan untuk membenarkan invasi Amerika Serikat ke Irak tiga bulan kemudian dengan jargon pembebasan Kuwait.
Propaganda Media
Kampanye PR Hill+Knowlton Strategies tentang kesaksian Nayirah didistribusikan ke stasiun-stasiun televisi Amerika Serikat dan sukses menghasilkan jutaan dolar.
Sebelum kesaksian Nayirah muncul, dukungan masyarakat AS terhadap campur tangan militer AS dalam konflik antara Irak dan Kuwait relatif rendah. Sebagian besar warga memilih pendekatan isolasionisme dan enggan untuk terlibat secara langsung dalam konflik-konflik asing.
Meskipun invasi Irak ke Kuwait telah menarik perhatian internasional dan menyebabkan kecaman global, masyarakat AS secara umum cenderung lebih fokus pada masalah-masalah domestik dan tidak begitu antusias terlibat dalam perang di wilayah Timur Tengah.
Kesaksian Nayirah yang dramatis disiarkan hampir di setiap berita, menyentuh emosi banyak orang, membangkitkan rasa empati, dan kemarahan terhadap tindakan brutal yang dilaporkan terjadi di Kuwait. Berita tentang kesaksian ini menyebar cepat dan menyulut kemarahan publik.
Beberapa media melaporkan dugaan pencurian inkubator dan bayi yang dibiarkan mati. The Compost, NPR, dan U.S. News & World Report termasuk di antara outlet yang menerbitkan tuduhan tersebut.
Dilansir The New York Timesedisi 17 Januari 1992, tuduhan terhadap tentara Irak yang mengeluarkan bayi dari inkubator juga disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB oleh Dr. Ibrahim Behbehani, kepala Bulan Sabit Merah.
Pada 17 Januari 1991, koalisi internasional di bawah pimpinan Amerika Serikat melancarkan serangan udara besar-besaran terhadap posisi militer Irak di Kuwait.
John Rick MacArthur, presiden dan penerbit Harper's Magazine, dalam bukunya Second Front: Censorship and Propaganda in Gulf War (1992) menyebutkan bahwa lanskap media seketika sangat berbeda ketika Bush mulai mengumumkan pengiriman pasukan ke kawasan Teluk.
MacArthur mengkaji peran manipulasi dan sensor media di mana Pemerintah AS dan militer memiliki kendali atas akses media selama konflik, sehingga mereka dapat mengendalikan narasi dan informasi yang disajikan kepada masyarakat.
Pentagon menerapkan kontrol ketat terhadap jurnalis selama Perang Teluk, memastikan tidak ada laporan tanpa sensor yang sampai ke publik AS. Mereka juga sukses membangun citra prajurit AS lewat pernyataan-pernyataan Jenderal Norman Schwarzkopf dalam setiap jumpa pers dengan pemaparan rekaman maupun siaran langsung video mengenai kondisi terakhir di area pertempuran.
Sementara itu, Hill+Knowlton Strategies bekerja rapi dengan cara mengatur wawancara media, mengorganisasi rapat umum, dan menghubungi politikus untuk mendukung Kuwait. Mereka juga mendistribusikan rilis berita dan perlengkapan informasi serta terlibat dengan kampus-kampus di seluruh AS.
Dampak pembingkaian yang dilakukan pemerintah, milter, dan media AS, plus dukungan Hill+Knowlton Strategies: pandangan masyarakat berubah dan menganggap intervensi militer AS adalah langkah yang benar untuk memperjuangkan hak asasi manusia serta membebaskan Kuwait dari Irak.
Temuan Investigasi
Serangan besar-besaran yang dipimpin AS memaksa Irak menerima gencatan senjata pada 28 Februari 1991. Hasilnya, tentara koalisi berhasil mengusir pasukan Irak dari Kuwait dan mengakhiri Perang Teluk.
Setelah Perang Teluk berakhir, beberapa media dan peneliti mulai menyelidiki latar belakang dan kebenaran kesaksian Nayirah yang disampaikan di hadapan Komisi HAM AS pada bulan Oktober 1990.
Yang paling awal membuat laporan adalah Amnesty International, satu bulan sebelum perang usai. Mereka yang awalnya menguatkan cerita Nayirah kemudian mengeluarkan koreksi dan menuduh Bush telah melakukan manipulasi oportunistik.
Dalam proses investigasi lain, fakta-fakta baru muncul yang menyatakan bahwa kesaksian Nayirah diduga dibuat-buat dan diatur oleh Hill+Knowlton Strategies atas permintaan Pemerintah Kuwait.
Temuan lainnya menyebut adanya konflik kepentingan. Craig Fuller merupakan salah satu teman dekat dan penasihat Bush yang menjalankan kantor Hill+Knowlton Strategies di Washington. Selain itu, Hill+Knowlton Strategies juga mempertahankan tim Demokrat yang terhubung dengan baik untuk mengembangkan dukungan bipartisan selama perang.
Temuan investigasi yang cukup penting dan tidak pernah dipertanyakan media ialah fakta bahwa Nayirah adalah putri dari Saud Nasir Al-Sabah yang saat itu menjabat sebagai Duta Besar Kuwait untuk Amerika Serikat.
Cerita palsu Nayirah merupakan propaganda yang direkayasa untuk memengaruhi opini publik.
Setelah kejadian itu, banyak orang Timur Tengah percaya bahwa Barat juga mendorong Irak dan Iran untuk berperang satu sama lain sehingga kendali atas wilayah tersebut tetap bisa dipertahankan.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi