tirto.id - Pada April 2017, Anthony Levandowski duduk termangu dikelilingi sejumlah pengacara yang mendampingi dan yang menyerangnya. Wakil Direktur Teknik Divisi Mobil Swakemudi Uber itu menjadi pesakitan. Setelah menanggalkan statusnya sebagai karyawan terpenting Google dalam mengembangkan Waymo pada 2016 untuk kemudian mendirikan startup yang bekerja menciptakan truk swakemudi bernama Otto, ia dituduh mencuri properti intelektual milik Google. Khususnya terkait paten-paten di bidang self-driving car alias autonomous vehicle.
Properti intelektual yang ia curi diklaim Google terbungkus dalam 14.000 dokumen digital, dan dilarikan Levandowski ke server milik Uber--setelah Uber membeli Otto sehari setelah pendirian. Ini membuat Uber--perusahaan yang memercik revolusi digital bernama "ride-hailing"--tiba-tiba memiliki kemampuan tingkat tinggi pada mobil swakemudi yang dikembangkan. Mereka tak jauh tertinggal dibandingkan Waymo yang didirikan hampir satu dekade sebelumnya.
Diwakili oleh kantor hukum Quinn Emanuel Urquhart & Sullivan, Google tak terima dengan kelakuan Levandowski. Sebagaimana dipaparkan Michael Fallon dalam Self-Driving Cars: The New Way Forward (2018), mobil swakemudi adalah masa depan, persis seperti masyarakat 1970-an dan 1980-an melihat internet atau Steve Jobs melihat smartphone. Jika teknologi masa depan dapat dikuasai, maka dunia dapat dikuasai pula. Google menuntut Levandowski mengakui bahwa properti intelektual milik Google ia curi untuk membantu Uber mengembangkan mobil swakemudi.
Agar Levandowski mengaku, para pengacara yang ditunjuk Google mencecarnya dengan ratusan pertanyaan, dari hal remeh-temeh hingga yang serius.
"Pak Lewandowski, saat ini Anda bekerja di mana dan apa posisi pekerjaan Anda saat ini?" tanya pengacara pengacara yang mewakili Google.
"Bekerja di Uber. Bekerja sebagai Wakil Direktur Teknik," jawab Lewandowski tegas.
Jawaban itu langsung disambar pengacara Google, "Apa tanggung jawab Anda sebagai Wakil Direktur Teknik?"
Levandowski menarik secarik kertas dari tangan pengacara yang mendampinginya, lalu lantang menjawab, "Atas saran dan arahan penasihat hukum saya, saya dengan hormat menolak untuk menjawab pertanyaan tersebut, sesuai dengan hak-hak yang dijamin kepada saya berdasarkan Amandemen Kelima Undang-Undang Dasar Amerika Serikat."
Jawaban itu diulangi Levandowski untuk menjawab 387 pertanyaan lanjutan yang diterimanya.
Di penghujung peristiwa hukum bertajuk "Anthony Levandowski v. Google" ini--seakan ingin membuat Levandowski memberi jawaban di luar tameng "Amandeman Kelima"--pengacara Google memberi pertanyaan di luar tema sengketa. Sebuah pertanyaan yang memercik ingatan Levandowski, pertanyaan yang mengungkap asal-usul teknologi mobil swakemudi.
"Pak Levandowski, ketika Anda masih berstatus sebagai mahasiswa University of California di Berkeley, apakah Anda pernah mendengar sesuatu tentang DARPA Grand Challenge?"
Perang Teluk dan 9/11 Memaksa Paman Sam Mengembangkan Mobil Swakemudi
Setelah Uni Soviet berhasil menempatkan Sputnik di atmosfer pada tahun 1957, Amerika Serikat khawatir satelit tiruan tersebut digunakan sebagai senjata, atau alat mata-mata untuk melawan mereka. Dwight D. Eisenhower, mantan Kepala Markas Besar Tertinggi Pasukan Ekspedisioner Sekutu pada Perang Dunia II yang akhirnya menjadi Presiden AS sejak 1953 hingga 1961, lantas membentuk Defance Advanced Research Project Agency (DARPA) sebagai respons atas kehadiran Sputnik.
Sebagaimana dikisahkan Annie Jacobsen dalam The Pentagon's Brain: An Uncensored History of DARPA, America's Top-Secret Military Research Agency (2015), respons tersebut agar "AS tak lagi dikejutkan oleh kehadiran teknologi Soviet," terang Eisenhower.
Awalnya, karena dibentuk atas kehadiran Sputnik, DARPA bertindak selayaknya "space agency" (agensi antariksa) yang bekerja untuk menciptakan teknologi luar angkasa bagi Paman Sam. Namun, karena kemudian AS mendirikan National Aeronautics and Space Administration (NASA), maka DARPA berputar haluan.
Didukung dana melimpah atas restu Kongres serta kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan Angkatan Darat, Angkatan Laut, serta Angkatan Udara, mereka mengembangkan proyek-proyek teknologi persenjataan, yakni misil serta roket sebagai alat pertahanan, baik di dalam negeri maupun untuk melindungi sekutu AS di Asia dari kemungkinan hantaman nuklir Soviet.
Namun, sadar bahwa misil atau roket terlalu rumit untuk dikembangkan serta tak terlalu efisien untuk melawan nuklir Soviet, maka DARPA menghentikan proyek ini. Mereka lalu mengembangkan teknologi pendeteksi getaran Bumi (seismometer). Alat ini akhirnya dipasang di seluruh dunia (negara-negara pro AS) untuk mendeteksi getaran hasil ujicoba/peluncuran nuklir Soviet.
Ditunjuknya Joseph Carl Robnett Licklider pada 1961 untuk memimpin DARPA menggantikan kekuasaan Jenderal-Jenderal Pentagon, maka lembaga ini menjadi salah satu institusi yang paling berpengaruh, bukan hanya di AS tapi di seluruh dunia.
Ini terjadi karena Licklider melakukan reformasi besar-besaran, yakni bekerja sama dengan ilmuwan-ilmuwan cemerlang dari Massachusetts Institute of Technology, Stanford University, dan lembaga intelektual bentukannya sendiri, yaitu RAND. Reformasi ini berhasil membuat DARPA menciptakan teknologi mutakhir semisal GPS dan internet.
Ketika Soviet akhirnya bubar pada awal 1990-an, DARPA seakan kehilangan gairah untuk membuat teknologi baru. Hingga akhirnya terjadi peristiwa 9/11 dan AS menginvasi Irak.
Dalam "safari militer" AS pasca serangan 11 September 2001, sebagaimana dikisahkan Alex Davies dalam Driven: The Race to Create the Autonomous Car (2020), timbul strategi baru dalam peperangan. Strategi yang diberdayakan oleh drone atau pesawat tanpa awak ini menjadi hobi baru AS dalam menyerang lawan-lawannya.
Merujuk laporan yang dipublikasikan The Bureau of Investigation Journalism, drone di bawah Pemerintahan Bush senior hingga Barack Obama, digunakan tak kurang dari 1.000 serangan di Pakistan, Somalia, Yaman, Irak, Afganistan, dan berbagai negara lainnya. Selain membunuh para kombatan bidikan AS, juga membuat sekitar 384 hingga 807 orang warga sipil tewas.
Secara kasatmata, hobi AS menghancurkan musuh-musuhnya dari jarak jauh melalui drone memang berhasil. Namun, kembali merujuk Davies, timbul kemarahan publik Timur Tengah terhadap AS. Kemarahan yang dilampiaskan lewat serangan balasan yang dilakukan dengan strategi gerilya.
Pentagon tentu tak terima dengan serangan balasan terhadap pasukannya di Timur Tengah. Maka, diinisiasi oleh Senator asal Virginia bernama John Warner, DARPA diperintahkan untuk menciptakan teknologi baru, yakni drone yang berjalan di darat alias self-driving car.
Melalui perintah resmi yang terangkum dalam anggaran pertahanan, The Floyd D. Spencer National Defence Authorization Act for Fiscal Year 2001, proses pengembangan self-driving car pun dimulai. Proses ini pertama-tama dilakukan melalui DARPA Grand Challenge. Suatu perlombaan mobil swakemudi ala akademisi/mahasiswa AS yang diikuti oleh Anthony Levandowski.
"Ibu saya tahu bahwa saya sangat mencintai robot," terang Levandowski dalam sesi tanya-jawab antara dirinya dengan deretan pengacara Google dalam kerangka proses hukum Anthony Levandowski v. Google pada 2017.
"Ketika ibu tahu ada acara itu, saya disuruh ikut dan saya akhirnya menang di acara tersebut."
"Silakan cek di [museum] Smithsonian, mobil swakemudi pertama buatan saya ada di sana," jawab Levandowski dengan senyum semringah.
Editor: Irfan Teguh Pribadi