tirto.id - Apakah mungkin mobil swakemudi hadir di jalanan Indonesia? Jawabannya adalah mungkin karena sesungguhnya ia pernah eksis di sini, tepatnya pada gelaran Asian Games 2018 silam. Ketika itu, seturut pemberitaan Suara, Telkomsel—sebagai salah satu sponsor kejuaraan—menghadirkan "bus hantu" bikinan Navya, Prancis.
Kendaraan itu bisa mengangkut 15 orang dan sebelumnya telah dioperasikan di wilayah Nanyang Technological University (NTU), Singapura.
Mobil-mobil swakemudi itu bertenaga listrik dan beroperasi dengan teknologi LiDar (Light Detection and Ranging). Cara kerjanya, citra yang ditangkap lewat LiDar diproses dengan piranti lunak, algoritma, dan pembelajaran mesin. Proses itu lantas menghasilkan sinyal yang dikirimkan ke aktuator supaya mobil bisa bergerak sesuai kondisi yang ada, seperti melakukan berakselerasi, mengerem, serta bergerak ke kiri-kanan.
Ajang uji coba mobil otonom atau swakemudi itu sendiri sekaligus menjadi kesempatan bagi Telkomsel untuk mengetes jaringan 5G yang mereka miliki. Sebab, dengan kebutuhan transfer data mencapai 20 Gbps, jaringan 5G memang paling pas untuk menyokong operasional "bus hantu" tersebut.
Meski demikian, mobil swakemudi itu memang baru beroperasi secara terbatas, tepatnya hanya di wilayah Stadion Utama Gelora Bung Karno. Wilayah tersebut sudah didesain sedemikian rupa sehingga semua kondisi jalan bisa diproses secara optimal oleh piranti lunak yang ada dalam mobil. Dengan kata lain, marka jalan dibuat sejelas mungkin, pun demikian dengan rambu lalu lintas.
Selain itu, tentunya, kawasan tersebut juga telah disterilkan dari para pengguna jalan ugal-ugalan yang bisa mengganggu daya baca piranti lunak mobil.
Jadi, apakah mobil swakemudi bisa beroperasi di Indonesia? Tentu saja bisa. Namun, prasyarat yang harus dipenuhi sungguh banyak sekali. Dan situasi seperti itu pun tidak cuma terjadi di Indonesia. Sebab, di negara-negara yang sudah memiliki mobil swakemudi aktif di jalan raya sekali pun, masalah masih senantiasa muncul.
Enam Tingkatan Otomasi Mengemudi
Sebenarnya, ketika kita bicara soal mobil swakemudi, kita sedang berbicara soal persentase. Yakni, tentang sebesar apa teknologi berperan dalam sebuah aktivitas mengemudi. Semakin besar peran teknologi—yang juga semakin kecil peran manusia, semakin tinggi pula level otomasi suatu mobil.
Ada enam tingkatan otomasi mengemudi menurut Society of Automotive Engineers (SAE), yakni level 0 sampai level 5. Karena saat ini sebagian besar mobil telah dilengkapi fitur bantuan mengemudi (driving assistance), fitur-fitur seperti rem darurat otomatis, peringatan titik buta, dan peringatan perpindahan lajur hanya dimasukkan dalam level 0 alias yang paling rendah. Di level ini, peran manusia tentu saja masih sangat besar.
Naik ke level 1, ada fitur seperti lane centering dan adaptive cruise control. Lane centering berfungsi untuk memastikan agar mobil tak keluar lajur, sementara adaptive cruise control memungkinkan pengemudi mengatur kecepatan mesin stabil tanpa pijakan pedal gas. Pada level ini, lane centering dan adaptive cruise control masih beroperasi secara terpisah. Namun, di level 2, kedua fitur tersebut bisa berfungsi secara berbarengan.
Boleh dikatakan, dari level 0-2, otomasi mengemudi masih terbatas dalam bentuk fitur bantuan mengemudi. Namun, ketika sudah naik ke level 3-5, kita sudah berbicara mengenai mobil swakemudi sungguhan.
Di level 3, ada fitur traffic jam chauffeur atau traffic jam assistance yang sekarang ini sudah umum pula ditemui di mobil-mobil terkini. Meski begitu, fitur ini perannya masih amat terbatas.
Baru di level 4 kita menemukan mobil yang sungguh-sungguh bisa dikategorikan sebagai mobil swakemudi seperti yang dibawa Telkomsel ke Asian Games 2018. Biasanya, mobil-mobil ini difungsikan sebagai angkutan umum dan oleh karenanya, pedal rem atau gas terkadang tidak ditemukan dalam mobil-mobil itu.
Terakhir, di level 5, kita baru sampai pada versi sempurna dari mobil swakemudi, yaitu yang bisa mengemudikan dirinya di segala kondisi. Jika di level 4 mobil-mobil itu membutuhkan kondisi yang nyaris sempurna, mobil level 5 sudah memiliki piranti lunak yang nyaris setara dengan manusia sehingga kemampuan antisipasinya pun jauh lebih canggih dibanding mobil level 4.
Sudah Sejauh Mana Perkembangannya?
Sampai sejauh ini, mobil swakemudi yang sudah beroperasi baru sampai pada level 4. Itu pun masih jauh dari sempurna karena ada beberapa insiden yang disebabkan oleh mobil-mobil swakemudi tersebut.
Cruise, anak perusahaan General Motors, sempat harus menyetop layanan robotaxi-nya untuk sementara karena ada kecelakaan yang membuat seorang pejalan kaki terluka. Kemudian, ada sebuah robotaxi milik Uber yang menabrak dan menewaskan seorang pesepeda pada 2018. Kejadian-kejadian seperti inilah yang membuat pengembangan serta penerapan mobil swakemudi menjadi terhambat.
Beberapa perusahaan seperti Kodiak Robotics, yang mengembangkan mobil-mobil berat seperti truk dan kendaraan militer, memilih untuk tetap menggunakan tenaga manusia dalam operasinya. Saat ini, Kodiak Robotics telah mengoperasikan truk komersial secara otonom, tetapi tetap ada pengemudi manusia (safety driver) yang siap sedia seandainya ada hal-hal yang tak diinginkan.
Meski begitu, efektivitas safety driver itu sendiri tetap layak untuk dipertanyakan. Pasalnya, di dalam robotaxi Uber yang menewaskan pesepeda itu tadi, sebenarnya ada seorang safety driver yang telah disiagakan. Artinya, safety driver bukanlah satu-satunya solusi untuk memastikan agar mobil-mobil swakemudi ini tidak mencelakakan pengguna jalan lainnya.
Selain mencelakakan pengguna jalan lain, mobil swakemudi yang sebelumnya sudah beroperasi juga telah terbukti "kurang peka" terhadap situasi "di luar pakem". Ceritanya, pada 2023 lalu, sebuah mobil swakemudi Cruise dituduh menghalangi mobil polisi yang tengah menuju lokasi penembakan. Cruise membantah tuduhan ini, tapi Kepolisian San Francisco pun bersikeras bahwa mobil swakemudi tersebut mengganggu kinerja mereka.
Nyatanya, kendati belum sempurna dan masih membahayakan, layanan robotaxi kemudian diberikan izin penuh oleh otoritas setempat untuk beroperasi. Dan keputusan ini terbukti problematik karena tak lama setelah izin operasi penuh diberikan, sebuah mobil Cruise terlibat kecelakaan dengan truk pemadam kebakaran. Cruise pun akhirnya diperintahkan untuk mengurangi jumlah armadanya dari 150 menjadi 50.
Dari berbagai contoh di atas, bisa disimpulkan bahwa perkembangan mobil swakemudi saat ini masih jauh dari harapan. Namun, bukan berarti perkembangannya buruk. Perkembangan yang sudah dicapai sebenarnya sudah sangat bagus, tapi untuk mencapai level otonomi tertinggi, masih sangat banyak hal yang harus dilakukan.
Di titik ini, kita tidak cuma berbicara soal bagaimana mobil swakemudi dirancang, tapi juga soal kebiasaan masyarakat, kualitas jalan, cuaca, dan hal-hal lain yang begitu unik di setiap tempat.
Jalan untuk mendapatkan mobil swakemudi yang sempurna masih amat panjang. Menurut prediksi McKinsey, pada 2030 mendatang, hanya ada 4 persen mobil yang sudah dipasangi fitur otomasi level 3 ke atas. Pada 2035, persentasenya baru akan mencapai 17 persen.
Meski begitu, nilai pasar dari fitur-fitur tersebut sangatlah besar, bisa mencapai US$300 miliar hingga US$400 miliar pada 2035.
Artinya, meski progresnya lambat, optimisme dari produsen dan konsumen masih tetap tinggi. Di satu sisi, produsen terus berlomba untuk memberikan fitur terbaik dan menjadi pemimpin di industrinya. Di sisi lain, konsumen pun bersedia membayar lebih mahal untuk mendapatkan fitur-fitur terbaik. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa ekosistem industri dari mobil swakemudi ini sebetulnya sangat sehat.
Kita mungkin tidak akan pernah merasakan mobil swakemudi yang sempurna sepanjang hidup kita. Namun, pelan tapi pasti, kita sedang menuju ke sana dan saat ini pun, kita sebetulnya sudah bisa mencicipi kepingan-kepingan kecil dari teknologi yang bakal membentuknya kelak.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi