tirto.id - Senin, 19 Maret lalu jadi hari paling nahas bagi Elaine Harzberg, 49 tahun, ia meregang nyawa tertabrak mobil tanpa pengemudi. Ketika itu, Harzberg tengah menuntun sepeda di malam hari sambil menyeberang jalan Curry Road, Tempe, Arizona, AS. Tiba-tiba, mobil Volvo XC90 berkecepatan sekitar 65 kilometer per jam menghantamnya tanpa ampun. Harzberg pun ambruk, ia sempat dilarikan ke rumah sakit sebelum akhirnya menghembuskan napas keesokan harinya.
Insiden itu langsung menyeret Uber sebagai pihak paling bertanggung jawab. Mobil Volvo XC90 tersebut merupakan armada yang telah dimodifikasi oleh Uber menjadi self-driving car alias mobil swakemudi. Insiden yang menimpa Harzberg menjadi bukti bahwa teknologi swakemudi masih punya pekerjaan rumah yang besar dan perlu jadi perhatian bagi entitas bisnis yang memakainya.
Matt Kallman, juru bicara Uber mengatakan kecelakaan mobil swakemudi telah menghancurkan perasaan mereka. Uber, kata Kallam “akan bekerja sama dengan penyelidik kecelakaan di tiap sisi yang bisa dilakukan.”
Kecelakaan mobil swakemudi yang dikembangkan Uber menambah noda di startup ini. Laporan yang diterbitkan Reuters menyebut bahwa Uber berbuat “nakal” atas mobil swakemudi Volvo XC90 itu. Kenakalan yang diperbuat Uber ialah mengurangi kuantitas Lidar, salah satu komponen utama mobil swakemudi.
Lidar atau Light Detection and Ranging, secara sederhana merupakan teknologi penginderaan jauh yang memanfaatkan mekanisme optikal dengan menembakkan laser. Cara kerjanya benda atau objek tertentu ditembak oleh laser. Pantulan kemudian dianalisa dalam bentuk 3 dimensi. Teknologi Lidar seakan-akan membuat mobil swakemudi memiliki mata untuk melihat objek-objek apa saja yang ada di sekitar atau di depannya.
Di jenis mobil swakemudi yang dikembangkan Uber sebelumnya, yakni Ford Fusion ada tujuh Lidar, tujuh Radar, dan 20 kamera. Pada Volvo XC90, Uber hanya menyematkan 1 Lidar, 10 Radar, dan 7 kamera. Pengurangan jumlah Lidar, diyakini membuat mobil swakemudi Volvo XC90 milik Uber punya blind spot alias titik buta yang membuat mobil tidak mendeteksi keberadaan Harzberg di depannya.
Marta Hall, President Velodyne, perusahaan pembuat Lidar yang digunakan Uber, mengatakan bahwa Uber seharusnya memiliki cukup banyak Lidar, terutama untuk mendeteksi pejalan kaki.
“Jika Anda ingin menghindari pejalan kaki, Anda perlu memiliki Lidar di samping untuk melihat dan menghindari pejalan kaki tersebut, terutama pada malam hari,” katanya.
Kenakalan Uber tak berhenti soal Lidar. Laporan The Guardian menyebut bahwa Uber dan Gubernur Arizona Doug Ducey, sepakat tidak memberitahukan uji coba mobil swakemudi di jalanan Arizona. Sebagai ganjaran, Uber menawarkan tempat kerja bagi staf Ducey di San Fransisco dan berjanji membawa lapangan pekerjaan di Arizona.
Kecelakaan pada mobil swakemudi Uber seakan jadi cibiran atas tulisan yang mereka unggah di blog resmi perusahaan. Di blog itu Uber menyebut bahwa penciptaan mobil swakemudi bertujuan untuk menyelamatkan banyak nyawa dari kecelakaan lalu-lintas.
Data yang mereka tulis, ada 1,3 juta orang meninggal tiap tahunnya akibat kecelakaan mobil. Dari angka itu, 94 persen terjadi akibat kesalahan manusia. Dengan mobil swakemudi yang Uber kembangkan, mereka ingin meminimalisir kesalahan manusia. Sayang, sistem swakemudi Uber justru bekerja sebaliknya.
Secara umum, kecelakaan yang melibatkan mobil swakemudi bukanlah kejadian baru. Departemen Kendaraan Bermotor Negara Bagian California mencatat, hingga 6 Maret 2018 lalu, ada 59 laporan kecelakaan lalu-lintas yang melibatkan mobil swakemudi.
Selain kasus Uber, kecelakaan terparah dari sistem swakemudi terjadi pada 7 Mei 2016, di Williston, Florida, AS. Saat itu, mobil Tesla Model S yang tengah aktif mode swakemudi terlibat kecelakaan dan menyebabkan sang pemilik, Joshua Brown meninggal.
Dalam blog resmi perusahaan, Tesla mengklaim bahwa kecelakaan yang terjadi itu, muncul selepas sistem autopilot mereka berjalan sepanjang 130 juta mil. Menurut pihak Tesla, kecelakaan kendaraan di AS rata-rata terjadi selepas 94 juta mil perjalanan, di dunia mencapai 60 juta mil. Tesla seolah ingin menegaskan bahwa sistemnya bekerja lebih baik dibandingkan mobil konvensional.
Mobil Swakemudi Uber
Sebuah pemberitaan Wired menyebut bahwa setidaknya terdapat 263 perusahaan yang telah kokoh berdiri maupun perusahaan rintisan, bahu-membahu membuat mobil swakemudi. Ada perusahaan yang fokus membangun sistem route planning, parking, accident detection, alcohol detection, passenger-focused, dan berbagai sistem lainnya. Uber, merupakan salah satu perusahaan yang berupaya membangun sistem mobil swakemudinya.
Ide penciptaan mobil swakemudi oleh Uber datang dari pendiri dan mantan CEO mereka, Travic Kalanick. Kala itu Kalanick percaya bahwa teknologi mobil swakemudi mengancam bisnis utama mereka, ride-sharing. Menurut Kalanick, jika Uber tak segera mengembangkan mobil swakemudi maka peluangnya disalip oleh kompetitor seperti Waymo milik Google bakal terjadi.
Merujuk pemberitaan Techradar, pada Februari 2015, niatan Uber membuat mobil swakemudi akhirnya diumumkan pada publik. Setelah itu, Uber merekrut beberapa peneliti dari Carnegie Mellon University untuk membantu mereka membangun mobil swakemudi yang awalnya dilakukan di Pittsburgh, Pennsylvania, AS. Startup itu membeli 20 unit Ford Fussion sebagai swakemudi.
Tes jalanan pertama mobil swakemudi Uber berlangsung pada September 2016 lalu. Saat itu, Roadrunner dipilih sebagai nama proyek mobil swakemudi.
Semenjak itu, pengembangan mobil swakemudi Uber kian tumbuh. Kini Uber mengoperasikan 200 minivan swakemudi dan 24.000 Volvo yang diujicobakan di empat kota di AS, termasuk kota asal mereka San Fransisco. Hingga September 2017, mobil swakemudi Uber telah berjalan lebih dari 1 juta mil.
Sayangnya, pengembangan mobil swakemudi Uber punya cela. Salah satu cela itu ialah gugatan hukum yang dilayangkan Waymo, anak usaha Google di bidang mobil swakemudi. Ini berawal dari mantan karyawan Waymo, Anthony Levandowski yang mengunduh lebih dari 14.000 dokumen terkait pengembangan mobil swakemudi Waymo.
Levandowski lantas menciptakan startup mobil swakemudi bernama Otto. Pada 2016, Uber membeli Otto sebagai bagian mengembangkan mobil swakemudi mereka. Inilah titik pangkal sangkaan penjiplakan teknologi Waymo oleh Uber. Pada 9 Februari lalu, Uber menyerah. Mereka memberikan saham senilai $245 juta pada Waymo untuk meredakan masalah ini.
Aksi mengibarkan bendera putih Uber pada Waymo seakan-akan memberi isyarat bahwa Waymo memang berada di depan Uber dalam urusan mobil swakemudi. Waymo, yang mulai berdiri menjadi perusahaan independen selepas jadi proyek internal Google sejak Desember 2016, telah melaju lebih dari 5 juta mil oleh swakemudi. Sampai saat ini ada 600 minivan Waymo yang lalu lalang di 25 kota di AS yang jadi basis uji coba swakemudi.
Untuk urusan keamanan, Wayno terbilang paling moncer. Mobil swakemudi Waymo memiliki rata-rata jarak sepanjang 5.600 mil sebelum mobil swakemudi mereka perlu diintervensi manusia karena faktor keamanan. Uber hanya mampu mencatatkan rekor di angka 13 mil sebelum manusia melakukan intervensi.
Pencapaian Waymo seakan mengamini ucapan CEO mereka, John Krafcik. Pada sebuah kesempatan Krafcik mengatakan “kami tidak membangun mobil terbaik, kami membangun pengemudi terbaik.”
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra