tirto.id - Hooi Ling Tan adalah salah satu warga urban di Kuala Lumpur yang harus kerja hingga larut malam. Perempuan yang pernah bekerja di McKinsey & Company di Kuala Lumpur, Malaysia satu dekade lalu ini merasa terlalu lelah untuk mengendarai mobil pribadi sehari-hari.
Tan memilih taksi untuk pulang menuju rumah usai beraktivitas dari kantor. Sayangnya, sopir taksi di Kuala Lumpur sudah dicap tak ramah dan risiko keamanan. Rasa cemas ini akhirnya membuahkan gagasan mendirikan bisnis ride sharing Grab bersama Anthony Tan, yang pernah sama-sama menimba ilmu di Harvard Business School.
“Kami memulai GrabTaxi karena sistem taksi di Malaysia berantakan. Pengemudi tak memperoleh pendapatan yang cukup dan membenci apa yang mereka lakukan. Sementara itu perempuan tidak bisa bepergian secara aman. Kami harus berbuat sesuatu untuk masalah tersebut,” kata Anthony Tan dalam gelaran Tech in Asia Singapore yang digelar pada 2015.
Pada Juni 2012 Grab memulai layanan bernama GrabTaxi resmi meluncur di Kuala Lumpur, Malaysia, dengan hanya 40 pengemudi, jumlah yang terbilang sedikit untuk perusahaan taksi di kota besar seperti Kuala Lumpur. Grab juga kesulitan menemukan pengemudi yang mau menggunakan Grab. Namun, para pengguna justru senang dengan Grab. Pada hari pertama ada 11 ribu unduhan Grab.
Bagi Grab tak butuh waktu lama menjadi gurita bisnis di kawasan. Suntikan modal pada Grab menjadi kuncinya, catatan Crounchbase Grab telah menerima suntikan dana sebesar $4,1 miliar dari 11 kali founding round. Salah satu pendanaan terbesar terjadi pada 24 Juli 2017, SoftBank, Didi Chuxing, dan Toyota menggelontorkan investasi senilai $2 miliar untuk Grab.
Gurita Grab di Asia Tenggara
Bermodal duit yang besar Grab mampu membentuk banyak layanan. Beberapa layanan Grab antara lain: GrabTaxi, GrabCar, GrabBike, GrabHitch, GrabShare, GrabCoach, GrabShuttle, GrabExpress, dan GrabFood. Grab mengklaim sudah beroperasi di 195 kota di 8 negara Asia Tenggara, dengan 2,5 juta perjalanan setiap hari.
Langkah Grab tak berhenti sampai di situ. Pada Senin (26/3) Grab mengumumkan akuisisi operasional Uber di Asia Tenggara. Dalam keterangan resmi, akuisisi terhadap Uber Asia Tenggara “merupakan yang terbesar yang pernah dijalin antara perusahaan internet di Asia Tenggara.”
”Akuisisi yang diumumkan hari ini menjadi tonggak dari dimulainya era baru,” kata Anthony Tan.
Dewi Nuraini, Public Relation Manager Grab Indonesia, tak mau mengungkap nilai akuisisi ini. Namun, setelah akuisisi ini posisi Uber jadi salah satu pemilik saham Grab. “Benar (Uber) dapat 27,5 persen saham di Grab,” kata Dewi melalui pesan instan kepada Tirto.
Pada Maret 2018, Forbes menyebutkan dalam salah satu artikelnya valuasi Grab ditaksir di angka $6 miliar. Dari jumlah ini setidaknya tergambarkan nilai perkiraan akuisisi Uber Asia Tenggara oleh Grab. Sayangnya, pihak Uber melalui Head of CommunicationUber Indonesia Dian Safitri tak merespons ketika hendak dimintai keterangan soal akuisisi.
Syarkawi Rauf, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan Grab perlu segera melaporkan akuisisi terhadap Uber. Notifikasi ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia yakni Pasal 29 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 jo. Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010.
“(Akuisisi dengan) aset gabungan melebihi Rp2,5 triliun maka wajib lapor ke KPPU. (Atau akuisisi yang) penjualan gabungan lebih dari Rp5 triliun,” kata Syarkawi kepada Tirto.
Namun, KPPU masih mempelajari lebih lanjut aksi akuisisi dalam konteks dampaknya bagi bisnis keduanya di Indonesia. Grab maupun Uber merupakan perusahaan internasional.
“Karena ini merger internasional, biasanya ketentuan di negara lain itu mereka efektif secara hukum saat ada deal. Tanpa harus menunggu persetujuan Kemenkumham,” terangnya.
Mengukur Kekuatan Grab
Akuisisi Uber Asia Tenggara oleh Grab akan berimbas pada jumlah pengemudi di aplikasi buatan Anthony Tan dan Hooi Ling Tan ini. Grab akan mengambil alih para pengemudi Uber di Asia Tenggara. Setelah akuisisi, layanan ride-sharing Uber dan layanan pemesanan makanan UberEats di Kamboja, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam di bawah kendali Grab.
Aplikasi Uber akan tetap bisa digunakan di Asia Tenggara, tetapi hanya berlangsung selama dua pekan semenjak akuisisi terjadi. Dalam email yang dikirim pada para pelanggan, Uber mengatakan bahwa mereka akan secara resmi melakukan transisi pada Grab mulai 8 April 2018. Setelah transisi berlangsung, aplikasi Uber tidak bisa digunakan, pengguna maupun pengemudi Uber di Asia Tenggara akan dilimpahkan ke Grab.
Berapa kekuatan Grab di Asia Tenggara setelah akuisisi?
Tidak ada data resmi berapa jumlah pengemudi Uber di Asia Tenggara. Di laman resmi Uber, mereka hanya menyatakan bahwa startup yang digagas oleh Travis Kalanick itu memiliki 2 juta pengemudi di seluruh dunia. Begitu juga dengan jumlah pengemudi Grab.
Pemberitaan Straits Times menyebut bahwa ada 41.297 pengemudi Grab dan Uber di Singapura. Di Malaysia, New Straits Times mengungkapkan bahwa diperkirakan ada hingga 60.000 pengemudi Grab dan Uber. Media Vietnamvet menyebut bahwa ada 50.000 pengemudi Grab dan Uber di Vietnam. Lalu, merujuk pemberitaan Rappler, ada 118.000 pengemudi Uber maupun Grab di Filipina.
Sementara itu, di Indonesia, menurut pemberitaan Reuters, ada 100.000 pengemudi Uber, sementara pengemudi Grab diperkirakan berjumlah 300.000. Bila gabungan pengemudi Grab dan Uber di 5 negara Asia Tenggara termasuk Indonesia digabungkan, maka berjumlah sekitar 669.000 pengemudi. Angka tersebut hanya sebatas perkiraan dan belum memasukkan jumlah pengemudi di Thailand, Myanmar, dan Kamboja.
Namun, sebelum adanya aksi akuisisi, Grab mengklaim menguasai 71 persen pangsa pasar ride sharing se-Asia Tenggara. Akuisisi Uber atas Grab akan membuat startup tersebut semakin menguasai kawasan ini. Grab tercatat hanya perlu menaklukkan pasar Indonesia yang didominasi Go-Jek. Sebagai pembanding saja, dalam laporan Kompas jumlah pengemudi Go-Jek di Indonesia hingga akhir tahun lalu diperkirakan sekitar 900.000 mitra. Saat ini bahkan sudah bertambah "Lebih dari satu juta untuk roda dua dan empat," kata Rindu Ragilia, PR Manager Go-Jek Indonesia.
KPPU mencatat Go-Jek menguasai 79,2 persen pangsa pasar ride-sharing di Indonesia, unggul atas Grab yang hanya punya 14,69 persen pangsa pasar dan Uber dengan 6,11 persen pangsa pasar.
Adanya akuisisi Grab terhadap Uber memang akan menghapus Uber sebagai pemain operasional di ride sharing. Jumlah kompetitor akan berkurang, tapi pada dasarnya persaingan akan semakin berat, terutama bagi ride sharing lokal di masing-masing negara Asia Tenggara. Dua "raksasa" Uber-Grab dengan dukungan para investor di belakangnya akan menjadi lawan kuat bagi Go-Jek atau ride sharing lokallainnya di kawasan.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra