Menuju konten utama

Detoks Digital: Meminimalisasi Keterikatan pada Gawai

Interaksi dengan gawai dan teknologi yang berlebihan juga membawa bahaya bagi otak kita. Sudah saatnya menjaga jarak.

Detoks Digital: Meminimalisasi Keterikatan pada Gawai
Ilustrasi tertidur di depan tv. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Jika Anda bertanya apakah orang Indonesia menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar ponsel, jawabannya adalah: ya. Bahkan, menurut temuan Data.ai yang disiarkan Jawa Pos pada Januari 2024, Indonesia menduduki peringkat pertama negara pengguna ponsel dengan durasi terlama, yaitu 6,05 jam setiap harinya.

Angka itu merupakan data dari 2023 dan, dari sana, tampak ada kenaikan dari tahun sebelumnya. Pada 2022, juga menurut Data.ai, rata-rata screen time orang Indonesia telah mencapai 5,7 jam setiap harinya.

Menurut peneliti sosial Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, konsumsi digital masyarakat Indonesia mengalami lonjakan tajam sejak Pandemi COVID-19 meledak pada 2020.

“Kenapa? Karena kita semua mendadak digital. Kondisi yang mengharuskan kita lebih banyak di rumah membuat konsumsi digital naik signifikan," ujar Devie kepada Jawa Pos.

Perlu dicatat, data di atas hanya mencatat waktu yang dihabiskan di depan layar ponsel. Itu belum termasuk waktu di depan layar komputer dan televisi.

Tingginya tingkat konsumsi digital ini di satu sisi punya manfaat. Tak hanya serapan informasi semakin tinggi, roda ekonomi digital pun berputar makin kencang. Namun, di sisi lain, tingginya screen time juga menyimpan bahaya yang tak main-main.

Sejumlah risiko mengintai mereka yang terlalu banyak menghabiskan waktu di depan layar, mulai dari insomnia, kualitas tidur yang buruk, penglihatan yang kabur, sakit kepala, munculnya adiksi atau kecanduan, rasa sakit pada bagian-bagian tubuh (khususnya leher, punggung, dan bahu), menurunnya kemampuan kognitif, serta meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lain karena minimnya aktivitas fisik.

Artinya, dengan tingginya screen time yang tercatat, risiko orang Indonesia mengalami itu gangguan kesehatan itu pun menjadi lebih besar. Apalagi, tingginya screen time tidak cuma dialami oleh orang dewasa, melainkan juga anak-anak.

Pandemi, lagi-lagi, jadi musabab di balik persoalan ini. Dilaporkan Kompas, ada kenaikan sekitar 52 persen pada screen time anak-anak di masa Pandemi COVID-19 melanda.

Khusus untuk anak-anak, yang otak dan tubuhnya masih berada dalam masa tumbuh kembang, ada beberapa risiko tambahan yang turut mengintai. Pertama, tingginya screen time bisa berujung pada depresi. Kedua, otak anak-anak dan remaja bakal mengalami perubahan, yaitu korteks (lapisan otak untuk memproses informasi) tidak akan berkembang dengan sempurna. Ketiga, level konsentrasi bakal menurun akibat terlalu banyak menghabiskan waktu di depan layar.

Durasi Screen Time yang Aman

Lantas, sebenarnya berapa lamakah waktu yang ideal di depan layar?

Durasi ideal screen time bisa berbeda-beda untuk tiap kelompok umur. Untuk anak di bawah 2 tahun, sebaiknya tidak ada screen time sama sekali, kecuali untuk video call dengan sanak famili.

Untuk anak usia 2-5 tahun, waktu idealnya adalah satu jam per hari dengan dampingan orang tua. Lalu, untuk anak usia 5-17 tahun, dua jam per hari adalah screen time terbanyak yang direkomendasikan, kecuali apabila ada pekerjaan rumah yang mesti digarap.

Screen time maksimal dua jam (di luar pekerjaan) ini juga direkomendasikan untuk orang dewasa.

Jika rekomendasi tersebut didandingkan dengan survei Data.ai sebelumnya, jelas terlihat bahwa sebagian besar orang Indonesia (dan banyak orang dari negara lain) telah mengalami overdosis screen time. Dengan demikian, detoks digital pun jadi sesuatu yang amat dibutuhkan banyak orang di dunia ini.

Mungkinkah Melakukan Detoks Digital?

Sederhananya, detoks digital adalah tidak menggunakan perangkat digital, seperti komputer, laptop, ponsel pintar, atau konsol gim video, dalam periode tertentu. Selama periode detoksifikasi ini, seseorang benar-benar tidak boleh terpapar oleh apa pun yang berasal dari dunia digital, entah itu video, gim, media sosial, email, pesan singkat, dan lain-lain.

Istilah detoks digital pertama kali dilontarkan dalam sebuah jurnal yang ditulis sejumlah ilmuwan dari Jerman dan Swiss pada 2012. Kala itu, penggunaan ponsel pintar sedang mengalami peningkatan pesat seiring dengan munculnya berbagai aplikasi serta pelantar media sosial.

Tujuan detoks digital ini adalah menghindarkan diri dari berbagai risiko kesehatan yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Detoks digital diharapkan membuat kita lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, menghabiskan waktu lebih banyak dengan orang lain, dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan kegiatan-kegiatan yang mengasah kemampuan fisik dan otak.

Akan tetapi, seiring berlalunya zaman, melakukan detoks digital dirasa semakin sulit. Kepada BBC, pakar manajemen screen time, Emily Cherkin, berkata, "Teknologi sudah menjadi bagian dari diri kita sekarang. Kita menggunakan bank dengan aplikasi, membaca menu restoran di ponsel, dan bahkan berolahraga dengan instruktur melalui layar."

"Teknologi sangat mengakar dalam hidup, kita menyiapkan diri kita sendiri menuju kegagalan jika kita mengatakan kita akan bebas dari digital selama seminggu," tambahnya.

Ya, teknologi memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup banyak orang saat ini. Bahkan, ada yang secara ekstrem mengatakan bahwa ponsel pintar sudah menjadi bagian dari tubuh manusia atau setidaknya ekstensi dari bagian tubuh kita. Sebab, harus diakui, hampir semua aspek kehidupan manusia saat ini bisa diakses melalui ponsel pintar.

Anda butuh menghubungi anggota keluarga? Anda perlu menghubungi klien atau rekan kerja? Anda perlu mengirimkan uang? Anda perlu mencari tumpangan? Anda perlu hiburan? Anda perlu bacaan? Anda perlu berita terbaru? Anda ingin mencari pacar?

Semua bisa diakses melalui beragam aplikasi yang ada pada ponsel pintar. Maka tak berlebihan ketika seorang ahli menciptakan kiasan bahwa ponsel pintar kini telah menjadi bagian dari tubuh manusia.

Namun, apabila manusia memang sudah terjerumus terlalu dalam di "jurang" digital ini dan detoksifikasi penuh tak lagi memungkinkan, apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi berbagai dampak negatifnya?

Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah mempraktikkan apa yang disebut kesadaran digital. Ini adalah cara yang dilakukan Sina Joneidy, seorang dosen dari Teesside University, Britania Raya.

"Saya memastikan penggunaan teknologi saya memiliki tujuan," ujar Joneidy, dikutip dari BBC.

Kesadaran digital pada dasarnya merupakan sebuah kesadaran untuk menggunakan teknologi seperlunya sehingga keterikatan antara manusia dan (perangkat) teknologi pun dapat diminimalisasi. Ini penting karena keterikatan itulah yang membuat manusia jadi seperti kecanduan gawai atau teknologi.

Ketika ada waktu kosong sejenak saja, misalnya, kita lebih memilih menggulirkan jempol di media sosial. Padahal, otak kita sebenarnya membutuhkan waktu istirahat.

Ada semacam ketakutan akan rasa bosan yang muncul dalam diri manusia modern. Kita tak mau lagi memandang langit, memperhatikan jalanan, atau membiarkan otak kita bekerja secara otonom. Alih-alih, kita memaksa otak untuk terus mengonsumsi konten, konten, dan konten untuk memuaskan kecanduan kita akan dopamin.

Inilah, menurut Joneidy, yang semestinya dihindari. Teknologi dan perangkat-perangkatnya memang tak bisa lagi dipisahkan dari hidup kita. Akan tetapi, perangai kita dalam menggunakannyalah yang harus diubah. Atau, dengan kata lain, jangan biarkan diri kita menjadi budak teknologi karena kita, manusia, adalah pencipta teknologi tersebut, bukan sebaliknya.

Baca juga artikel terkait DETOKS DIGITAL atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Teknologi
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Artikel Terkait