tirto.id - Bagi Dewanti Aditya Wardhani, 26, Instagram telah mengisi waktu hampir seperempat waktu hidupnya per hari, setidaknya hingga ia memutuskan untuk memutuskan segala aksesnya pada aplikasi tersebut.
Baginya, waktu lima jam hanya untuk memelototi aplikasi tersebut pada layar kaca ponsel pintarnya dirasa telah menjadi hal yang tidak hanya menyita waktunya, tapi juga tidak baik buat kondisi mentalnya. Suatu hari, setelah menemukan alasan personal yang tepat, ia memutuskan untuk menonaktifkan akunnya tersebut pada 2017.
“Aplikasi itu memakan banyak waktuku,” terang Tya, panggilan akrabnya, kepada Tirto, Jumat (1/3), sembari menambahkan bahwa setelah memantapkan hati, proses keluar dari kehidupan Instagram itu ia jalani selama setengah tahun.
Ada beberapa hal positif yang ia rasakan selama menjalani periode ‘pertapaan’ dari media sosial tersebut. Pertama, wanita yang kini bekerja di salah satu perusahaan teknologi ternama di Indonesia tersebut merasa lebih banyak memiliki waktu untuk melakukan hal-hal yang lebih produktif seperti membaca buku.
Kedua, ia dapat dijauhkan dari perasaan tertekan karena mengonsumsi unggahan-unggahan dalam Instagram. Semasa dirinya masih aktif menggunakan aplikasi itu, Tya kerap membandingkan kehidupan pribadinya dengan mereka yang terkoneksi dengannya.
“Lega,” katanya.
Ada dua alasan mengapa Tya akhirnya memutuskan untuk kembali menggunakan Instagram setelah sekian lama hilang dari peredaran. Yang utama adalah karena Tya memiliki kebutuhan untuk tetap terhubung dengan temannya. Alasan berikutnya adalah ia merasa sudah bisa mengatur keinginannya untuk membuka Instagram dengan lebih baik.
“Kalau sekarang kayaknya sejam, maksimal 1 jam 30 menit, sih,” kata Tya, menyebutkan waktu yang ia habiskan kini untuk membuka aplikasi tersebut.
Tya jelas tidak sendiri. Generasi muda saat ini—khususnya generasi milenial dan generasi Z—sudah lekat dengan kehidupan digital dalam kesehariannya karena tingkat keterpaparan yang sudah tinggi pula. Menurut penelitian yang dilakukan Cambridge International, sebuah lembaga bagian dari Cambridge University yang fokus pada sensus pendidikan global, siswa-siswi di Indonesia merupakan salah satu pengguna yang memiliki tingkat penggunaan teknologi tertinggi di dunia.
Menurut sensus yang mereka lakukan, para pelajar Indonesia merupakan pengguna perangkat teknologi informasi tertinggi di dunia dengan persentase sebesar 40 persen. Pelajar Indonesia ini juga yang tertinggi kedua di dunia dalam hal penggunaan komputer dekstop (54 persen), hanya kalah dari Amerika Serikat.
Lebih dari duapertiga pelajar Indonesia (67 persen) menggunakan ponsel pintar di kelas mereka. Jumlah ini naik menjadi 81 persen terkait jumlah siswa yang menggunakan ponsel pintar tersebut untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Jumlah sesungguhnya ini tidak mengherankan. Pada 2017 saja, pengguna internet di Indonesia telah mencapai 143,26 juta menurut data dari Kementerian Informasi dan Teknologi. Sebagai catatan, survei ini dilakukan pada 502 pelajar dan 637 guru di Indonesia.
Dampak Teknologi pada Otak
Dikutip BBC, dampak dari penggunaan teknologi pada kesehatan mental dan fisik manusia masih menjadi subyek penelitian ilmiah hingga saat ini. Hal ini jelas ada hubungannya dengan perkembangan teknologi ponsel pintar di dunia.
Berdasarkan studi pada 2017 dari firma data konsumen GlobalWebIndex, kebanyakan pengguna internet menghabiskan waktu selama 6,5 jam untuk online. Dalam konteks ini, penggunaan ponsel pintar untuk mengakses internet telah meningkat signifikan dari 23 persen menjadi 39 persen.
Jaringan dan servis sosial, seperti media sosial dan layanan streaming, memiliki porsi pasar tertinggi dalam hal ini (32 persen). Ini setara dengan akses selama dua jam per hari dalam platform tersebut. Jumlah ini melonjak dari 34 menit pada 2012.
Masih dari BBC, Shimi Kang, seorang psikiater ternama dari Kanada yang kini fokus meneliti kecanduan teknologi, mengatakan bahwa teknologi kini semakin erat kaitannya dengan depresi, kegelisahan, serta rasa tidak puas pada bentuk tubuh yang dimiliki.
Kang mengatakan otak kita memproses, atau "memetabolisekan" teknologi dengan melepas enam jenis neurokimia ke dalam tubuh kita: serotonin, endorfin, oksitoksin, dopamin, adrenalin, dan kortisol. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi mampu membuat tubuh kita merasakan sejumlah dampak yang berbeda.
Serotonin, misalnya, dilepaskan ketika kita berada dalam proses kreatif, terhubung dan sedang berkontribusi pada suatu hal. Lebih lanjut, endorfin dilepaskan ketika kita sedang merasakan utuh, bersyukur atas suatu hal yang memicu perasaan positif pada diri.
Oksitoksin dilepaskan ketika kita sedang menjalin hubungan yang bermakna. Sementara itu, dopamin membuat orang merasa terpuaskan secara instan. Teknologi kini kerap di desain untuk secara khusus memicu dilepaskannya dopamin ini. Adrenalin timbul ketika kita dalam kondisi terpicu, termasuk ketika menerima like di media sosial. Terakhir, Kortisol dilepaskan ketika tubuh sedang stres atau susah tidur.
Diet Teknologi
Melihat sejumlah dampak yang ada, teknologi memang sebaiknya diperlakukan seperti ketika kita sedang menyantap makanan. Menurut Kang, teknologi yang sehat adalah teknologi yang dapat memacu metabolisme otak untuk melepaskan serotonin, endorfin, dan/atau oksitokin.
Ini berarti pemilahan dan pembatasan waktu penggunaan teknologi memang kemudian sangat penting untuk dilakukan selayaknya memilah makanan yang sehat dan yang kurang sehat. Kang mencontohkan sejumlah aplikasi kreatif dan aplikasi meditasi pada ponsel pintar dapat membantu untuk mengembangkan diri. Namun, jika tidak dibatasi, dapat memicu dopamin yang mampu berujung pada adiksi.
“Katakanlah ada aplikasi kreatif dan anak Anda sangat suka membuat film dengannya. Tapi mereka kemudian menggunakannya terlalu kerap, menghabiskan enam-tujuh jam sehari untuk itu,” katanya. “Ini bukan teknologi sampah, seperti Candy Crush, yang semuanya memicu dopamin—tetapi Anda masih harus berhati-hati dan menetapkan batasan.”
Seperti layaknya memakan makanan ‘sampah’ ketika sedang stres, Kang menerangkan teknologi bisa menjadi berbahaya jika kita mengaksesnya hanya demi mengejar efek ‘hadiah’ yang ditimbulkan oleh neurokimia dari otak.
Dikutip Huffington Post, Konsultan Digital Marketing Joanne Tombrakos memiliki pendapat serupa dengan Kang. Ia mengatakan, sesungguhnya, alih-alih melakukan detoks digital, orang akan lebih sukses mengurangi adiksi dari penggunaan teknologi ketika ia menerapkan diet digital.
Ia beralasan, masih menganalogikan dengan makanan, mengonsumsi makanan secara sehat bukan berarti mengeliminasi sepenuhnya makanan yang tidak sehat. Hal ini juga sama dengan teknologi.
“Saya pikir menetapkan batasan merupakan cara terbaik, karena kita tidak dapat melepaskan diri seutuhnya dari teknologi ... ini karena teknologi dapat memberikan begitu banyak hal baik namun pada saat bersamaan sehingga juga berpontensi membuang waktu kita.”
Rise Prastika, 30, benar-benar merasakan manfaat dari diet teknologi ini, utamanya dalam hal manajemen waktu. Ia jadi dapat melakukan lebih banyak hal dan produktivitas kerjanya meningkat dengan pesat.
Salah satu hal yang dilakukan oleh wanita yang kini bekerja sebuah perusahaan energi di Jepang tersebut adalah membatasi diri mengonsumsi layanan internet dengan konten-konten panjang dan membuat kecanduan seperti Netflix dan YouTube.
“Parah, sih, bedanya,” katanya pada Tirto, menjelaskan perbedaan produktivitas sebelum dan sesudah melakukan diet teknologi. “Satu series di Netflix itu kalau binge watchingngabisin 1-2 hari. Itu bisa aku pakai buat nyicil kerjaan/tugas/tesis or do other things macam baca buku. YouTube juga cenderung kayak rabbit hole.”
Meski demikian, Chief Non-Digital Officer Digital Detoxing, Martin Talks, tidak sepenuhnya sepakat dengan pendapat bahwa detoks digital dapat memperparah kecanduan teknologi. Ia beralasan detoks digital lebih mirip dengan masa puasa, seperti halnya dengan makanan.
“Detoksifikasi digital dapat disamakan dengan puasa: kesempatan untuk membersihkan pikiran dan merenungkan apa yang benar-benar bermakna dan bergizi [bagi tubuh],” terangnya.
Terlepas dari pertentangan yang ada, tidak ada salahnya jika Anda juga mencoba untuk melakukannya jika menilik dari manfaat yang berpotensi untuk diperoleh. Jadi, apa yang Anda pilih? Detoks digital atau diet teknologi?
Editor: Maulida Sri Handayani