tirto.id - “Saya bangun di pagi hari dan hal pertama yang saya lakukan adalah melihat Instagram. Ketika malam hendak tidur, Instagram adalah hal terakhir yang saya lihat. Saya merasa sedikit terlalu tergantung padanya sehingga saya mau membuat jarak. Ini adalah detoks. Saya akan kembali.”
Pernyataan di atas diungkapkan oleh Kendall Jenner di acara Ellen DeGeneres Show pada tahun 2016. Ia memilih untuk hilang sementara agar bisa beristirahat dari media sosial. Selang seminggu, Jenner kembali menggunakan Instagram. Ia pun mengunggah tiga foto yang menampilkan beberapa kawannya sedang asyik berpesta.
Selain Jenner, kebiasaan mengecek Instagram selepas bangun di pagi hari dilakukan pula oleh Helen Kirwan Taylor. “Saya dulu biasa melihat berita di televisi ketika bangun. Saat ini saya membuka Instagram untuk melihat seberapa baik aktivitas yang saya lakukan dalam waktu satu malam,” katanya.
Helen menceritakan bahwa ada banyak pertanyaan yang memenuhi pikiran saat mengecek Instagram usai bangun pagi. “Ritual pagi saya itu seperti berapa like yang saya dapat dari foto terakhir yang diunggah? Ada berapa komentar di foto itu? Siapa saja yang melihat Instagram Story saya? Apakah mereka mengirim pesan langsung, me-repost, atau menandai saya?” terangnya.
Jurnalis sekaligus seniman tersebut mengaku bahwa kebiasaannya mengecek Instagram berlangsung sepanjang hari tapi tak secara terang-terangan. “Saya melihat saat di toilet, di bawah meja makan, di dalam tas saat sedang berpesta atau rapat, dan parahnya ketika berjalan,” ungkapnya.
Kecanduan Instagram
Tahun 2016, Facebook mengeluarkan laporan yang salah satunya menyebutkan tentang berapa lama rata-rata orang menggunakan media sosial Facebook, Instagram, dan Messenger. Seperti yang dilaporkan The New York Times, rata-rata lama pengguna memakai ketiga platform tersebut adalah 55 menit.
Angka ini naik dari data tahun 2014 di mana orang menghabiskan waktu selama 44 menit saat menggunakan Facebook, Instagram, dan Messenger. “Dan itu hanya hitungan rata-rata. Beberapa pengguna pasti memakai media sosial berjam-jam dan rentan mengalami kecanduan,” tulis The New York Times.
Penelitian yang dilakukan Kagan Kircaburun dan Mark D. Griffiths menjelaskan bahwa banyaknya waktu berselancar di internet yang dihabiskan seseorang dapat menyebabkan kecanduan pada media sosial termasuk Instagram. Tapi, mereka menegaskan kepribadian dan karakter berpengaruh pula pada candu atau tidaknya pengguna terhadap Instagram.
Orang dengan kepribadian extraversion (suka berbicara dan pandai bersosialisasi) dan neuroticism (tak stabil dan gampang marah) menurut Kircaburun dan Griffiths tidak candu pada Instagram. Mereka tak spesifik menggunakan Instagram sehingga tergantungan pada media sosial tersebut tak tercipta.
Di sisi lain, mereka yang berkepribadian agreeableness (hati yang lembut dan sopan) cenderung mengalami kecanduan pada Instagram. Kircaburun dan Griffiths mengatakan bahwa mereka suka memperhatikan, memberi like, serta mengomentari unggahan foto diri pengguna lain dan mengunggah foto grup.
Jennifer Gollback dalam laman Psychology Todaylebih lanjut menerangkan bahwa Bergen Social Media Addiction Scale dapat digunakan seseorang untuk mengukur apakah ia kecanduan media sosial atau tidak. Ada empat hal yang dinilai oleh skala ini.
Pertama, pengguna terdorong memakai dan bahkan terus berpikiran tentang media sosial. Kedua, ia mampu melupakan persoalan pribadi gara-gara media sosial dan merasa frustrasi jika tak boleh menggunakannya.
Ketiga, pengguna sering gagal berhenti memakai media sosial. Terakhir, penggunaan media sosial berpengaruh buruk pada pekerjaan atau pendidikan pengguna.
Gollback menjelaskan apabila seseorang menjawab “kerap” atau “sangat sering” pada empat poin atau lebih maka hal itu bisa menjadi indikator kecanduan media sosial. Sebaliknya, pengguna bukan pencandu media sosial jika ia menakar “sangat jarang”, “jarang”, atau “kadang-kadang”.
Psikolog Mark Griffiths mengatakan jenis pengguna seperti di atas perlu melakukan detoks digital, yakni strategi pengurangan waktu yang dihabiskan untuk media sosial. “Hal ini bisa meliputi langkah sederhana, seperti mematikan suara notifikasi dan hanya memperbolehkan diri untuk mengecek ponsel setiap 30 menit atau satu jam sekali,” jelasnya.
Cara detoks digital lain yang juga bisa dipraktikkan adalah menetapkan waktu di mana ponsel tak digunakan (misal saat makan) dan meletakkannya di ruangan terpisah saat tidur untuk membatasi keinginan mengecek sosial media.
Dari sisi platform media sosial, baik Facebook maupun Instagram merilis fitur Activity Dashboard yang berfungsi untuk mengatur waktu bermain media sosial. Seperti dilaporkan The Washington Post, pengguna akun dalam hal ini dapat membatasi berapa lama mereka menggunakan media sosial dalam sehari lewat fitur tersebut. Mereka juga bisa mengetahui berapa lama penggunaan Facebook dan Instagram dalam kurun waktu seminggu.
Menurut Forbes, fitur ini bisa dinikmati pengguna kedua platform ini di Amerika Serikat bulan Agustus tahun 2018. Sementara itu, pengguna dari negara lain mesti sabar menunggu sebab Activity Dashboard baru akan diluncurkan beberapa minggu mendatang.
Sebelumnya baik Google maupun Apple, masih menurut The Washington Post, juga mengenalkan fitur serupa yang akan disertakan pada sistem operasi Android dan iOS tahun depan. Data seperti berapa banyak waktu yang digunakan ketika memakai semua aplikasi bakal tersedia. Selain itu, pemakai ponsel turut bisa membatasi lama ia menggunakan aplikasi pada telepon pintar.
Namun, langkah Facebook dan Instagram ini dipandang profesor MIT Sherry Turkle belum efektif. “Mereka melakukan langkah minimum membantu orang menyadari berapa lama mereka menghabiskan waktu pada sesuatu,” katanya kepada NBC News.
Ia menjelaskan Facebook dan Instagram semestinya membuat fitur itu aktif sendirinya tanpa ada pilihan untuk tak mengubahnya jika ingin efektif.
Editor: Maulida Sri Handayani