tirto.id - “Kami tutup untuk selamanya!” teriak Marlene Bogle kepada penumpang mobil MPV yang datang ke kebun bunga matahari Bogle Seeds Farm pada Selasa (31/7/2018).
“Selamanya?” tanya sang supir tak percaya.
“Iya, selamanya,” tegas Marlene. Walhasil, rombongan asal Toronto itu pun batal berfoto di kebun bunga matahari milik keluarga Bogle yang berada di Hamilton, Ontario. Padahal mereka telah menghabiskan waktu satu jam di jalan untuk bisa sampai ke Bogle Seeds Farm.
Kepada The Globe and Mail, Marlene bercerita bahwa awalnya kebun yang ditumbuhi 1,4 juta bunga matahari tersebut dibuka untuk umum pada Jumat (20/7/2018). Siapapun yang ingin berfoto di ladang mesti membayar $7,50 per orang. Keluarga Bogle menyediakan tempat parkir dengan kapasitas 300 mobil dan tak lebih dari 100 kendaraan diparkir pada minggu pertama.
Situasi berubah setelah beberapa foto orang berpose di tengah kebun bunga matahari viral di Instagram. Masih menurut The Globe and Mail, gelombang wisatawan datang untuk menyaksikan sekaligus berswafoto sejak pagi hingga sore pada Sabtu (28/7/2018). Parkir mobil mengular sampai satu kilometer panjangnya. Menurut keterangan salah seorang polisi pengatur lalu lintas, sebanyak 7.000 mobil turis memadati wilayah sekitar Bogle Seeds Farm kala itu.
Besarnya jumlah wisatawan menimbulkan persoalan, mulai dari masuknya pengunjung ke ladang tanpa izin hingga kecelakaan kecil antar-kendaraan turis. Keluarga Bogle juga khawatir wisatawan akan menyakiti bunga matahari yang termasuk tanaman sensitif. Akhirnya, mereka memilih menutup Bogle Seeds Farm dari wisatawan yang ingin berfoto di kebun bunga matahari.
Pada 2015, media-media nasional mengabarkan beberapa kebun dan wisata alam yang rusak akibat tingkah wisatawan yang ngebet selfie.
Pada November 2015, Tempo melaporkan bahwa selama seminggu, kebun bunga amarilis di Kecamatan Patuk, Gunungkidul didatangi oleh ribuan wisatawan yang ingin melihat-lihat dan berswafoto. Akibatnya, bunga amarilis milik pasangan Sukadi dan Wartini rusak terinjak-injak.
Sebulan kemudian, Liputan6 mengabarkan kerusakan serupa. Sekitar empat sampai lima lajur tanaman Kebun Raya Baturraden dengan lebar 30-40 cm dan kedalaman 2,5 meter rusak akibat ulah para pengunjung. Mereka berswafoto di hamparan bunga (flower bed) jenis Miana Daun Merah meski papan peringatan telah dipasang.
Instagram dan Kerusakan Lingkungan
Ketika internet belum jamak digunakan, orang kerap mengandalkan brosur atau katalog perjalanan ketika hendak merencanakan liburan. Saat ini, foto yang muncul di lini masa atau fitur explore Instagram justru menjadi rujukan seseorang ketika ingin berekreasi.
Hal ini dikemukakan oleh Corey Arnold, fotografer dan nelayan asal Amerika Serikat. Kepada National Geographic, ia mengatakan keinginan banyak orang untuk pergi ke suatu tempat berpemandangan apik dipengaruhi oleh kebiasaan mereka menghabiskan waktu dengan ponsel. “Tapi dari mana mereka mendapatkan inspirasi untuk bepergian? Jawabannya adalah Instagram,” katanya.
Instagram memang memudahkan para pelancong menemukan destinasi wisata. Aplikasi ini dilengkapi dengan fitur yang memungkinkan pengguna mengambil dan membagikan baik foto maupun video. Tak hanya itu, mereka juga bisa mencantumkan lokasi di mana gambar tersebut diambil (geotagging).
Menurut data Statista, pengguna aktif Instagram per September 2017 mencapai 500 juta orang. Mereka membagikan sekitar 95 juta foto dan video setiap hari. Seperti yang dilaporkan Forbes, watak Instagram yang berorientasi visual membuat engagement (jumlah interaksi terhadap sebuah akun lebih besar) dibandingkan media sosial lain.
Carrie Miller, penulis National Geographic asal New Zealand, mengatakan bahwa pengalaman berbagi foto dan video yang ditawarkan Instagram bisa mendatangkan manfaat bagi lingkungan. “Tak hanya membentuk komunitas di mana orang saling terhubung dan membagikan momen dalam hidupnya, hal itu juga dapat digunakan untuk menyoroti isu sosial dan lingkungan yang penting,” katanya.
Tapi, Miller menjelaskan bahwa fitur itu bak pisau bermata dua. Selain efek positif, pengalaman berbagi foto dan video yang disuguhkan Instagram bisa menyebabkan degradasi lingkungan dan mendorong wisatawan untuk melakukan aksi-aksi berbahaya. Selain itu, kepadatan turis yang berlebih pun melanda tempat wisata populer setelah gambarnya viral di media sosial.
Pengalaman keluarga Bogle adalah contoh bagaimana foto di Instagram membuat turis seantero Toronto datang untuk melihat dan berswafoto di kebun bunga matahari. Menurut situs berita ABC, peristiwa ini tak hanya terjadi pada tempat wisata alam buatan tapi juga yang alami seperti air terjun dan kawasan alpine di Tasmania, Australia. Para pengguna Instagram mendatangi wilayah tersebut demi mendapatkan foto terbaik versi mereka masing-masing.
Kerusakan lingkungan akibat ulah pengguna Instagram membuat resah sejumlah kalangan, salah satunya fotografer pemandangan Jason Futrill. Seperti yang dilaporkan ABC, ia meminta fotografer, situs perjalanan, dan akun turisme untuk memikirkan kembali dampak dari foto yang dibagikan. Menurutnya, mereka perlu berefleksi soal tanggung jawab konservasi saat mengambil dan mengunggah gambar di media sosial.
Sementara itu, fotografer Chris Burkard mengatakan solusi persoalan tersebut tak bisa diselesaikan dengan cara menghentikan kegiatan pelesir seseorang. “Jawabannya bukan menyetop aktivitas travelling tapi jalan-jalanlah dengan bertanggung jawab. Cobalah pergi ke suatu tempat bukan untuk pamer dan bagilah pengalaman Anda, alih-alih berusaha meniru orang lain,” katanya kepada National Geographic.
Bagi fotografer Scott Rinckenberger, upaya mengurangi kerusakan lingkungan saat membagi foto di media sosial sangat sederhana. Kepada Outside Online, ia mengatakan bahwa dirinya tak mencantumkan lokasi (geotagging) pada setiap unggahan foto. Rinckenberger hanya memberikan keterangan tempat di mana foto diambil saat ia merasa lokasi tersebut dapat melayani banyak wisatawan.
Tapi, pendiri dan pemimpin redaksi Modern Hikers Casey Schreiner menilai solusi menghentikan degradasi lingkungan akibat aktivitas para pengguna Instagram harus melibatkan semua pihak. Masih menurut situs Outside Online, ia mengatakan jembatan penghubung antara pengurus tempat wisata, agensi perjalanan, kelompok pecinta alam, dan para turis mesti dibangun untuk meminimalisir kerugian. Tak hanya itu, kelompok pecinta alam, agensi perjalanan, dan pengelola tempat wisata mesti mensosialisasikan etika memotret bagi pengunjung secara konsisten.
Di Tasmania, pantuan etika memotret untuk fotografer alam telah dibuat oleh Natural Resource Management seiring merebaknya kultur media sosial di kalangan wisatawan. Salah satu poin yang ditekankan dalam pedoman tersebut adalah: “Jika anda berniat membagikan gambar lewat internet, gunakanlah medium tersebut untuk meningkatkan kesadaran akan konservasi alam dan ancaman terhadap subjek yang difoto.”
Editor: Windu Jusuf