tirto.id - Momen persalinan merupakan detik-detik berharga bagi orangtua si bayi dan keluarganya. Karenanya, sebagian orang merasa perlu mengabadikan gambar perjuangan ibu bertaruh nyawa saat melahirkan. Dengan perkembangan teknologi saat ini, foto ataupun video persalinan dapat dibuat dengan mudah menggunakan ponsel atau alat perekam lainnya. Namun, bagi yang ingin dokumentasi persalinannya tampak lebih artistik, jasa fotografer profesional menjadi pilihan.
Tahun 2012 silam, CBCmenulis bahwa tren foto persalinan mulai mencuat di kalangan warga Kanada. Tingginya minat foto persalinan membuat beberapa fotografer yang mengkhususkan diri untuk memotret kelahiran bayi. Tren ini sebenarnya dimulai sejak berdirinya International Association of Professional Birth Photographers (IAPBP) yang berpusat di Texas, Amerika Serikat. Organisasi yang digagas oleh Lyndsay Stradtner pada tahun 2010 ini, telah memiliki 1.200 anggota di 42 negara.
Di samping organisasi fotografer, ada pula situs yang memfasilitasi fotografer senior dan baru yang tertarik pada foto persalinan: Birth Becomes Her. Situs yang diprakarsai oleh Monet Nicole Moutrie dan Jennifer Rainey Mason juga membuat kontes foto pada 2018.
Kategori foto dalam kontes ini mencakup momen kehamilan, persalinan, menyusui, dan postpartum. Dari 966 foto yang diikutsertakan dalam kontes tersebut, foto waterbirth Marijke Thoen dari Belgia yang berjudul “Stunning Siblings First Encounter” dinyatakan oleh juri dan khalayak sebagai foto terbaik.
Publikasi foto persalinan ini tidak hanya dibuat untuk kepentingan kontes, tetapi juga untuk berbagi cerita kepada para pengguna media sosial. Di Instagram, foto dan video seperti ini bisa ditemukan dengan tagar seperti #birthphotography, #birthstory, atau #birthbecomesher. Namun ternyata, tidak semua gambar persalinan bisa dimuat di Instagram.
Dilansir The Guardian, pada akhir 2017, Katie Vigos, seorang perawat dari Los Angeles yang menggagas Empowered Birth Project, membuat petisi yang ditujukan untuk Direktur Kebijakan Publik di Instagram. Hal ini bermula dari penghapusan sejumlah foto persalinan yang dia repost di media sosial tersebut.
Vigos menangkap bahwa penghapusan ini terjadi karena penampilan alat kelamin dalam foto persalinan merupakan bentuk pornografi. Lewat petisi yang dibuatnya di Change.org, ia mendesak untuk diizinkannya foto-foto persalinan tak disensor di Instagram.
Salah satu yang mendukung Vigos adalah Lauren Archer, salah satu pemilik foto yang karyanya diunggah ulang oleh Vigos sebelum akhirnya dihapus oleh Instagram. "Sebagai seorang perempuan, ketika ada yang menyensor anda, akan muncul rasa malu dan penyesalan seolah aku telah melakukan sesuatu yang tak pantas. Padahal aku sebenarnya tak perlu malu akan apapun."
Perihal Mendokumentasikan Persalinan
Esha Tegar (32), belum lama ini dikaruniai putri kedua. Dari dua kali proses persalinan istrinya, tidak sekali pun laki-laki yang berdomisili di Padang ini mendokumentasikannya, meskipun ada kenalannya yang sampai menyewa jasa fotografer profesional untuk mengabadikan gambar istri melahirkan.
“Saya menganggap proses (melahirkan) ini sangat personal. Jadi, saya nggak mau orang lain selain saya, apalagi fotografer, masuk ke ruangan dan menyaksikannya,” terang Esha.
Bapak dari Kambang Aruih ini pun mengatakan sebenarnya sang istri mungkin saja ingin mendokumentasikan proses persalinannya. Tetapi Esha menolak dengan beberapa pertimbangan, seperti tidak ingin repot. atau mencegah munculnya hasrat istri untuk mengunggahnya ke media sosial.
Keinginan memublikasikan foto persalinan di media sosial seperti yang Esha katakan memang terlihat dari beberapa postingantemannya. Salah satu gambar hitam putih yang diunggah memperlihatkan kondisi sang istri saat ditangani para tenaga medis di ruang operasi.
Pendapat senada dengan Esha juga disampaikan oleh Amanda (30). Di benak ibu dua anak ini tidak pernah terlintas niat untuk mendokumentasikan proses persalinannya. Alasannya jelas: karena tidak ingin alat kelaminnya dilihat selain oleh tenaga medis dan suami.
“Atau bisa juga karena gue merasa foto atau video persalinan itu terlalu raw. Gue aja nggak mau melihat pantulan perut gue yang lagi dibedah,” imbuh Amanda. Meski begitu, Amanda beropini bahwa sah-sah saja bila ada orang yang memilih mengabadikan momen kelahiran bayi mereka.
Kebijakan Berbeda Antar Rumah Sakit
Setiap rumah sakit memiliki regulasi masing-masing terkait izin mendokumentasikan proses persalinan. Saat istrinya melahirkan anak kedua, Esha bahkan diminta menunggu di luar ruangan sampai dipanggil dokter. Karenanya, Esha baru mendokumentasikan momen kelahiran anak keduanya begitu sang anak ditempatkan di inkubator.
Sementara menurut dr. Yassin Yanuar SpOG, di rumah sakit tempatnya bekerja, RS Pondok Indah, Jakarta Selatan, pendokumentasian proses persalinan diizinkan baik di ruang bersalin maupun kamar operasi. “Kalau untuk mendampingi di kamar bersalin, diperbolehkan. Sedangkan kalau mau masuk kamar operasi, perlu izin khusus, berdasarkan persetujuan dokter yang menangani pasien,” jelas dr. Yassin.
Salah satu alasan diperbolehkannya suami mendampingi istri, ujar Yassin, adalah agar cemas istri berkurang. Sedangkan prosedur pendampingan berbeda di ruang operasi dilandasi alasan bahwa kamar operasi adalah ruang kerja yang memiliki ketentuan khusus.
“Kamar operasi harus steril. Selain itu, kondisi udara, flow orang-orang yang bekerja, dan penempatan alat-alat sangat erat kaitannya dengan tindakan darurat sehingga harus benar-benar terjaga. Keterbatasan staf yang bertugas saat operasi juga membuat mereka kesulitan bila harus ‘melayani’ kebutuhan pendamping,” papar pria yang sudah lima tahun bekerja sebagai dokter spesialis kandungan ini.
Ada pula ketentuan jumlah maksimal orang yang ada di kamar operasi, tergantung ukuran ruangan. Ini juga yang bisa mendasari pembatasan akses pendamping saat seseorang melahirkan. Meskipun pendokumentasian proses persalinan diizinkan di tempat kerjanya, Yassin mengingatkan potensi gangguan yang bisa datang ketika hal ini dilakukan.
“Orang-orang yang bekerja di kamar operasi itu berada dalam tekanan yang tinggi. Dalam hitungan detik, mereka harus siaga menjalani prosedur emergency. Nah, hal-hal seperti ini yang potensial terganggu [dengan kehadiran pendamping]. Namun di lain sisi, keberadaan pendamping juga dibutuhkan bila ada sesuatu mendadak yang sifatnya membutuhkan persetujuan dari keluarga,” tutup Yassin.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nuran Wibisono