tirto.id - Baca artikel sebelumnya tentang awal mula tren konten girlification di tautan berikut:
Menyelami Girlification, Simplifikasi Perempuan di Media Sosial
Sebermula, girlification atau penyematan kata ‘girls’ untuk konten-konten hiburan di media sosial adalah bagian dari candaan eksklusif di kalangan perempuan.
Sebut salah satunya girl’s math, cara pandang dalam berbelanja yang tujuannya sekadar membuat kita tidak terlalu merasa bersalah ketika mengeluarkan uang demi bersenang-senang.
Ada pula tren girl’s dinner. Muncul perdana di jagat TikTok, istilah ini merujuk pada makan malam sederhana berupa kudapan. Tren ini dinilai sudah mendorong semangat pembebasan bagi perempuan dari tuntutan untuk menjadi provider bagi keluarga.
Tak sedikit yang kemudian menjadikan konten semacam ini sebagai ruang aman untuk membangun sisterhood alias persaudaraan antarperempuan.
Di satu sisi, penggunaan berulang girl’s math, girl’s dinner, lazy job girl, explaining things for girls, dan frasa-frasa serupa dikritik sudah menyepelekan perempuan karena dianggap tidak pintar atau berpikiran sederhana.
Selain itu, girlification juga berpotensi mengarah pada infantilisasi perempuan.
Sejarah Amerika Serikat, catat Toby Rollo di Journal of Black Studies (2018), menggolongkan masyarakat kulit hitam sebagai anak-anak oleh orang kulit putih. Mereka adalah kelompok yang dipandang belum menjadi manusia seutuhnya (subhuman).
Upaya infantilisasi bisa kita tarik kaitannya dengan makna girls dalam bahasa Inggris yang merujuk pada kelompok perempuan di bawah usia 18 tahun.
Padahal, dalam realitasnya, penggunaan girls pada aktivitas keseharian lebih cair dibandingkan boys karena istilah girls terkadang juga diterapkan untuk perempuan dewasa.
Language and Woman's Place (1975) karya Robin Lakoff membabar kata girls yang ditujukan untuk perempuan dewasa sudah menyiratkan sikap sembrono, polos, tidak dewasa, dan tidak bertanggung jawab.
Coba kita ambil contoh berikut. Mudah bagi kita mendapati istilah girlboss di internet, akan tetapi tidak halnya dengan boyboss. Kenyataannya, tidak ada laki-laki sukses dan mapan yang ingin dipandang sebagai boy.
Tidak bisa dimungkiri, perempuan sukses pun masih rentan mendapatkan pelabelan girls dari masyarakat.
Ketika para perempuan berjuang untuk posisi dan hak yang setara dengan laki-laki, menyematkan label girls justru sebuah kemunduran.
Sekian dekade lamanya gerakan feminis di berbagai belahan dunia berjuang untuk menghapus stigma dengan memberikan bukti bahwa perempuan adalah manusia cerdas, tangguh, sejajar, dan bahkan dapat melampaui laki-laki.
Yang tidak dipunyai oleh perempuan adalah kesempatan yang setara.
Konten-konten girlification yang digaungkan lewat media sosial secara tidak langsung memperluas anggapan umum laki-laki terhadap perempuan yang sama sekali tidak benar.
Tesis berjudul When Women Called “Girls” (2015) dari Heather J. MacArthur memberikan fakta tambahan seperti berikut.
“(Penelitian) ini menunjukkan bahwa label kekanak-kanakan ‘girls’ memiliki dampak paling besar dan paling berbahaya dalam konteks pentingnya kualitas kedewasaan, kepemimpinan, dan kematangan, seperti di tempat kerja dan lingkungan yang memerlukan kepemimpinan.”
Sebab itu, isu girlification perlu diangkat karena belum semua perempuan menyadari bahwa pelabelan seperti ini bisa menimbulkan daya rusak.
Dalam penelitian MacArthur, hanya 5 dari 46 responden yang menyadari penyebutan “girls” bermasalah.
“Meski begitu, infantilisasi perempuan yang semakin diwajarkan (bahkan) dalam ranah bahasa tidak boleh dipandang remeh; penelitian menunjukan bahwa perilaku seksisme tak kentara akan memiliki dampak kumulatif yang terus membesar seiring waktu. Pada beberapa kasus (seksisme jenis ini) bisa jadi lebih berbahaya daripada yang terang-terangan karena akan sulit untuk dikenali sehingga sukar (juga) untuk dilawan,” tulis MacArthur menekankan hasil penelitiannya.
Meskipun sudah mulai mulai muncul perlawanan dengan boy’s dinneruntuk menggambarkan barbarisme laki-laki dalam memilih makanan, hingga boy’s math, yaitu logika matematika laki-laki yang cenderung masa bodoh dan tidak masuk akal, bukan berarti masalah girlification selesai begitu saja.
Di kemudian hari, pelabelan yang sama mungkin akan muncul dengan format lebih baru.
Tidak ada cara lain untuk menghadapi label-label seperti ini selain meningkatkan kewaspadaan atas tren-tren baru di media sosial. Bentuk lama, format baru.
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih