tirto.id - 'Cause I'm just a girl, oh, little old me Well, don't let me out of your sight Oh, I'm just a girl, all pretty and petite So don't let me have any rights
Potongan lirik lagu Just a Girl itu ditulis oleh Gwen Stefani saat dirinya masih menjadi bagian dari grup band ska punk No Doubt.
Menjadi andalan dalam album Tragic Kingdom (1995), Just a Girl merupakan ekspresi sindiran Gwen kepada sang ayah yang menganggapnya tidak bisa menjaga diri hanya karena dia perempuan.
“Bukan maksudku tidak mau jadi perempuan, tapi laki-laki tidak paham bahwa [pengalaman menjadi perempuan] itu terkadang juga berat sekali, " ungkap Gwen seperti dikutip dari American Songwriter pada 2024 lalu.
Sempat dinobatkan sebagai himne feminis oleh Observer, beberapa dekade kemudian Just a Girl viral di TikTok dengan isi pesan yang, ironisnya, berkebalikan dari maksud Gwen.
Awalnya, frasa ini dipakai untuk merespons celetukan untuk memaklumi keisengan laki-laki: “Boys will be boys”.
Namun, sekarang, tak sedikit yang menggunakan kalimat “I am just a girl” untuk menormalisasi kesalahan kecil atau menunjukan sikap tidak ingin bertanggung jawab atas kekeliruan yang dilakukan.
Seiring itu, “I am just a girl” semakin populer berbarengan dengan sebutan girl’s math, girlboss, girl power,lazy girl job, sampai konten-konten bertajuk explaining things for the girls.
Beberapa waktu silam, sebagian besar dari kita mungkin cukup sering mendengar istilah girlboss.
Penggunaan girlboss di berbagai ruang media semakin populer sejak 2014 ketika Sophia Amoruso, pendiri ritel fesyen perempuan Nasty Gal, menerbitkan memoar #Girlboss (2014).
Menyitir Forbes, di Amerika Serikap, istilah girlboss kerap diasosiasikan dengan perempuan muda, berkulit putih, dan menarik perhatian.
Selang setahun kemudian, Nasty Gal menghadapi tuntutan usai dituduh memecat empat pekerjanya yang sedang hamil.
Menurut pengakuan para korban, Nasty Gal mengizinkan mereka untuk bekerja sampai menjelang kelahiran. Meski begitu, tidak ada perpanjangan kontrak apapun setelah itu.
Ironis, bukan?
Fenomena girlboss yang menyusahkan perempuan bukan satu-satunya kejadian. Coba kita telusuri gejala-gejala dari tagar girls lainnya
Pada Mei 2023 silam, tren girl’s dinner muncul perdana melalui akun TikTok Olivia Maher.
Istilah ini merujuk pada aktivitas makan malam sederhana berupa kudapan.
Semula, girl’s dinner dinilai menciptakan gebrakan pembebasan bagi perempuan dari tuntutan untuk menjadi provider bagi keluarga.
“Kami suka makan dengan cara begini. Disebut girl’s dinner karena aktivitas ini dilakukan saat tidak bersama pacar, sehingga kami tidak perlu repot-repot menyediakan makan malam seperti biasa,” begitu kata Maher seperti dikutip dari New York Times.
Sayangnya, tren ini tak lagi terdengar asyik ketika mulai dilirik oleh korporasi besar untuk ekspansi marketnya.
Popeyes, salah satu restoran cepat saji di negeri Paman Sam, Amerika, menambahkan girl’s dinner ke dalam menu mereka.
Di mata beberapa pengamat, langkah Popeyes dipandang sebagai upaya perusahaan untuk memanfaatkan tren yang menyasar perempuan sebagai pasar utamanya.
Lalu muncul lagi istilah girl’s math, perdana dikenalkan di acara Fletch, Vaughan & Hayley dari siaran radio Selandia Baru pada 2023.
Girl’s math, sederhananya, adalah upaya penyesuaian aktivitas belanja barang sekunder menggunakan perhitungan yang keliru.
Sebagai contoh, kamu memiliki uang dalam bentuk tunai dan membelanjakannya.
Dalam logika girl’s math, selama saldo kartu kredit atau debit tidak berkurang, maka semua pembelian tersebut bisa dikategorikan gratis.
Demikian juga ketika kamu membeli tiket konser yang pementasannya berlangsung tahun depan. Dari perspektif girl’s math, pembelian itu tergolong gratis karena dilakukan jauh-jauh hari.
Begitu tanggapan J.P. Krahel, dosen akuntansi di Loyola University Maryland, seperti dikutip dari CBS News.
@sarahazka20 This always gets me🙃 #girlmath
♬ original sound - Meme page
Berhenti di situ saja? Tentu tidak, tren girls ini terus bermunculan dengan konsep yang beraneka ragam.
Tagar explaining things for girls menjadi sorotan karena menjelaskan fakta-fakta krusial melalui penyederhanaan yang ekstrem dan kekanak-kanakan.
Salah satu TikToker yang kerap menggunakan penjelasan ini adalah @nikitadumptruck.
“Hari ini aku mau menjelaskan tentang inflasi dengan menggunakan [perumpamaan melalui istilah-istilah seperti] aktivitas belanja dan cowok-cowok,” ujar Nikita mengawali rutinitasnya membuat konten.
Sebagian orang memuji Nikita karena mampu menyederhanakan topik-topik kompleks menjadi lebih mudah dicerna.
Meski begitu, tak sedikit pula yang beranggapan bahwa konten-konten Nikita justru menebalkan stereotip bahwa perempuan cenderung tidak pintar dan kesulitan mencerna isu-isu sosial, ekonomi, politik, hingga sains.
Tagar yang semula digunakan sebagai penanda kelompok sekaligus upaya pemberdayaan justru berbalik melemahkan gerakan tersebut.
Coba telusuri tagar lazy job girls yang merujuk pada pekerjaan ideal: gaji cukup, beban kerja sesuai, dan sistem kerja yang fleksibel.
Bukankah itu berarti justru mengerdilkan pencapaian dan pengalaman perempuan-perempuan yang selama ini sudah gigih bekerja?
Nah, yang jadi pertanyaan sekarang, mengapa konten yang menggunakan tagar girls di media sosial begitu masif?
Penjelasannya kemungkinan berkaitan dengan hasrat dasar umat manusia untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok sosial.
Demikian disampaikan oleh dosen ilmu pemasaran dari Singapore Management University, Shilpa Madan, kepada BBC.
Madan menerangkan, “Ketika label ‘girls’ muncul, ada rasa keterikatan yang menumbuhkan rasa persaudaraan dan kebersamaan.”
“Dalih apa pun untuk ikut serta dalam ritual bersama atau bergabung dengan 'suku' sebagai bagian dari tren viral—meskipun cuma sementara—sulit ditolak,” imbuhnya.
Nah, kamu sendiri, apa pernah tertarik untuk merespons dan mengikuti konten-konten girlification?
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih