Menuju konten utama

#IndonesiaGelap Luapan Protes Rakyat Atas Kebijakan Pemerintah

Pemerintah seharusnya bisa mendengarkan dan menindaklanjuti protes publik, bukan hanya sibuk dengan proses kebijakan yang berpolemik.

#IndonesiaGelap Luapan Protes Rakyat Atas Kebijakan Pemerintah
Mahasiswa Universitas Indonesia membentangkan poster saat berunjuk rasa di lapangan FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Senin (17/2/2025). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/rwa.

tirto.id - Belum setahun sejak logo garuda dengan latar biru Peringatan Darurat mewarnai jagat maya, lambang itu kembali mengudara dengan latar hitam. Perubahan warna menjadi lebih suram ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan kekhawatiran publik terhadap Tanah Air semakin membuncah.

Hasil analisis lembaga pemantau media sosial, Drone Emprit, menemukan gambar garuda hitam ini terlacak di X setidaknya sejak tanggal 3 Februari 2025 malam, alias dua hari setelah pemberlakukan pembatasan distribusi elpiji 3 kilogram (kg) ke pengecer.

Tagar Peringatan Darurat berlatar hitam ini muncul menyusul tagar #IndonesiaGelap. Menurut temuan Drone Emprit, kedua tagar ini mengusung narasi serupa dan kerap muncul bersamaan. Selain itu, narasi ini juga dikatakan berasal dari akun-akun organik.

Drone Emprit mengungkap, garuda hitam ini mulanya dicuitkan oleh akun X @BudiBukanIntel pada Senin (3/2/2025) pukul 22.36 WIB dan diunggah sebagai jawaban atas pertanyaan @out_of_thecourt tentang Peringatan Darurat.

Beberapa isu yang diangkat lewat tagar ini termasuk soal kisruh LPG 3 Kg, reformasi Polri, program Makan SIang Bergizi (MBG), pemangkasan anggaran untuk program sosial dan kesejahteraan rakyat, masalah pendidikan, kesehatan, serta lapangan pekerjaan.

Demo Indonesia Gelap

Demo Indonesia Gelap. twitter/BEM UI

Aksi rakyat ini tentu tak cuman bergema di media sosial, tapi juga berwujud demo yang serentak dilakukan di lebih dari 10 wilayah.

Mahasiswa dari mulai Universitas Indonesia (UI), Universitas Tulang Buwang (UTB) Lampung, hingga Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin (UNISKA), dilaporkan menggelar aksi massa bertajuk Indonesia Gelap, pada Senin (17/2/2025) ini.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI misalnya, mengumumkan mahasiswa kampus almamater kuning ini berkumpul di Lapangan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI pada pukul 09.00 WIB dengan menggotong lima tuntutan.

Kelima tuntutan tersebut di antaranya mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 karena menetapkan pemangkasan anggaran yang dinilai tidak berpihak pada rakyat, dan mencabut pasal dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang memungkinkan perguruan tinggi mengelola tambang guna menjaga independensi akademik.

Selain itu, BEM UI juga mendesak pemerintah untuk mencairkan tunjangan dosen dan tenaga kependidikan secara penuh tanpa hambatan birokrasi dan pemotongan yang merugikan, mengevaluasi total program MBG dan mengeluarkannya dari anggaran pendidikan, serta berhenti membuat kebijakan publik tanpa basis riset ilmiah dan tidak berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Cerminkan Kepedulian

Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Adinda Tenriangke Muchtar, menyebut aksi Indonesia Gelap ini sebagai contoh aktivisme mahasiswa dan anak muda yang kreatif.

Kata Adinda, hal ini didorong dengan semakin banyaknya platform daring yang mempermudah aktivisme, termasuk media sosial. Terlebih jaringan mahasiswa yang kritis juga tersebar di mana-mana, bukan hanya terpusat di Jakarta atau di Pulau Jawa. Mereka kemudian memanfaatkan jaringan strategis dan kemampuan mengorganisir.

“Saya punya konsep yang saya sebut dengan netizenship, artinya warga negara yang aktif di dunia digital, mereka punya kepedulian yang tinggi terhadap isu-isu kebijakan publik, demokrasi, politik, HAM dan sebagainya, dan mereka memanfaatkan kreativitas, pendekatan-pendekatan yang inovatif, juga networking, dan memanfaatkan sosial media secara optimal,” kata Adinda saat dihubungi Tirto, Senin (17/2/2025).

Netizenship lewat media sosial dan media daring memang memungkinkan ruang maya menjadi lebih dari sarana informasi, alias juga sebagai gerakan sosial berbasis daring. Hal itu diungkap oleh sebuah studi yang dimuat dalam Journal of Communication Studies (2022). Meski konteks penelitian tersebut soal petisi daring Change.org, namun studi itu menyingkap bagaimana interaksi di media sosial bisa berpengaruh terhadap perubahan kebijakan.

Adinda mencoba menarik ke belakang saat peringatan Indonesia Darurat dengan garuda biru viral pada Agustus lalu. Menurutnya, orang-orang yang menyebarkan unggahan tersebut punya kepedulian terhadap isu yang tengah jadi kekhawatiran.

“Artinya ketika orang pasang [gambar garuda] bukan [untuk] sebatas trending, tapi artinya memang ada kepedulian bersama, yang semua orang memperhatikan isu kebijakan. Dan ini menjadi menarik karena masih di awal-awal periode Prabowo-Gibran, artinya kepedulian itu juga luar biasa, ada partisipasi kritis dari masyarakat yang menggunakan media sosial sebagai platform untuk mendorong aktivisme bersama,” kata Adinda.

Ia pun menyatakan soal urgensi aksi Indonesia Gelap dianggap menjadi perhatian bersama, agar Indonesia bisa menjadi lebih baik untuk semua. Di tengah rentetan masalah yang sedang jadi perbincangan, terutama soal efisiensi anggaran, menurut Adinda, di sisi lain Kabinet Merah Putih justru obesitas.

“Nah pertanyaannya sebenarnya adalah, seberapa efektif gerakan ini mendorong atau memberikan daya tekan kepada pemerintah, untuk memperbaiki kebijakan publik, bagaimana proses kebijakan benar-benar bisa diperbaiki dengan suara vokal dari mahasiswa, tapi tentu saja mahasiswa tidak sendiri,” sambungnya.

Adinda menekankan pemerintah seharusnya bisa mendengarkan dan menindaklanjuti protes publik, bukan hanya sibuk dengan proses kebijakan yang berpolemik dan tambal sulam komunikasi publik yang malah memperkeruh suasana dan ketidakpercayaan publik.

“Ingat, bahkan plan LPG 3 kg kemarin saja sudah merepotkan masyarakat plus menyebabkan korban. Wakil rakyat juga harus dituntut bersuara,” kata Adinda.

Efisiensi Anggaran Jadi Sorotan

Peneliti Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), Gulfino Guevarrato, pun menyoroti terkait efisiensi anggaran yang menjadi tuntutan dan salah satu latar belakang dalam aksi Indonesia Gelap.

Gulfino bilang, keputusan efisiensi yang dilakukan pemerintah menjadi runyam lantaran dilakukan secara tergesa-gesa. Efisiensi yang dilakukan bersamaan dengan semakin gemuknya kementerian dinilai menjadi paradoks.

“Maksudnya bagaimana efisiensi ini kan muncul akibat salah satu dampak dari bertambahnya jumlah kementerian lembaga, bertambahnya wamen [wakil menteri], bertambahnya stafsus [staf khusus], yang itu secara fungsi juga nggak penting-penting banget sebenarnya. Nah itu sebenarnya, jadi kemudian narasinya jadi acak-acakan gitu loh,” kata Gulfino lewat sambungan telepon, Senin (17/2/2025).

Padahal, menurut Gulvino, secara prinsip, efisiensi punya tujuan yang bagus. Hal itu mengingat Anggaran Belanja Pendapatan Negara (APBN) Indonesia yang banyak dihabiskan untuk belanja-belanja birokrasi yang minim manfaat kemasyarakatan.

“Kan sering muncul kegiatan, berbagai macam kegiatan ya, di hotel lah, perjalanan dinas lah, apalah gitu. Yang tujuannya adalah untuk kinerja, tetapi kinerjanya adalah sekaligus anggaran, bukan output atau outcome terhadap layanan publik. Jadi mungkin yang perlu dipertegas di sini adalah prinsip dari efisiensi itu bagus,” ujar Gulfino.

Aksi mahasiswa UI untuk Indonesia Gelap

Mahasiswa Universitas Indonesia berunjuk rasa di lapangan FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Senin (17/2/2025). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/rwa.

Lulusan Fakultas Hukum, Universitas Jember, itu pun menggarisbawahi bahwa gerakan Indonesia Gelap ini penting dilihat sebagai sanggahan atas narasi Prabowo yang bebas kritik.

“Ada itu kan berbagai macam penyikapan, itu penting supaya kemudian apa yang disampaikan oleh presiden sebelumnya kepada Pak Prabowo, bahwa Prabowo ini presiden yang luar biasa, tidak ada yang mengkritik juga,” kata Gulfino.

Meski demikian, Gulfino berpendapat, gerakan-gerakan aksi mahasiswa yang dilakukan kini tidak bisa setengah-setengah lagi. Dengan kata lain, tidak cukup dilakukan secara seremonial atau dalam bentuk aksi turun ke jalan.

“Artinya mungkin perlu ada semacam gerakan yang lebih masif, yang terjadi misalnya dari Sabang sampai Merauke, misalnya begitu,” ujar Gulfino.

Menyikapi aksi Indonesia Gelap, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, memastikan tidak ada pemotongan terhadap biaya operasional perguruan tinggi, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, maupun beasiswa. Presiden Prabowo Subianto sudah menegaskan bahwa, kebijakan pemotongan anggaran pendidikan tidak boleh dilakukan.

"Presiden sampaikan bahwa info yang beredar soal pemotongan beasiswa, KIP kuliah atau biaya operasional perguruan tinggi sama sekali nggak benar. Dan presiden bilang ini (pemotongan anggaran KIP dan beasiswa) nggak boleh dilakukan," jelas Hasan di Istana Negara, Jakarta, Senin (17/2/2025).

Baca juga artikel terkait MEDSOS atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang