Menuju konten utama

Jurus Kepepet dan Merangkul Lawan ala Uber

Langkah bisnis Uber di berbagai belahan dunia cukup kontroversial. Mereka beberapa kali melepas saham ke perusahaan lokal. Apakah ini strategi kekalahan atau kemenangan?

Jurus Kepepet dan Merangkul Lawan ala Uber
Gambar ilustrasi menunjukkan logo aplikasi layanan berbagi mobil Uber di smartphone di sebelah gambar tanda taksi resmi Jerman, 15 September 2014. REUTERS/Kai Pfaffenbach

tirto.id - Seorang pemuda San Fransisco, Garrett Camp sering kesulitan memperoleh taksi saat hendak beraktivitas. Rasa nestapanya mendorong ia berpikir kreatif untuk melahirkan apa yang saat ini menjadi tren dunia—yang kini dikenal sebagai bisnis ride sharing.

Garrett Camp membidani ide pembuatan aplikasi ride-sharing. Ia bersama Oscar Salazar, Conrad Whelan, dan Travis Kalanick melahirkan UberCab atau Uber pada 2010.

Uber merupakan pelopor aplikasi ride sharing di penjuru dunia. Banyak yang meniru mereka, misalnya Grab dan Go-Jek di Asia Tenggara. Biasanya ihwal semacam ini terjadi di negara-negara yang belum ada kemunculan Uber. Di Malaysia, tempat lahirnya Grab, Uber meluncur sejak 9 Januari 2014. Sementara di Indonesia, markas besar Go-Jek, Uber sudah ada sejak 15 Agustus 2014.

Sayangnya, langkah Uber masuk pasar Asia Tenggara telat, dapat dilihat dari pangsa pasar. Grab mengklaim menguasai 71 persen pangsa pasar ride sharing se-Asia Tenggara. Sementara itu, Go-Jek jadi penguasa di Indonesia.

Tanda-tanda kekalahan Uber di Asia Tenggara seolah semakin berbunyi nyaring. Muncul rumor SoftBank, perusahaan yang baru mengucurkan investasi $9,25 miliar dan pemilik 15 persen Uber, ingin Uber fokus ke pasar Amerika Serikat, Eropa, Amerika Latin, dan Australia. SoftBank dikabarkan ingin Uber meninggalkan Asia Tenggara karena pasar yang berbiaya mahal dan persaingan paling kompetitif di bisnis ride sharing.

Strategi melepas pasar oleh Uber bukanlah hal yang baru. Uber pernah menjual sahamnya di Cina. Pada awal Agustus 2016 Uber menjual unit bisnis Cina yang punya nilai $8 miliar pada Didi Chuxing. Sayangnya, tak disebutkan berapa nilai kesepakatan dari aksi bisnis tersebut. Pada saat kesepakatan terjadi, valuasi Didi Chuxing berada di angka $28 miliar. Aksi pembelian itu sukses melejitkan valuasi Didi menjadi $36 miliar.

Aksi Uber melepas sahamnya di Cina termasuk aneh. Uber memiliki prospek yang bagus di pasar Cina. Ada beberapa indikator antara lain pertama, sebelum penjualan pada Didi terjadi, ada 150 juta perjalanan via Uber yang dilakukan di Cina per bulan. Pada Oktober 2015 Uber Cina menyumbang 30 persen dari total perjalanan Uber secara global.

Kedua, Cina merupakan pasar yang memiliki pertumbuhan cepat. Di Kota Chengdu misalnya, sejak hadir pada 2014, Uber telah memiliki 20 ribu pengemudi. New York, kota yang terletak di negara asal Uber nyaris disalip oleh Kota Chengdu. Sejak hadir pada 2011 Uber baru memiliki 26 ribu pengemudi di New York.

Selain dua indikator tersebut, Uber dinilai punya pendekatan unik pada Cina dibandingkan perusahaan teknologi lain. The New York Times menyebut bahwa pendekatan itu antara lain kehadiran tim lokal di berbagai kota di Cina untuk merespons secara cepat situasi pasar. Ini membuat membuat Uber lebih mudah berkompetisi. Travis Kalanick, saat masih menjabat CEO, sering pergi ke Cina untuk melakukan lobi pada penguasa Cina.

Berbagai pendekatan tersebut jadi kekuatan Uber di Cina. Namun, ada dalih mengapa Uber akhirnya "menyerah" di pasar Cina. The New York Times menyebut bahwa teknisi Uber harus terus-terusan berhadapan dengan para pengemudi yang berbuat curang demi memperoleh komisi. Setelah mempertimbangkan persaingan yang makin panas, Uber harus rela diblokir dari WeChat, aplikasi pesan instan populer Cina. Padahal aplikasi ini sebagai salah satu saluran pemasaran mereka. Pemblokiran itu salah satunya terjadi karena WeChat merupakan investor Didi.

Selain di Cina, langkah melepas saham oleh Uber juga terjadi di Rusia. Pada Juli 2017 lalu, startup itu mengumumkan operasional Uber Rusia diserahkan pada Yandex, mesin pencari asal Rusia yang juga memiliki bisnis ride sharing. Pada merger yang dilakukan, Yandex menguasai 59,3 persen saham dengan menginvestasikan senilai $100 juta.

Selain menjual dan melakukan merger, Uber pun pernah benar-benar mengibarkan bendara putih di negara lain. Pada April 2017 lalu, startup itu resmi hengkang dari Copenhagen, satu-satunya kota yang disinggahi Uber di Denmark.

Infografik Uber di ujung tanduk

Di Balik Langkah Uber

Apa yang dilakukan Uber seperti menjual unit operasional, merger, atau menghentikan kegiatan bisnis di suatu wilayah, erat kaitannya dengan memaksimalkan keuntungan dan meminimalisir kerugian.

Langkah Uber menjual operasional Uber Cina ke Didi, tak serta merta dianggap sebagai kekalahan startup ini. Uber, dalam kesepakatannya menjual unit Cina ke Didi, memperoleh 17,7 persen saham Didi. Selain itu, Didi juga menyetor uang senilai $1 miliar pada Uber Global. Ini artinya, Uber sesungguhnya tak hengkang di pasar tersebut. Mereka masih bermain di Cina tetapi dengan menggunakan "tangan" startup lokal di sana.

Aksi merger dengan Yandex beraroma serupa. Pada kesepakatan penggabungan itu, Yandex memegang 59 persen saham, dan Uber masih punya saham sisanya. Namun, meskipun unggul di sisi kepemilikan, Yandex tak menyumbang investasi lebih besar daripada Uber. Yandex menggelontorkan uang senilai $100 juta atas merger, sementara itu Uber menyetor sampai $225 juta.

Sementara itu, langkah Uber hengkang sepenuhnya dari Denmark bisa dibaca sebagai cara startup tersebut menyelamatkan diri. Selain halangan dari regulasi pemerintah, Uber tak terlalu berkembang di negara itu. Pada saat Uber hengkang, hanya ada 2 ribu pengemudi Uber di Denmark. Bandingkan dengan operasional Uber di Inggris, hingga akhir 2017 tercatat ada 40 ribu pengemudi Uber di sana.

Bila melihat aksi-aksi “angkat tangan” Uber sesungguhnya tak melakukan sesuatu yang salah. Mereka sekedar mencari aman dengan memanfaatkan tangan lokal untuk menguasai pasar. Ini paling tidak terlihat dari aksi mereka di Cina maupun Rusia. Sementara aksi yang dilakukan di Denmark, lebih tepat dianggap sebagai aksi penyelamatan. Uber memang tak beruntung di Denmark.

Artinya ada rumor atau spekualsi Uber menjual operasional Asia Tenggara bisa dimaknai sebagai strategi memaksimalkan keuntungan. Kabar Uber akan meninggalkan pasar Asia Tenggara yang diprediksi bernilai $13,1 miliar pada 2025 kelak merupakan suatu strategi yang tak masuk akal. Satu-satunya cara yang paling logis adalah melebur pada startup lokal yang sudah berkuasa di Asia Tenggara. Grab adalah kunci Uber menancapkan bisnisnya di Asia Tenggara.

Dara Khosrowshahi, Chief Executive Officer (CEO) Uber menyatakan bahwa Uber masih akan bertahan di Asia Tenggara. “Saat ini rencana kami untuk Asia Tenggara adalah maju terus dan melakukan investasi,” tegas Khosrowshahi.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra