tirto.id - Kemacetan bagaikan penyakit kronis yang terus menggerogoti Pulau Dewata, sehingga banyak pihak bertanya-tanya apa gerangan penyebab dari tidak tuntasnya masalah kemacetan. Akibatnya, polemik mengenai transportasi terus muncul, bahkan bukan sekali atau dua kali naik ke permukaan.
Kali ini, yang mendapat panggung adalah usulan mengenai sopir taksi online wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Bali. Wacana tersebut dikritisi oleh Ketua DPU Bidang Angkutan Sewa Khusus DPD Organda Bali, Aryanto, yang menilai usulan tersebut berpotensi diskriminatif.
“Jelas tidak setuju, baik saya secara pribadi ataupun organisasi. Jika aturan ini sampai gol, jelas berpotensi menimbulkan perpecahan dan tidak berdasarkan asas keadilan,” ucap Aryanto di Denpasar, Selasa (4/2/2025).
Aryanto mengatakan pihaknya siap melakukan gugatan class action apabila pemerintah menerbitkan aturan kewajiban KTP Bali tersebut. Selain itu, dia juga menilai transportasi online sering menjadi kambing hitam atas kemacetan, padahal pernyataan tersebut masih perlu dikaji lebih dalam oleh pemerintah.
Terbitnya usulan mengenai kewajiban driver untuk ber-KTP Bali tersebut tidak lepas dari aksi yang dilakukan oleh ratusan sopir taksi konvensional dalam Forum Perjuangan Driver Pariwisata (FPDP) Bali di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali, Senin (6/1/2025).
Mereka mengeluh mengenai Pulau Dewata yang mulai dijarah oleh perusahaan transportasi digital dan sopir berpelat non-DK yang bersaing memperebutkan pasar transportasi dengan sopir-sopir lokal.
Dalam salah satu tuntutannya, tercetus perihal pembatasan rekrutmen driver di Provinsi Bali hanya kepada masyarakat yang memiliki KTP Bali dan mewajibkan mobil pariwisata berpelat DK. Dasarnya, para sopir taksi konvensional tersebut merasa bahwa hadirnya aplikasi layanan transportasi menyebabkan ketimpangan akses ekonomi bagi sopir lokal dan munculnya kemacetan parah.
Usulan para sopir taksi konvensional tersebut didukung oleh Senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Bali, Ni Luh Djelantik. Menurutnya, Pasal 7 Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 40 Tahun 2019 harus dihapus, sebab membuat perusahaan aplikasi online tidak bisa menolak warga non-KTP Bali untuk menjadi mitra.
Pergub tersebut memang membuka keran bagi penduduk di seluruh Nusantara untuk mengais rezeki sebagai pengemudi taksi online di destinasi wisata Indonesia ini. Dalam Pasal 7, tercantum bahwa pengemudi angkutan yang terdaftar pada perusahaan Angkutan Sewa Khusus (ASK) hanya wajib memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yakni wajib memiliki surat keterangan domisili di wilayah Provinsi Bali.
“Poin yang sudah menjadi kesepakatan kami bersama, di mana semeton (teman-teman) persatuan driver dari berbagai daerah dan berbagai paguyuban di Bali menyepakati, meminta dengan tegas Pergub Bali Nomor 40 Tahun 2019 pada poin pasal 7, yaitu diberlakukan surat domisili untuk bisa menjadi driver di Bali harus dihapus,” kata Ni Luh Djelantik usai dengar pendapat dengan paguyuban driver pariwisata se-Bali, Jumat (10/1/2025) sebagaimana dilansir dari situs DPD Provinsi Bali.
Ni Luh Djelantik juga mengemukakan akan dibentuk asosiasi pengemudi mobil pariwisata di Bali dengan salah satu tujuan untuk menyaring pengemudi yang ber-KTP Bali dan tidak. Asosiasi tersebut juga yang akan memastikan para pengemudi tersertifikasi dan punya pengetahuan tentang Bali yang mendalam.
“Kehadiran asosiasi ini selanjutnya akan menjadi penyaring demi pelayanan terbaik kepada para wisatawan. Bali berhak memiliki yang terbaik karena kita harus memberikan yang terbaik,” kata dia.
Berpotensi Diskriminatif dan Melanggar Aturan Hukum
Wacana sopir transportasi online wajib ber-KTP Bali juga dikritisi oleh Perhimpunan Driver Online Indonesia (PDOI) wilayah Bali. Ketua PDOI Bali, Aditya Purwadinata, mengungkapkan peraturan daerah harus tetap mengacu pada peraturan di atasnya, seperti UUD 1945 dan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub). Dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 telah disebutkan bahwa tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
“Apabila hal ini terus didorong, berpotensi menimbulkan pemahaman yang tidak sehat dan rasisme antara sesama warga negara karena menciptakan dikotomi atau dikotak-kotakan yang tidak perlu,” terang Aditya ketika dihubungi Tirto, Selasa (4/2/2025).
Aditya menilai keberadaan pengemudi transportasi online adalah untuk melayani masyarakat secara luas, bukan sebatas pariwisata. Oleh sebab itu, pengemudi transportasi online sebenarnya tidak perlu diwajibkan memiliki kompetensi atau izin khusus selayaknya para pengemudi yang memang berkecimpung di bidang pariwisata.
“Jika ada wisatawan yang menggunakan layanan aplikasi online, hal tersebut tidak bisa dibendung. Namun, bukan lantas pengemudi yang disalahkan apabila tidak mampu berkomunikasi bahasa asing atau tidak paham betul tentang budaya dan destinasi wisata di Bali. Wisatawan selaku customer yang sudah salah pilih layanan transportasi sedari awal,” ucapnya.
Selain itu, regulasi yang dirancang juga perlu melibatkan pihak vendor atau koperasi jasa Angkutan Sewa Khusus (ASK). Dari pihak-pihak tersebut, pemerintah dapat memperoleh perspektif bisnis sebuah badan usaha jasa ASK.
Sebab, ketika minat masyarakat ber-KTP Bali untuk menjadi pengemudi online sedikit, badan usaha jasa ASK akan mengalami kerugian. Pada akhirnya, menurut Aditya, pemilik KTP non-Bali pun akan diterima demi memenuhi target pendapatan perusahaan.
“Nyatanya, para pengemudi online di Bali, yang justru persentasenya lebih besar ber-KTP Bali, dihadapkan dengan banyaknya pungutan-pungutan biaya atas pemberlakuan ASK. Itu sama saja menjajah driver krama (orang) Bali itu sendiri,” lanjut Aditya.
Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Bali, I Made Rai Ridharta, juga skeptis dengan wacana sopir taksi online yang beroperasional di Bali wajib memiliki KTP Bali. Hal ini disebabkan karena KTP merupakan kartu identitas yang berlaku secara nasional, ditambah Indonesia tidak memiliki aturan yang membatasi akses transportasi sesuai wilayah administrasi kependudukan.
“Saya kira ini masih perlu dipertimbangkan. KTP ini berlaku nasional, bicaranya harus nasional karena kita tidak bisa mengotak-ngotakkan Bali ini untuk Bali saja. Bali tidak bisa membuat kewajiban KTP ini tanpa cantolan ke atas (peraturan yang lebih tinggi)” kata Ridharta, saat dihubungi Tirto, Rabu (5/2/2025).
Secara hukum, sebenarnya pemerintah sudah mengatur angkutan sewa khusus, yakni kendaraan menggunakan pelat daerah dan sopir taksi online memiliki surat domisili. Aturan tersebut terdapat di dalam Permenhub Nomor PM 117 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek, Permenhub Nomor PM Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Angkutan Sewa Khusus, dan Pergub Bali Nomor 40 Tahun 2019 tentang Layanan Angkutan Sewa Khusus Berbasis Aplikasi.
“Dengan driver ber-KTP Bali, apakah itu menjamin bahwa akan terjadi tertib pelaksanaan operasional? Saya kira itu tidak bisa menjamin. Pelaku yang melanggar ketentuan itu bisa bukan orang Bali, tapi bisa juga orang Bali. Tidak ada dikotomi antara Bali dan non-Bali, siapa saja bisa melanggar ketika ada peluang dan kesempatan,” kata dia.
Menurut Ridharta, yang saat ini menjadi persoalan bukanlah perihal identitas yang bersangkutan di KTP. Namun, terdapat kendaraan ASK yang tidak memenuhi syarat operasional atau ilegal, seperti tidak memiliki perizinan, jenis kendaraan berbeda atau tidak tercatat di aplikator, serta tidak berpelat DK.
“ASK yang berizin dan tidak berizin ini susah juga dibedakan. Namun, yang jelas kalau dia tidak berizin, dia tidak bisa masuk dalam aplikasi karena dia tidak akan diakomodasi oleh aplikatornya,” jelas Ridharta.
Untuk merespons realitas saat ini, Ridharta merekomendasikan pemerintah daerah untuk menghitung kembali perizinan yang sudah diterbitkan, beserta jumlah taksi online yang legal dan ilegal yang beredar di jalan. Dengan demikian, pemerintah bisa memperkirakan apakah jumlah driver taksi online yang ada sesuai dengan jumlah permintaan.
Ridharta juga menawarkan opsi untuk memprioritaskan sopir yang memiliki KTP Bali. Sopir ber-KTP Bali sudah memiliki izin tinggal tetap dan tempat tinggal yang lebih pasti dibandingkan yang tidak memiliki KTP Bali. Selain itu, pengawasan terhadap kendaraan yang tidak berizin perlu ditingkatkan oleh aparat pemerintah atau asosiasi terkait.
“Kami mengusulkan yang ber-KTP Bali dapat dijadikan prioritas, bukan diwajibkan. Kalau tidak memenuhi syarat, sekalipun orang Bali, tidak bisa dipaksakan karena malah nanti menimbulkan masalah,” imbuhnya.
Peran Besar Supply dan Demand
Pakar transportasi dari Universitas Udayana (Unud), Prof. Putu Alit Suthanaya, menjelaskan bahwa situasi transportasi di Bali yang belum sesuai harapan membuat permintaan terhadap layanan ASK menjadi besar dan meningkat setiap tahunnya.
“Idealnya memang Bali memiliki sistem angkutan umum massal sebagai tulang punggung (back bone) sistem transportasi darat. Kurangnya keberadaan layanan angkutan umum massal dalam trayek telah menyebabkan wisatawan menjadi tergantung pada penggunaan angkutan tidak dalam trayek, seperti ASK, ujar Alit kepada Tirto, Rabu (5/2/2025).
Jika melihat data dari 2023, jumlah ASK yang beroperasi di Bali adalah sebanyak 10.388 unit ditambah taksi sebanyak 3.104 unit. Jumlah tersebut masih kurang dibandingkan dengan rata-rata jumlah wisatawan yang datang ke Bali per harinya, yakni 32.650 orang.
“Jumlah kedatangan wisatawan berfluktuasi, maka akan terjadi kebutuhan armada yang tinggi saat peak. Kebutuhan armada akan meningkat tajam, terutama pada saat ada acara-acara berskala nasional maupun internasional yang diselenggarakan di Bali,” jelasnya.
Alit mengatakan jumlah kebutuhan tenaga kerja di bidang ASK harus dicermati lebih lanjut. Terbatasnya jumlah tenaga kerja lokal yang berminat di bidang ASK dapat menjadi faktor pendorong adanya rekrutmen tenaga kerja untuk pengemudi taksi online yang tidak memiliki KTP Bali.
“Tentu yang perlu dikaji adalah apakah kebutuhan driver ASK sudah dapat dipenuhi oleh masyarakat lokal Bali. Jika sudah dapat terpenuhi (kebutuhan driver ASK), maka perusahaan tentunya tidak perlu merekrut driver dari luar Bali dan bisa lebih memprioritaskan driver Bali,” kata dia.
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Bali, I Gde Wayan Samsi Gunarta, mengatakan pihak-pihak yang mengusulkan kewajiban ber-KTP Bali memiliki pertimbangan dari sektor pariwisata. Mereka menginginkan agar Pemerintah Provinsi Bali dapat mudah menelusuri pihak-pihak yang berkepentingan seandainya terjadi hal-hal mendesak, darurat, atau di luar prediksi.
“Memang jadi pertimbangan kenapa kemudian ada yang menginginkan supaya pakai KTP Bali, kalau ada apa-apa supaya gampang menelusurinya. Sebenarnya masuk akal. Nah, ini kita sedang coba lihat, sekarang sedang dicermati, sebetulnya apa implikasinya terhadap transportasi sendiri,” kata Samsi kepada Tirto di kantornya, Selasa (4/2/2025).
Kendati demikian, Samsi juga menyoroti perubahan dari segi penawaran (supply) apabila pemerintah menerapkan kebijakan sopir transportasi online wajib ber-KTP Bali. Kebijakan pembatasan tersebut sudah pasti membuat mitra aplikator online berkurang, sehingga jumlah sopir yang menawarkan jasa transportasi daring juga akan berkurang.
“Kita lihat supply-nya (penawaran jasa transportasi online) dulu. Dari supply, yang mengatur itu dari masing-masing aplikator. Mereka yang tahu supply-nya berapa. Kalau supply-nya terlalu rendah, bisa kacau,” lanjutnya.
Saat Tirto menyambangi kantor Dishub Bali pun, Samsi baru saja selesai berbincang dengan Organda dan sejumlah sopir lainnya dalam rapat internal. Pihaknya mengaku masih mengkaji kebijakan wajib ber-KTP tersebut sesuai dengan hasil pertemuan sambil menunggu draf peraturan yang dipersiapkan oleh DPRD Provinsi Bali.
“Pasti kita harus kembali pada peraturannya, bagaimana peraturan soal penggunaan KTP? Itu polemik tentang KTP tidak perlu diperbesar karena itu identitas dari warga negara Indonesia dan berlaku di seluruh Indonesia. Nanti soal pengemudi yang melakukan aktivitas tertentu (pariwisata), ada kualifikasi tertentu yang kita harapkan. Jadi harus disikapi dengan penerapan standardisasi, kualifikasi, sertifikasi, dan sebagainya,” kata dia.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Abdul Aziz