Menuju konten utama

Kebijakan Trump Tak Jelas, Solusi Damai di Palestina Makin Suram

Pendekatan Trump yang agresif dikhawatirkan tak akan membawa solusi permanen untuk perdamaian di Timur Tengah.

Kebijakan Trump Tak Jelas, Solusi Damai di Palestina Makin Suram
Presiden AS Donald Trump memberikan pidato pada pengarahan pemulihan pasca Badai Helene di hanggar Bandara Regional Asheville di Fletcher, North Carolina, pada 24 Januari 2025. Trump mengatakan ia mungkin akan "menyingkirkan FEMA," jika dianggap perlu. Badan Penanggulangan Bencana Federal Badan Penanggulangan Bencana (FEMA) bertugas mengoordinasikan respons terhadap bencana. (Foto oleh Mandel NGAN / AFP)

tirto.id - Belum genap satu bulan menjabat, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali melontarkan wacana kontroversial.

Terbaru, Trump mengungkap akan mengambil alih Jalur Gaza dan bertanggung jawab untuk membongkar seluruh bom berbahaya yang belum meledak serta memusnahkan seluruh senjata di area itu.

Trump juga berjanji untuk menyingkirkan bangunan yang hancur dan meratakannya. Hal itu dikatakan Trump setelah bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih, Selasa (4/2/2025).

“AS akan mengambil alih Jalur Gaza dan kami juga akan melakukan pekerjaan terhadapnya," kata Trump, dikutip dari Aljazeera.

Trump mengatakan bahwa pemerintahannya akan menyediakan pekerjaan dan perumahan dalam jumlah tak terbatas bagi orang-orang di daerah tersebut.

Menurut Trump, keputusan yang diambil bukanlah hal yang mudah dan telah melewati dialog dengan banyak pihak. Dia menyebut banyak yang mendukung kebijakannya karena bakal mengembangkan ekonomi di Gaza.

“Ini bukan keputusan yang dibuat dengan enteng. Semua orang yang saya ajak bicara menyukai gagasan Amerika Serikat memiliki sebidang tanah itu, mengembangkan, dan menciptakan ribuan pekerjaan dengan sesuatu yang akan menjadi luar biasa,” ucap Trump.

Trump bahkan meramalkan Gaza mungkin akan menjadi "Riviera", semacam kota pesisir, di Timur Tengah.

Trump mengatakan bahwa Gaza bisa menjadi rumah bagi "warga dunia". Dia menyebut akan membuatnya menjadi tempat internasional yang potensial. Dia juga membuka peluang untuk mengirim tentara AS ke Gaza guna menjaga keamanan.

“Saya pikir potensi di Jalur Gaza luar biasa. Saya pikir seluruh dunia–perwakilan dari seluruh dunia–akan berada di sana dan mereka akan tinggal di sana. Orang Palestina juga, orang Palestina akan tinggal di sana,” tukas Trump.

Mengutip laporan Reuters, Trump, yang notabene berlatar belakang pengembang properti di New York, membayangkan pembangunan resort di Gaza sebagai tempat komunitas internasional dapat hidup berdampingan.

Setelah Gaza diluluhlantakkan oleh pemboman Israel selama lebih dari 15 bulan dan lebih dari 47.000 penduduknya tewas, bagaimana respons dunia internasional tentang ide Trump tersebut?

Didukung Israel, Dikecam Dunia

Sebagai sekutu utama, Israel jelas mendukung langkah Trump. Menurut Netanyahu, ide Trump layak untuk "diperhatikan" dan dapat "mengubah sejarah".

"Dia melihat masa depan yang berbeda untuk sebidang tanah yang telah menjadi fokus dari begitu banyak terorisme, begitu banyak serangan terhadap kami, begitu banyak cobaan dan begitu banyak kesengsaraan," kata Netanyahu.

Sebaliknya, negara-negara lain segera mengecam langkah Trump tersebut. Berdasarkan laporan Reuters, Arab Saudi yang diharapkan Trump dapat menjalin hubungan dengan Israel justru menolak rencana tersebut secara langsung.

Turki pun menyebut proposal itu "tidak dapat diterima" dan Prancis mengatakan bahwa langkah tersebut berisiko mengganggu stabilitas Timur Tengah.

Penolakan juga datang dari Rusia, Cina, Jerman, Spanyol, Irlandia, dan Inggris. Negara-negara tersebut menyatakan tetap mendukung solusi dua negara yang telah menjadi dasar kebijakan Washington di kawasan tersebut selama beberapa dekade.

Menariknya, di AS sendiri, rencana Trump disambut dengan skeptisisme besar oleh para senator. Menukil laporan CNN, Senator Demokrat, Chris Coons, merespons ide Trump itu dengan membuat gestur menutup wajahnya dengan tangan dan mengusap pelipisnya.

“Saya tidak bisa berkata-kata. Itu gila,” kata senator asal Delaware itu.

Lalu, kira-kira apa motif Trump dibalik wacana kebijakan itu?

Usir Warga Palestina Lewat Motif Ekonomi

Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, menyebut bahwa rencana Trump mengambil alih pembangunan Gaza adalah sebuah bentuk pelanggaran hukum internasional. Dia menjelaskan bahwa hukum internasional jelas melarang adanya intervensi asing terhadap tanah air suatu bangsa.

“Gaza maupun Tepi Barat itu adalah teritori Palestina. Nah, sehingga jika ada intervensi asing yang itu untuk tujuannya memindahkan, itu sudah melanggar hukum internasional soal kedaulatan. Karena, itu bukan tanah tak bertuan seperti yang diklaim oleh Presiden Trump,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (5/2/2025).

Wasisto juga menilai AS tidak memiliki dasar untuk memindahkan warga Gaza secara sepihak. Pasalnya, jika konflik di Gaza selama ini dianggap sebagai perang, AS jelas tidak terlibat secara langsung dalam peperangan ini.

Lebih lanjut, jika wacana ini dilaksanakan, Wasisto menduga hal tersebut akan memicu konflik yang lebih luas di kawasan Timur Tengah. Hal ini juga terkait dengan wacana pemindahan penduduk Gaza ke beberapa negara Timur Tengah, seperti Yordania dan Mesir.

Menukil laporan CNN, Yordania–yang sudah menjadi rumah bagi banyak pengungsi Palestina–khawatir Kerajaan Hashemite akan terguncang oleh gelombang pengungsi baru. Militer Mesir pun khawatir dengan masuknya warga Palestina yang bisa termasuk simpatisan Hamas dari Ikhwanul Muslimin.

“Dan kalaupun nanti ada wacana pemindahan orang-orang Gaza ke negara di sekitar Timur Tengah, itu akan memicu friksi domestik di negara itu. Karena, ada potensi gangguan keamanan dan lain sebagainya,” ujar Wasisto.

Menurut Wasisto, ada faktor ekonomi yang mendasari rencana Trump mengambil alih pembangunan Gaza. Dia menduga, Presiden AS tersebut ingin membangun pusat-pusat pertumbuhan baru dan menjadikan Gaza sebagai pusat komersial.

Hal ini sejalan dengan ambisi Trump yang ingin menjadikan Gaza sebagai pusat pertumbuhan regional di Timur Tengah.

“Ini lebih ke motif ekonomi dibanding motif politik atau motif agama–yang mungkin ada juga, tapi tidak terlalu kuat,” ujarnya.

Jika ide Trump itu terwujud, pihak yang paling diuntungkan adalah Israel. Pasalnya, orang-orang yang bakal direkrut untuk mewujudkan Gaza sebagai pusat ekonomi baru kemungkinan besar adalah orang Israel, alih-alih orang Palestina.

“Karena itu kan lebih pada cara pengusiran Gaza sebenarnya,” ujar Wasisto.

Strategi Trump Gertak Negara Islam

Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Fakultas Humaniora Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Sofi Mubarok, menilai bahwa wacana tersebut adalah cara Trump untuk menggertak Hamas dan dunia Islam secara umum, juga Arab Saudi secara khusus untuk segera melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.

Dalam konteks hubungan internasional, Sofi menjelaskan bahwa strategi Trump ini persis dengan apa yang disebut Teori Madman, sebuah strategi diplomasi untuk membuat lawan percaya bahwa kebijakan suatu negara tidak bisa diprediksi dan berbahaya yang bertujuan membuat lawan menyerah.

“Gertakan yang di atas kertas ‘mustahil’ dilakukan seperti ini biasanya dilakukan Trump untuk menekan pihak lain. Ancaman tarif 25 persen ke Kanada dan Meksiko, misalnya, berujung penundaan satu bulan dan negosiasi ulang terkait masalah keamanan perbatasan di dua negara,” ujar Sofi saat dihubungi Tirto, Rabu (5/2/2025).

Sofi menilai gagasan Trump soal Gaza juga bagian dari upayanya untuk menekan Arab Saudi agar segera melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Dia menilai, sejauh ini, Arab Saudi selalu tegas mengatakan tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel hingga Palestina merdeka.

Setelah gencatan senjata Israel dan Hamas terwujud, menurut Sofi, dukungan Trump ke Israel sejatinya tidak surut. Sejauh ini, ada dua pendekatan yang diterapkan Trump terhadap Israel.

Pertama, Trump tidak akan membiarkan Israel membatalkan gencatan senjata begitu saja karena dia mendapatkan kredit dari proses tersebut. Maka Israel mengalihkan serangannya ke Tepi Barat, khususnya Jenin, untuk memancing Hamas melakukan penyerangan balasan ke Israel.

Sebagai informasi, Israel dan Hamas telah sepakat untuk melakukan gencatan senjata di Gaza sejak Minggu (19/1/2025) lalu. Kesepakatan itu termasuk melakukan pertukaran sandera setelah 15 bulan berkonflik.

Fase pertama kesepakatan itu mencakup pembebasan 33 sandera Israel, termasuk wanita, anak-anak, dan pria berusia di atas 50 tahun.

“Dengan strategi ini, Israel bisa menuduh Hamas melanggar kesepakatan gencatan senjata,” ujarnya.

Kedua, AS membantu mempercepat normalisasi hubungan Israel dengan beberapa negara muslim, terutama Arab Saudi sebagai simbol Islam yang menaungi dua tempat suci. Menurutnya Sofi, ini adalah cara Trump untuk meningkatkan posisi diplomatik Israel di dunia internasional.

Sofi memprediksi bahwa Indonesia, sebagai negara muslim terbesar di dunia dan salah satu yang paling vokal terhadap penjajahan Israel, juga menjadi target untuk bisa menormalisasi hubungan dengan Israel.

“Tentu, ini harus menjadi perhatian bagi Pemerintah Indonesia. Apalagi, Indonesia sempat ‘digertak’ untuk dipertimbangkan menjadi tempat relokasi warga Gaza di masa rekonstruksi,” ujarnya.

Ketidakjelasan di Tangan Trump

Dosen hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, Edwin Martua Bangun Tambunan, menilai rencana Trump untuk mengambil alih pembangunan Gaza jelas menimbulkan tanda tanya besar apabila dikaitkan dengan kebijakannya membekukan bantuan luar negeri AS.

Hal itu bisa saja berkaitan karena mengambil alih dan membangun kembali Gaza tentu membutuhkan biaya besar yang akan menyedot anggaran negara AS yang saat ini sedang dihemat.

Menurutnya, keinginan Trump itu jelas lebih mengedepankan mimpi kepentingan geopolitik jangka pendeknya untuk memutus lingkungan pengaruh Iran di dekat Israel.

“Jika strategi itu berhasil maka akan menjadi pijakan kuat bagi Trump untuk berangsur mewujudkan mimpi besarnya menata Timur Tengah di mana tidak akan ada lagi kekuatan seperti Hamas yang menentang, apalagi berupaya melenyapkan Israel,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (5/2/2025).

Wacana pengambilalihan Gaza sekaligus juga mengindikasikan bahwa Trump dan pembantunya belum punya formula spesifik dan terarah untuk menyelesaikan konflik Israel-Hamas.

Menurut Edwin, rencana mengambil alih dan membangun kembali Gaza mengandung cacat logika yang besar dalam penanganan konflik.

“Bagaimana mungkin hal ini bisa dilakukan sementara di lapangan kekuatan Hamas belum habis dan untuk gencatan senjata saja prosesnya masih alot,” ujarnya.

Oleh karena itu, Edwin menilai penanganan konflik di Gaza akan menjadi terseok-seok di masa kepemimpinan Trump sebagai Presiden AS.

Terlebih, Trump punya kecenderungan memilih kebijakan-kebijakan impromptu yang dapat meredakan konflik sementara waktu, tapi tidak mengarah ke penyelesaian permanen.

“Pasang surut konflik akan terjadi mengikuti karakter Trump yang mudah berubah serta cenderung eksploitatif dan agresif,” katanya.

Menurut Edwin, penanganan konflik yang berlarut-larut membutuhkan grand strategy. Selain itu, prosesnya harus mengakomodasi kepentingan dari semua pihak yang berkonflik. Kedua modalitas ini belum terlihat dimiliki oleh Trump dan pemerintahannya.

“Oleh karena itu, perjalanan penanganan konflik ke depannya tidak akan lebih maju dari sekadar gencatan senjata ke gencatan senjata berikutnya,” tutup Edwin.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PALESTINA-ISRAEL atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi