Menuju konten utama
Kebijakan Energi

Nelangsa Driver Ojol di Tengah Kencangnya Isu Kenaikan BBM Subsidi

Yusuf sebut ketika harga barang-barang pangan naik akibat harga BBM subsidi naik, maka pemerintah akan sulit mengontrolnya.

Nelangsa Driver Ojol di Tengah Kencangnya Isu Kenaikan BBM Subsidi
Sejumlah kendaraan bermotor antre untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) di SPBU di Jakarta, Rabu (31/8/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Isu kenaikan bahan bakar minyak (BBM) subsidi semakin kencang pada 1 September 2022. Bahkan di sejumlah SPBU terlihat antrean warga yang panik soal rencana kenaikan BBM jenis Pertalite dan solar bersubsidi. Para driver ojek online termasuk di antara mereka yang berlomba-lomba antre.

Berdasarkan pantauan reporter Tirto, antrean sudah tampak mulai Rabu malam (31/8/2022). Antrean roda dua tampak mulai mengular di SPBU Cikabon, Parung Panjang, Kabupaten Bogor sejak malam.

Salah satu masyarakat yang malam itu mengantre mengisi bensin adalah Iwan (40 tahun). Ia bercerita, kabar mengenai naiknya harga BBM bersubsidi sudah ia dengar sejak beberapa hari terakhir. Maka dari itu, Iwan kerap kali mengisi penuh bensin motornya pada malam hari.

“Saya ngga tahu naiknya kapan, tapi beberapa hari ini saya selalu isi malam untuk menghindari antrean Pertalite saat pagi. Itu bisa panjang banget. Kalau terlalu siang, saya terpaksa harus pakai Pertamax yang harganya Rp53.000 sampai full. Kalau pakai Pertalite, kan, cuma Rp24.000 sampai tangki full,” kata dia kepada Tirto, Rabu malam (31/8/2022).

Iwan yang sehari-hari bekerja sebagai ojek online mengaku setiap harinya bisa mengisi tangki sampai dua kali. Jika pemerintah nantinya memutuskan menaikan harga BBM, ia mengaku keberatan karena nantinya pengeluaran untuk biaya operasional seperti bensin akan lebih tinggi.

Sementara di sisi lain pemerintah membatalkan rencana kenaikan tarif minimum ojek online. “Kalau bisa jangan naik dulu, kan, ya. Kami gimana segala-gala kurang. Kalau harga bensin naik, tapi tarif pelanggannya enggak dinaikin, kan, kami yang semakin berat,” kata Iwan.

Kekhawatiran serupa dialami driver ojol lain, Ari Sanjaya (30 tahun). Untuk mengantisipasi lonjakan biaya operasional, Ari hanya akan menerima pengantaran jarak dekat. Tarif antar jarak dekat 2-6 km bisa didapat Ari dengan harga Rp14.000-Rp30.000. Berbeda dengan jarak jauh yang bisa mencapai 10 km dengan tarif Rp50 hingga Rp55.000.

“Kalau jarak jauh, misalnya dari Parung ke BSD itu bensinnya bisa boros banget. Kadang penumpang sekarang ngasihnya juga pakai Gopay, jarang ada lebihan, tip juga hanya beberapa orang yang niat ngasih,” kata Ari bercerita kepada reporter Tirto, Kamis (1/9/2022).

Ari mengaku sangat khawatir jika harga BBM naik. Sebab, hal tersebut tidak hanya akan menambah beban operasionalnya. Namun juga biaya dapur yang akan semakin bertambah. Mengingat harga bahan pokok yang terus mengalami peningkatan dalam beberapa bulan terakhir.

“Takutnya, kan, yang di dapur, di rumah ya [upah berkurang], sementara enggak hanya [memberi nafkah] anak di rumah, kan. Ada orang tua juga,” kata Ari.

Sebelumnya, asosiasi mitra pengemudi (driver) ojek online sudah menyampaikan lima poin permohonan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi di tengah sinyal kenaikan harga BBM jenis Pertalite dan tarif ojek online.

Presidium Nasional Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia, Igun Wicaksono menjelaskan, ada beberapa poin yang menjadi permohonan, meliputi sejumlah hal mulai dari kejelasan legalitas ojek online dalam undang-undang sampai jaminan mendapatkan BBM murah.

Pertama, pemerintah diminta untuk mendorong legalitas ojek daring masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2022/2023. Kedua, asosiasi driver ojek online menolak aturan kenaikan tarif yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan (KM) No.KP 564/2022.

“Para pengemudi meminta agar Kemenhub menerbitkan regulasi baru berupa tarif ojek online yang pengaturannya diserahkan kepada masing-masing provinsi dan melibatkan driver,” kata Igun dalam keterangan tertulis dikutip Tirto, Kamis (1/9/2022).

Rencana naiknya harga BBM subsidi akan sangat menekan perekonomian masyakarakat kelas bawah. Pengamat Ekonomi IndiGo Network, Ajib Hamdani menjelaskan, kenaikan harga BBM akan memberikan tekanan besar pada pasar.

“Selanjutnya akan memberikan dampak terhadap inflasi dan tekanan daya beli masyarakat," kata dia kepada Tirto, Kamis (1/9/2022).

Oleh karena itu, menurutnya membutuhkan pertimbangan dan cara yang matang agar stabilitas ekonomi dan sosial tetap terjaga dengan baik. Sebab, sekalipun pemerintah memberikan bantuan sosial hanya solusi jangka pendek saja.

“Bansos akan menjadi bantalan untuk menopang daya beli. Tapi sisi inflasi tetap akan terkerek tinggi,” kata dia.

Hal senada diungkapkan ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy. Dia khawatir, ketika seluruh harga barang-barang pangan naik, pemerintah akan sulit mengkontrolnya. Sebab sebagian pedagang menurutnya akan tetap mempertahankan harga yang tinggi meskipun harga BBM diturunkan.

“Dugaan saya itu akan terasa sulit, jarang dilakukan pedagang. Ya sudah dia sudah menaikkan harga, ketika BBM turun harganya tetap segitu saja,” kata Yusuf.

Yusuf mengatakan dampak tersebut mungkin tidak banyak orang singgung, tapi perlu diperhatikan atau menjadi pertimbangan pemerintah dalam memutuskan kenaikan harga BBM. Misalnya mau dinaikkan berapa persen harga BBM perlu dimunculkan dalam proses pertimbangan.

Di sisi lain, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati sudah menjelaskan bahaya jika BBM subsidi tidak dinaikkan. Subsidi energi dan kompensasi yang ditanggung APBN yaitu sebesar Rp502,4 triliun tidak akan cukup sampai akhir 2022. Pasalnya konsumsi BBM, khususnya Pertalite terus meningkat.

“Dengan harga BBM, minyak dunia yang terus tinggi, Rp502 triliun diperkirakan akan habis dan masih belum mencukupi. Kita memperkirakan apabila laju konsumsi seperti yang terjadi pada 7 bulan terakhir ini, maka Rp502 triliun akan habis dan masih akan ada tambahan lagi," kata dia dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI pada 23 Agustus 2022.

Padahal besaran subsidi energi dan kompensasi yang sebesar Rp502,4 triliun sudah naik tiga kali lipat dari alokasi sebelumnya yang hanya Rp152,5 triliun. Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, volume Pertalite diperkirakan akan jebol dari 23 juta kilo liter (KL) menjadi 29 juta KL bila tidak ada pengendalian konsumsi.

Dengan jebolnya volume tersebut, Sri Mulyani memperkirakan subsidi Pertalite dan solar bisa meledak Rp198 triliun atau menjadi Rp700 triliun sampai akhir tahun. Tambahan itu akan terjadi jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM dalam waktu dekat.

Dilema Harga BBM Subsidi bagi Perekonomian Indonesia

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menyampaikan, rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi semakin kencang, sementara penurunan malah terjadi pada BBM nonsubsidi. Kebijakan itu diambil karena keuangan negara sudah mengalami defisit yang cukup lebar.

“Jadi kalau nonsubsidi ini turun, kemudian dievaluasi tiap bulan, kan, memang mereka kalau bahan bakunya turun, ya mereka akan turunkan. Kalau yang subsidi malah ada rencana naik, kan agak bertabrakan ya logikanya. Tapi tetap bisa dilakukan karena, kan, memang sudah lama ditahan. Toh bisa juga pakai justifikasi itu, jadi kapan pun menjadi tepat,” kata Komaidi kepada Tirto, Kamis (1/9/2022).

Komaidi menjelaskan, harga BBM subsidi sudah ditahan sejak lama hingga harga dasar yang dijual dan harga yang sebenarnya sudah terpaut jauh. Komaidi mencontohkan, Pertalite memiliki harga asli sekitar Rp15.000, tapi karena disubsidi harganya menjadi Rp7.650. Jika memang perlu ada penyesuaian harga, maka masyarakat perlu dijelaskan mengenai kondisi tersebut.

“Pertalite, kan, jauh di bawah harga [asli], hitung-hitungan harga wajar sebenarnya. Jadi memang ada ruang untuk [naik] itu, memang jauh di bawah harganya. Sebetulnya sangat logis kalau BBM subsidi itu disesuaikan, tapi kan yang enggak mudah itu sering kali pertimbangannya enggak hanya fiskal anggaran, tapi lebih ke aspek politisnya juga cukup dominan," kata dia.

Komaidi menjelaskan, memang tidak pernah ada waktu yang tepat untuk memilih apakah BBM subsidi naik atau tetap ditahan. Keduanya, kata dia, sama-sama buruk untuk perekonomian Indonesia.

“Kalau memang enggak mau naik, ya tinggal bilang saja. Nanti pilihan yang akan dilakukan tambah utang saja untuk tambah subsidi. APBN-nya di 2022 ini belanjanya sudah Rp3.000 triliun, kemudian pendapatannya hanya Rp2.000. Ini, kan, sebenarnya kena defisit sekitar Rp1.000 triliun. Saya kira itu angka yang besar, yang paling penting itu komunikasinya, sampaikan pilihan dan jelaskan apa dampak buruknya, karena saya lihat mau naik atau tidak, sama-sama buruk. Kalau naik ya masyarakat tertekan, demo dan ada ancaman lainnya daya beli turun,” kata Komaidi.

Baca juga artikel terkait BBM SUBSIDI atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz