tirto.id - Kemacetan nyatanya masih menjadi permasalahan nomor satu di Pulau Dewata. Bagian selatan Bali masih saja tidak luput dari sesaknya kendaraan, bahkan ketika hendak keluar dari gerbang Bandara I Gusti Ngurah Rai sekali pun. Kambing hitamnya adalah penggunaan kendaraan pribadi yang pada 2023 jumlahnya mencapai 4.827.885 unit kendaraan roda dua dan roda empat.
Tentu saja, pemerintah langsung berpikir untuk mendapatkan cara paling ampuh dalam mengatasi kemacetan. Hal ini karena Pulau Dewata sendiri merupakan ikon pariwisata nasional, sehingga macet bagaikan benalu yang harus disingkirkan agar kembali terlihat elok. Hingga saat ini, wacana-wacana mengenai pembangunan infrastruktur dan tata ruang kota terus terdengar di telinga.
Permasalahannya, moda transportasi massal yang ada di Pulau Dewata dinilai belum sepenuhnya efektif. Tidak luput dari ingatan pula tentang Trans Metro Dewata yang resmi berhenti beroperasi pada hari pertama di tahun 2025. Belum lagi pelebaran jalan di darat sulit dilakukan tanpa menggelontorkan lebih banyak uang atau menggusur pemukiman warga.
Setelah memutar otak begitu lamat, baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), melontarkan sebuah rencana yang cukup jarang terdengar di telinga awam. Layanan tersebut dikenal dengan sebutan water taxi atau taksi air yang menggunakan sarana air sebagai alternatif jalan raya. Rencananya, taksi-taksi tersebut akan dikerahkan menuju sejumlah destinasi wisata, seperti Canggu dan Kuta.
“Jadi intermodal ini penting, darat tentu, tapi kita harus lebih fokus pada public transport. Bukan kendaraan pribadi, tapi juga water taxi,” ungkap AHY setelah rapat koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan di Novotel Bandara I Gusti Ngurah Rai, Kamis (23/01/2025).
AHY rupanya sudah melirik contoh di negara yang telah memiliki water taxi sebagai salah satu sarana angkutan penghubung bandara dengan destinasi pariwisata. Dirinya mengklaim, pengadaan water taxi menjadi solusi yang diberikan pemerintah sebagai opsi transportasi ke destinasi selain melalui darat.
Data yang didapatkan AHY dari Injourney Airports menggarisbawahi penumpang Bandara Ngurah Rai telah mencapai 23 hingga 25 juta orang per tahun, bahkan didaulat sebagai bandara tersibuk nomor dua di Indonesia dengan 60 persen penumpang dari kedatangan internasional. Ditambah, pemerintah pusat juga menyorot stagnansi jalan darat akibat kemacetan di sekitar bandara saat tahun baru 2024.
Sebelumnya, data tersebut telah diafirmasi oleh General Manager Bandara I Gusti Ngurah Rai, Ahmad Syaugi Shahab. Di 2024, trafik penumpang dan pesawat menjadi yang tertinggi dibandingkan 3 tahun terakhir. Dibandingkan dengan 2023 pun, terjadi peningkatan 12 persen pada jumlah penumpang, yakni dari 21,4 juta di 2023 menjadi 23,9 juta di tahun 2024.
“Setelah penumpang turun keluar dari bandara, sering dihadapkan pada kemacetan karena memang padat sekali. Kami harus cari solusinya. Tadi dibahas selain mengurai kemacetan dengan slot management yang lebih baik lagi, waktunya diatur dengan baik, kami juga memikirkan bagaimana mengoptimalkan upaya penggunaan moda lainnya,” jelas AHY.
Inisiasi water taxi tersebut juga diikuti dengan angan Menko AHY menjadikan Bali sebagai hub pariwisata bagi wisatawan asing. Kementerian Pariwisata dan Injourney Airport mulai dilimpahi tugas merancang paket wisata bertajuk Bali Plus yang terhubung dengan lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP), yaitu Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Perdagangan tidak luput dari mandat AHY. Sebagai otoritas yang berhubungan langsung dengan laut, KKP diberi tanggung jawab untuk memfasilitasi penyusunan regulasi untuk mendukung operasional water taxi, sementara Kementerian Perdagangan ditugaskan untuk menentukan marketing points di beberapa bandara internasional untuk meningkatkan ekspor nasional.
“Kita tahu Bali juga selama ini telah menjadi tulang punggung pariwisata nasional, termasuk ekonomi kreatif yang berkembang di sini sehingga tugas kami semua ingin meyakinkan kapasitas bandara bisa semakin baik,” tandas AHY.
Seketika setelah dicetuskan, Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Bali menyambut baik ide dari AHY. Saat ini, Dishub sudah mulai mempelajari kemungkinan bagi water taxi untuk dimanfaatkan di Bali. Konsep tersebut pun dinilai dapat menjadi salah satu jawaban atas persoalan kemacetan.
“Istilahnya ada opsi untuk kemacetan, terutama daerah Canggu yang dengan jalan biasa (apabila ada kemacetan) bisa ditempuh sampai 3 jam lebih. Dengan adanya opsi water taxi, mungkin bisa lebih pendek waktu tempuhnya,” kata Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, I Gde Wayan Samsi Gunarta, saat ditemui Tirto di bandara, Kamis (23/01/2025).
Kendati demikian, Dishub belum memetakan rute dan menggali lebih dalam mengenai konsep water taxi. Menurut Samsi, pihaknya masih berdiskusi lebih lanjut mengenai kelayakan water taxi untuk diterapkan di Bali, sebab opsi transportasi tersebut amat tergantung pada ombak dan lokasi pendaratan.
“Dia sebetulnya semacam speed boat dengan penumpang yang cukup banyak,” tukasnya.
Water Taxi Jangan Sampai Timbulkan Persoalan Baru
Pengamat Tata Ruang, Putu Rumawan Salain, mengapresiasi niat dari pemerintah pusat untuk membangun jejaring water taxi di Pulau Dewata. Rumawan menyoroti pesatnya pembangunan di Bali, khususnya di bidang pariwisata, yang menjadi salah satu pemantik terjadinya kemacetan di lini-lini jalan Bali bagian selatan. Ide yang dicetuskan AHY tersebut dianggap dapat menjadi angin segar bagi kelancaran transportasi Bali.
“Saya kira ini sangat baik. Dari Jimbaran ke Canggu membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 30 menit, ketimbang mereka melalui jalan darat,” jelas Rumawan ketika dihubungi oleh Tirto, Jumat (24/01/2025).
Dari konsepnya sendiri, Rumawan melihat potensi transit dan integrasi transportasi yang ditawarkan oleh water taxi. Berkaca dari sisi transit, pengelola water taxi dapat mempertimbangkan untuk membuat sebuah rute panjang dengan titik-titik untuk menurunkan penumpang.
“Bisa kalau mau diatur, titik-titik yang berkaitan dengan objek wisata. Misalkan berangkat dari bandara ke utara, berhenti di Seminyak, lalu Canggu, berlanjut hingga Petitenget, kemudian kembali ke bandara setelah mengambil penumpang,” terangnya.
Selain itu, integrasi transportasi dapat terlihat dari upaya mengantar penumpang dari pesawat atau bandara menuju ke dermaga tempat water taxi terparkir. Rumawan menilai, hal tersebut dapat dilakukan karena pembangunan dermaga tidak memungkinkan untuk dilakukan di dalam areal bandara, sehingga diperlukan metode transportasi lainnya.
“Bandara itu tidak boleh bersinggungan dengan yang lain, jadi bisa dibuat terowongan atau semacam titik. Dari titik itu, nantinya mereka bisa diantara dengan semacam kereta api kecil atau shuttle, turun di dermaga, lalu menyeberang,” ucap Rumawan.
Kendati demikian, menurut Rumawan, masih perlu dilakukan kajian dan studi kelayakan untuk menyempurnakan rencana water taxi ini, terutama setelah pengguna jasa telah mencapai destinasi yang hendak dituju. Dia melihat skema transportasi water taxi memiliki titik kumpul dan titik sebar, tidak sesederhana mengangkut pengguna saja, tetapi memastikan mereka mencapai tujuan dengan nyaman, aman, dan lancar.
“Karena ini sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas transportasi di Bali, harus dibuat dengan saksama agar tidak membangun kemacetan baru di tujuan-tujuan tertentu yang kita koneksikan. Jangan sampai water taxi menjadi generator penyebab macet di wilayah tujuan,” terangnya.
Pembangunan sarana penunjang water taxi, seperti dermaga atau jetty, juga perlu masuk ke dalam kalkulasi pemerintah. Dipaparkan oleh Rumawan, titik-titik embarkasi tersebut menjadi wajah kualitas water taxi di Pulau Dewata. Dalam implementasi water taxi sendiri, diperlukan perhatian khusus dalam mendesain sarana penyeberangan yang aman, nyaman, serta tidak merusak lingkungan alam sekitarnya.
“Membutuhkan lagi perhitungan-perhitungan teknis sesuai dengan kekuatan alam, gelombang laut, kedalaman pantai, atau pasang surut, sehingga tidak ada lagi penumpang yang basah setelah turun dari kapal,” ucap Rumawan.
Sambutan yang baik mengenai ide water taxi ini juga datang dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Ketua MTI Bali, I Made Rai Ridharta, menilai keberadaan water taxi dapat menambah variasi layanan transportasi untuk masyarakat, terutama dengan wacana pembangunan moda raya terpadu (MRT) yang juga melayani rute objek wisata favorit di Bali.
“Saya pikir kalau dari sisi masyarakat, makin banyak jenis layanan, makin bagus. Bisa dibangun semacam terowongan di bawah runway untuk integrasinya. Kalau dia ingin ke water taxi, lewat dia terowongan ke sana. Kalau dia ingin naik kereta api, lewat terowongan yang satunya lagi,” kata Ridharta sewaktu dihubungi Tirto, Jumat (24/01/2025).
Namun, Ridharta menyorot upaya yang diperlukan untuk mengantar penumpang menuju layanan water taxi. Melihat kondisi bandara, tidak mungkin penumpang mendapatkan layanan water taxi secara langsung semenjak turun dari pesawat dan masuk ke terminal.
“Dari bandara ke titik pemberangkatan water taxi ini harus lewat darat, pakai mobil atau kendaraan lainnya. Berarti dia masih bercampur di lalu lintas yang ada sekarang,” imbuhnya.
Secara teknis, menurut Ridharta, pihak pengelola water taxi perlu memperhatikan sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti mengenai cara menjalankan kendaraan di atas perairan. Selain itu, perlu diperhatikan lintasan atau rute yang akan dilalui oleh masing-masing kapal, beserta aspek keselamatannya.
“Ini (water taxi) masuk ke ketentuan kendaraan di atas air. Aturannya akan mengikuti itu, terutama tentang keselamatan pelayarannya,” tambahnya.
Bisnis juga merupakan sisi yang patut dilihat. Ridharta sendiri mempertanyakan segmen pelanggan yang akan diangkut dengan menggunakan water taxi, beserta jumlah maksimal pelanggan yang dapat dimuat per kendaraannya. Dengan adanya wacana pembangunan MRT, tentu water taxi bisa kalah saing dan berujung sia-sia apabila tidak dipertimbangkan secara matang.
“Persaingannya makin besar dengan adanya MRT, juga dengan adanya kendaraan online. Apalagi kalau melihat water taxi yang berada di atas air, risikonya lebih tinggi,” ucap Ridharta.
Dipaparkan oleh Ridharta juga mengenai dua hal yang menjadi keberhasilan water taxi sebagai salah satu opsi transportasi, yakni waktu dan biaya. Water taxi diharapkan benar-benar mampu memotong waktu tempuh dari bandara menuju destinasi-destinasi populer di kalangan turis, sementara biaya harus ditekan seminimal mungkin agar mampu bersaing dengan opsi-opsi lainnya.
“Water taxi juga perlu mencari daya tariknya tersendiri dibandingkan opsi transportasi lainnya,” pungkasnya.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Anggun P Situmorang