Menuju konten utama

KPK Harus Berani Usut Korupsi Proyek DJKA sampai Aktor Utamanya

KPK mesti usut setiap aktor yang disebut di persidangan kasus korupsi proyek DJKA, jangan berhenti pada pelaku lapangan.

KPK Harus Berani Usut Korupsi Proyek DJKA sampai Aktor Utamanya
Direktur Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu (kiri), dan Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika (kanan) saat konferensi pers terkait penahanan 3 orang tersangka kasus dugaan korupsi pada Direktorat Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (28/11/2024). Tirto.id/Auliya Umayna

tirto.id - Joko Widodo berbicara singkat saja ketika ditanya sejumlah wartawan soal kasus korupsi di lingkungan Direktorat Jenderal Kereta Api (DJKA) Kementerian Perhubungan. Jokowi cuma menyampaikan menyerahkan kasus ini kepada proses hukum yang tengah berjalan.

“Ya ikuti proses hukum sajalah,” kata Jokowi di kediaman pribadinya di Kelurahan Sumber, Kota Surakarta, Selasa (21/1/2025).

Bukan tanpa alasan wartawan menanyakan perihal kasus itu kepada Jokowi. Pasalnya, dalam persidangan terbaru kasus korupsi proyek DJKA tersebut, terungkap adanya aliran uang haram korupsi untuk pemenangan Jokowi dan Ma’ruf Amin di Pilpres 2019.

Keterangan itu diungkap mantan Direktur Sarana Transportasi Jalan Kemenhub, Danto Restyawan, yang dihadirkan dalam sidang kasus dugaan korupsi DJKA 2019 di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (13/1/2025).

Danto dihadirkan dalam sidang dengan terdakwa Yofi Akatriza. Yofi adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)Balai Teknik Perkeretaapian Jawa Bagian Tengah.

Danto dalam kesaksiannya mengatakan bahwa para pejabat di lingkungan Kemenhub mendapat tugas untuk mengumpulkan uang yang akan dipergunakan untuk membantu pemenangan di Pilpres 2019.

Pihak yang memerintahkan pejabat Kemenhub mengumpulkan uang tidak lain dan tak bukan adalah Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan periode 2019-2024. Danto bercerita bahwa Budi Karya memberikan tugas kepada Direktur Prasarana Kemenhub saat itu, Zamrides, untuk mengumpulkan uang sebesar Rp5,5 miliar. Uang ini dikumpulkan dari para PPK Kemenhub yang berasal dari kontraktor proyek perkeretaapian.

Saat itu, Danto masih menjabat sebagai Direktur Lalu Lintas Kereta Api Kemenhub. Dia juga diperintahkan Menhub menjadi pengganti Zamrides sebagai pengumpul dana dari para PPK.

Seturut Danto, terdapat sembilan PPK yang kemudian menyetor duit masing-masing sekitar Rp600 juta, termasuk terdakwa Yofi Akatriza. Setoran lain yang berasal dari fee kontraktor, kata Danto, ditujukan untuk membeli 25 ekor hewan kurban.

Selain itu, Biro Umum Kementerian Perhubungan juga diminta patungan sebesar Rp1 miliar untuk keperluan bahan bakar pesawat Menhub saat kunjungan ke Sulawesi. Sementara itu, Danto menerima uang dari Yofi Okatriza sebesar Rp595 juta yang seluruhnya dikembalikan melalui penyidik KPK.

Yofi Akatriza sendiri menerima suap Rp55,6 miliar dari belasan kontraktor pelaksana proyek di wilayah Purwokerto dan sekitarnya pada kurun 2017-2020. Selain uang, terdakwa juga menerima hadiah berupa barang dengan nilai mencapai Rp1,9 miliar.

Dalam keterangannya untuk media, Budi Karya Sumadi enggan berkomentar soal namanya yang kembali terseret dalam pusaran korupsi proyek DJKA. Budi Karya sebelumnya sudah pernah dipanggil KPK sebagai saksi dalam kasus ini kala masih menjabat sebagai Menhub.

“Kami menghormati proses hukum yang tengah berlangsung dan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak yang berwenang,” ungkap Budi dalam keterangannya.

Kronologi Kasus Korupsi DJKA

Dugaan korupsi di DJKA Kementerian Perhubungan itu bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada April 2023. KPK mulanya menetapkan 10 orang tersangka pemberian suap proyek pembangunan dan pemeliharaan rel di wilayah Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Enam tersangka berperan sebagai pemberi suap, sedangkan empat lainnya adalah penerima suap.

Hingga saat ini, jumlah tersangka korupsi DJKA sebanyak 17 orang. Mereka terdiri dari para pejabat Kemenhub, pihak swasta, hingga pejabat BPK. Namun, KPK belum mengumumkan siapa orang BPK yang ditetapkan sebagai tersangka.

Selain itu, KPK menyatakan ada tersangka korporasi dalam kasus rasuah proyek DJKA Kemenhub.

Akar perkara ini adalah pengungkapan kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan dan perbaikan rel kereta pada tahun anggaran 2021—2022. Proyek yang diakali itu di antaranya pembangunan jalur kereta api ganda Solo Balapan-Kadipiro-Kalioso; proyek pembangunan jalur kereta api di Makassar, Sulawesi Selatan; empat proyek konstruksi jalur kereta api; dan dua proyek supervisi di Lampegan Cianjur, Jawa Barat.

Selain itu, ada proyek perbaikan perlintasan sebidang di wilayah Jawa-Sumatera.

Dalam proyek-proyek tersebut, KPK menduga terjadi pengaturan pemenang tender pelaksana proyek oleh sejumlah pihak. Itu meliputi rekayasa proses administrasi sampai penentuan pemenang tender.

Ketua Indonesia Memanggil Lima Tujuh (IM57+ Institute), Lakso Anindito, menilai bahwa KPK seharusnya bisa mengembangkan lagi kasus itu setelah dugaan pengumpulan uang untuk pemenangan Pilpres 2019 terungkap di pengadilan. Itu bisa menjadi informasi awal bagi KPK untuk melakukan proses penyelidikan. Jangan sampai fakta itu tidak ditindaklanjuti oleh Komisi antirasuah.

“Padahal, memiliki substansi yang materil serta melibatkan penyelenggara negara dalam level strategis,” kata Lakso kepada wartawan Tirto, Jumat (24/1/2025).

Dia mengingatkan bahwa pengakuan tersebut telah menjadi bagian dari fakta persidangan. Artinya, ia berpotensi punya kesesuaian dengan fakta lainnya sebagai sebuah bukti permulaan.

Pengusutan atas dugaan adanya aliran uang korupsi untuk pemenangan Pilpres 2019 juga akan menjadi relevan sebagai batu uji atas indepedensi KPK. Pasalnya, KPK memiliki posisi strategis dalam mendorong penanganan kasus ini secara serius. Lakso berharap KPK tak hanya menyasar pihak yang tidak sejalan dengan pemerintah.

Selain itu, penggunaan aparatur negara untuk urusan politik merupakan salah satu isu utama yang selama ini telah ditangani KPK. Baik dalam kasus level daerah maupun nasional. Maka sangat aneh apabila KPK mamandang pengakuan soal pengumpulan dana korupsi untuk pemenangan pilpres itu sebagai angin lalu.

“Indikasi ini sangat baik untuk menjadi petunjuk sehingga tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak menindaklanjutinya,” ucap Lakso.

Peluang Kluster Baru

Terungkapnya dugaan pengumpulan dana untuk pemenangan Pilpres 2019 dari duit korupsi proyek DJKA Kemenhub bisa membuka kluster baru dalam pusaran perkara ini. Pasalnya, ia terkait dengan korupsi politik dan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan.

Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menilai bahwa KPK tinggal mencari dan mengumpulkan alat bukti dari pernyataan terbaru yang diungkap di persidangan. Kemudian, KPK harus sesegera mungkin memangil nama-nama yang disebut untuk diperiksa. Sebab, dalam kasus-kasus korupsi berjamaah, pelaku berpotensi menghilangkan bukti-bukti.

Bahkan, kata Orin, ada potensi terduga pelaku melarikan diri dan menyulitkan pembuktian. Apalagi bila sudah ada bukti adanya perintah dari eks Menhub, Budi Karya, untuk pengumpulan dana dari proyek-proyek DJKA. Maka sudah jelas kasus ini dapat dikembangkan.

“Dan siapa pun yang terlibat, berperan membantu, atau menganjurkan untuk melakukan perbuatan itu dapat dikenakan pasal yang sama,” ucap Orin kepada wartawan Tirto.

Sementara itu, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, meminta KPK segera memanggil dan memeriksa kembali Budi Karya Sumadi. Hal ini bukan berarti Budi Karya langsung dianggap bersalah, tapi dia diperiksa untuk mendalami pegakuan di persidangan terbaru.

Sebab, kata Zaenur, nama-nama yang disebut pada fakta persidangan bisa dikonfrontasi secara langsung atau tidak langsung.

“Jadi, semua keterangan itu harus didalami. Tidak boleh dianggap angin lalu gitu ya. Panggil dan jadikan sebagai saksi gitu ya, periksa di depan muka sidang,” ucap Zaenur kepada wartawan Tirto, Jumat.

Dalam konteks pidana, informasi persidangan seharusnya ditindaklanjuti untuk menemukan potensi pengembangan kasus. Bahkan, apabila ada indikasi nilai kebenarannya sangat kuat, bisa langsung dilakukan penyelidikan untuk menentukan ada atau tidaknya pidana. Kalau ditemukan dua alat bukti, barulah bisa ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, itu harus dimulai dulu dengan pemanggilan saksi. Lakukan pemeriksaan soal kebenaran keterangan yang disampaikan dalam fakta persidangan. Langkah ini penting untuk mengungkap bagaimana kasus korupsi ini terjadi secara utuh.

Apabila informasi di persidangan benar, hal itu menjadi pelajaran bagi penegak hukum bahwa kampanye pilpres ternyata tidak lepas dari sumber-sumber pendanaan yang berasal dari kejahatan. Apabila aliran dana sampai ke pihak-pihak lain, mereka semua juga dapat ikut diperiksa.

“Pada prinsipnya, kalau dalam hukum pidana itu, semua yang terlibat itu harus diproses secara hukum. Apalagi, misalnya, ternyata diduga betul ada perintah untuk melakukan tindak pidana,” ucap Zaenur.

Sebelumnya, Ketua KPK, Setyo Budiyanto, mengungkapkan bahwa dugaan keterlibatan Budi Karya Sumadi dalam korupsi proyek DJKA masih berpotensi dikembangkan. Pengembangan ini bergantung pada laporan persidangan dari Jaksa Penuntut Umum.

Setyo mengatakan penyidik KPK bakal mencocokkan keterangan itu dengan alat bukti yang dimiliki. Dia juga menyatakan bahwa ucapan dari saksi di persidangan tidak bisa dikaitkan dengan serta-merta. Keterangan dari saksi akan dikaitkan dengan pemeriksaan dan alat bukti sebelumnya yang sudah didapatkan penyidik.

“Kalau memang ada laporan pengembangan penyidikan atau laporan dari penuntutan, itu akan diajukan kalau dianggap bahwa keterangan pada proses persidangan signifikan dengan bukti-bukti lain,” ujarnya kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (22/1/2025).

Merespons pernyataan Ketua KPK, Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan Indonesia Corruption Watch, Wana Alamsyah, meminta KPK mengambil sikap tegas dengan memanggil sejumlah nama yang disebutkan dalam persidangan, termasuk Jokowi.

KPK dapat menyelidiki Budi Karya yang diduga memerintahkan pengumpulan uang di intenal Kemenhub. Menurut Wana, KPK dapat mempelajari bagaimana cara mereka sebelumnya menjerat bekas Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Pasalnya, ICW menilai dugaan korupsi yang ada adalah soal penyalahgunaan wewenang yang mirip kasus SYL di Kementerian Pertanian.

Modus korupsinya hampir serupa, yakni meminta bawahannya untuk mengumpulkan uang. Namun, yang berbeda, duit haram pada kasus SYL digunakan untuk kepentingan pribadi, sedangkan dalam kasus DJKA patut diduga dialirkan untuk pemenangan di Pilpres 2019.

Dalam kasus SYL, politisi Partai Nasdem itu dijerat menggunakan Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“KPK perlu melakukan pengembangan kasus terhadap setiap aktor yang disebutkan dalam persidangan. Karena, tidak jarang kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum hanya berhenti pada pelaku lapangan tanpa menindak pelaku utama,” ujar Wana kepada wartawan Tirto.

Baca juga artikel terkait KORUPSI DJKA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi