tirto.id - Dilantiknya kembali Presiden Amerika Serikat (AS), Donald J. Trump, pada Senin (20/1/2025) menandai dimulainya sebuah babak baru, bagi AS dan juga secara global. Setelah dilantik, Trump mulai melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ia janjikan di masa kampanyenya. Kemudian, Presiden AS ke-45 dan 47 itu juga meramu kebijakan-kebijakan baru yang mengejutkan dunia.
Beberapa jam setelah dilantik, Trump menandatangani 46 perintah eksekutif, di antaranya adalah 4 pengumuman staf administrasi, termasuk daftar pejabat kabinet, 26 perintah eksekutif, 12 memorandum, dan 4 proklamasi, menukil Time. Berdasar laporan Congressional Research Service (CRS) yang dikutip Time, Selasa (21/1/2025), perintah eksekutif dapat ditinjau oleh Komisi Yudikatif AS, sehingga dapat diratifikasi atau dibatalkan oleh legislatif.
Dari total 46 perintah eksekutif, aturan-aturan yang menjadi kontroversial di kalangan masyarakat AS dan bahkan dunia, di antaranya adalah kebijakan tentang pengakhiran kerja jarak jauh, penghentian perekrutan pegawai sipil federal di cabang eksekutif, penarikan diri dari Perjanjian Paris dan dari pakta iklim internasional lainnya, serta komitmen keuangan apapun yang dibuat AS untuk Konversi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.
Kemudian, ada pula perintah eksekutif untuk menunda pemblokiran Tiktok, keluarnya AS dari keanggotaan organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO), penerapan tarif perdagangan tinggi khususnya dengan Tiongkok, mendeklarasikan darurat energi nasional dan menjanjikan kebangkitan bahan bakar fosil, menarik diri dari kesepakatan pajak global yang diterapkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) sehingga dapat menurunkan tarif pajak perusahaan, hingga menyerukan kebijakan luar negeri ‘America First’.
“Di bawah Presiden Trump, prioritas utama Departemen Luar Negeri Amerika Serikat adalah Amerika Serikat,” kata Menteri Luar Negeri Trump, Marco Rubio, yang dikonfirmasi dengan suara bulat oleh Senat pada 20 Januari 2025, dikutip Time, Kamis (23/1/2025).
Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik dari Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, baik pada pemerintahannya yang pertama maupun yang saat ini, Trump berkomitmen untuk mendahulukan kepentingan domestik AS atau yang sering disebut 'America First'. Dus, tak heran jika kemudian kebijakan yang dikeluarkan hanya berpotensi memberikan keuntungan pada negaranya, tanpa memedulikan dampaknya pada negara lain.
“Dalam konteks itu, saya kira akan ada beberapa negara yang terkena dampak, termasuk di dalamnya Indonesia,” katanya, saat dihubungi Tirto, Kamis (23/1/2025).
Bicara dampak, Yusuf paling khawatir dengan tarif perdagangan tinggi atas barang-barang yang masuk ke AS kepada mitra-mitra dagangnya. Mengutip VOA, Trump paling cepat akan memberlakukan bea masuk pada Uni Eropa dan mengenakan tarif 10 persen untuk impor dari Cina, serta 25 persen kepada Kanada dan Meksiko pada 1 Februari 2025.
Sebagai negara yang mengalami surplus perdagangan dengan AS, tarif perdagangan tinggi dikhawatirkan akan berdampak terhadap ekspor produk-produk Indonesia ke Negeri Paman Sam itu.
“Nah, selain itu, kalau kita bicara dampak ke negara lain, misalnya ke Cina yang salah satu menjadi target dari Trump, memang ini akan memberikan dampak langsung dan tidak langsung ke Indonesia,” imbuh Yusuf.
Sebagai dampak langsung, ekspor Indonesia ke Tiongkok berpotensi melambat seiring dengan penurunan ekonomi negara tersebut imbas tarif impor tinggi dari AS. Kemudian yang menjadi dampak tak langsung, sebagai salah satu negara dengan konsumsi terbesar di dunia, perlambatan ekonomi Cina juga berpotensi menurunkan harga-harga komoditas.
“Dalam kondisi itu, Indonesia tentu juga akan ikut dirugikan secara tidak langsung, karena kan beberapa komoditas itu merupakan andalan ekspor Indonesia selama ini, seperti misalnya CPO (Crude Palm Oil/minyak sawit mentah), nikel, tembaga dan beberapa komoditas lain,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Tiongkok atau China merupakan negara tujuan ekspor minyak kelapa sawit terbesar dari Indonesia per 2023, senilai 4,67 miliar dolar AS.
Di sisi lain, pemberlakuan tarif tinggi juga akan mendorong China untuk mencari pasar potensial lain untuk memasarkan produk-produk ekspornya. Dalam hal ini, jelas Tiongkok akan membidik negara dengan aturan impor lemah seperti Indonesia. Bagi Indonesia, kondisi ini bak dua sisi mata uang.
Di satu sisi, Indonesia bisa saja ketiban untung atas masuknya produk-produk bahan baku dari negara tersebut. Namun, sebaliknya, jika yang lebih banyak masuk adalah barang-barang jadi seperti tekstil, jelas akan membuat industri di Tanah Air menjadi semakin merana.
“Kalau yang terjadi itu, yang membanjiri produk-produk manufaktur misalnya, yang sudah diproduksi juga di dalam negeri, itu kan artinya juga bermasalah buat labour intensive industry, ya. Jadi, industri yang banyak menggunakan tenaga kerja, padat karya,” ucap Kepala Ekonom BCA, David Sumual, kepada Tirto, Kamis (23/1/2025).
David menilai, tarif tinggi ini bisa menjadi indikasi bahwa tingkat inflasi AS masih tinggi. Biro Tenaga Kerja AS mengumumkan, pada Desember 2024 tingkat inflasi mencapai 2,9 persen secara tahunan (year on year/yoy), naik dari 2,7 persen pada November, menukil dari US Bureau of Labor Statistics, atau Biro Statistik Ketenagakerjaan AS. Data tersebut merekam, inflasi ini salah satunya dipengaruhi oleh harga energi yang naik menjadi 2,6 persen.
Pada pemerintahan Trump, inflasi diperkirakan akan tetap tinggi, apalagi setelah pemimpin anyar AS tersebut menerapkan kebijakan imigrasi yang kemudian juga memungkinkan memperketat aturan program visa pekerja asing. Dengan kebijakan ini, jumlah pekerja asing yang masuk ke AS diperkirakan akan berkurang, sehingga membuat negara itu mengalami kekurangan tenaga kerja. Alhasil, upah pekerja akan melonjak yang pada akhirnya juga diikuti dengan peningkatan inflasi.
“Itu artinya, dolar masih akan relatif kuat. Padahal, sekarang kalau dibanding akhir tahun lalu index dolar sudah naik 9 persen. Ini juga akan mendorong The Fed (The Federal Reserve/Bank Sentral AS) untuk menahan kebijakan suku bunga acuan mereka,” imbuhnya.
The Fed diprediksi akan mempertahankan suku bunga pada Januari ini, oleh ekonom-ekonom yang disurvei oleh Reuters.
David khawatir, berbagai kondisi itu akan membuat rupiah semakin tertekan. Bahkan pada perdagangan Kamis (17/1/2025) lalu, rupiah sempat mencapai titik terendahnya sejak Juli 2024, ditutup pada posisi Rp16.360 per dolar AS. Posisi tersebut turun 0,03 persen dari hari sebelumnya, dan melemah 1,11 persen secara mingguan.
Menurut peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, penguatan dolar, stand kebijakan suku bunga The Fed, dan pelemahan rupiah, tak hanya perlu menjadi perhatian pemerintah. Pada saat yang sama, kondisi tersebut juga bisa menjadi tantangan bagi Bank Indonesia (BI) untuk menentukan arah kebijakan suku bunga acuan, dengan tetap memperhatikan posisi rupiah dan tingkat inflasi.
“Sebenarnya BI masih punya ruang untuk setidaknya menahan suku bunga acuan. Tapi kita juga perlu melihat lebih lanjut kebijakan Trump ke depan,” ujarnya.
Apalagi, posisi dolar yang perkasa, akan mendorong modal asing dari negara-negara emerging market atau berpendapatan menengah ke atas, termasuk Indonesia, untuk keluar dan masuk ke AS. BI mencatat, selama transaksi pada 13-16 Januari 2025, aliran modal asing keluar sebesar Rp9,57 triliun dari pasar keuangan domestik.
Meski capital outflow dapat melemahkan posisi mata uang Garuda, Yusuf menilai, kebijakan suku bunga BI akan lebih didasarkan pada tingkat inflasi. Dalam hal ini, ketika inflasi berada pada kisaran target Bank Sentral, yakni 3 ± 1 persen, BI masih punya cukup ruang untuk setidaknya menahan suku bunga acuan.
“Capital outflow dan juga kebijakan lainnya itu akan mendorong pelemahan nilai mata uang rupiah. Bukan tidak mungkin BI juga akan melakukan penyesuaian ke atas, dalam konteks ini menaikkan cukup suku bunga acuan,” imbuh Yusuf.
Selain itu, pemerintah juga patut mewaspadai perintah eksekutif berupa akan semakin masifnya pengembangan proyek-proyek berbasis teknologi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Dengan ini, artinya Indonesia tak hanya harus bersaing dengan negara-negara berkembang saja untuk meraih investasi berbasis teknologi dan AI, namun juga negara maju berpendapatan jumbo, Amerika.
“Makanya, ini akan sulit. Terus juga kan untuk menarik investasi, Trump akan menurunkan tarif pajaknya. Meskipun ini nggak akan berpengaruh banyak ke Indonesia,” ujar Kepala Ekonom BCA, David Sumual.
Di sisi lain, keputusan Trump yang akan mendorong kembali produksi dan penggunaan bahan bakar fosil, setidaknya akan menjaga harga minyak dunia stabil. Hal ini, didorong oleh fakta bahwa saat ini AS adalah produsen minyak bumi terbesar di dunia, yang rata-rata mencapai sekitar 13,2 juta barel per hari pada 2024, lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 12,9 juta barel per hari.
“Nah, ini yang paling membantu lah. Harga minyak jadi relatif stabil,” tambah David.
Meski begitu, keputusan ini akan membuat target nol emisi AS pada 2050 terancam. Hal ini diperparah pula dengan keluarnya AS dari Perjanjian Iklim Paris 2015. Langkah-langkah tersebut lantas menjadi pukulan terhadap upaya dunia memerangi pemanasan global.
Kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, keluarnya AS dari Perjanjian Paris juga menjadi ancaman serius bagi berjalannya komitmen pendanaan transisi energi Indonesia, di mana salah satunya diberikan melalui Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan, alis Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dipimpin oleh AS. Dengan keputusan Trump tersebut, JETP Terancam dibubarkan atau tidak akan berjalan mulus.
“Padahal Indonesia sedang membutuhkan anggaran yang tidak kecil, khususnya dari kerja sama internasional dalam rangka membangun 71 gigawatt pembangkit energi terbarukan dan juga untuk mempercepat pemensiunan PLTU Batubara sebagai komitmen (Presiden) Prabowo di dalam G20,” kata dia, kepada Tirto, Kamis (23/1/2025).
Di sisi yang lain, kalau JEPI tidak berjalan, bisa jadi Indonesia akan kehilangan salah satu pinjaman atau donor paling besar di bidang transisi energi. Ini jelas akan mengancam proyek-proyek energi terbarukan yang tengah berjalan atau tengah didanai oleh AS.
Kemudian, kebijakan Trump yang ingin memasifkan kembali penggunaan bahan bakar fosil, juga dinilai akan membuat harga nikel dan baterai kendaraan listrik internasional hancur. Dengan sedang masifnya Indonesia menggenjot hilirisasi nikel untuk baterai listrik, pemerintah jelas harus waspada.
“Karena itu, untuk mitigasi keluarnya Amerika dari Perjanjian Paris, disarankan Indonesia segera melakukan cap atau batasan produksi pembatasan produksi. Selain itu, pemerintah dan dunia usaha juga harus menghentikan pembangunan smelter baru. Dengan cara itu bisa mendorong harga nikel internasional stabil sepanjang 2025,” jelas Bhima.
Kemudian, untuk terus melanjutkan upaya transisi energi, seharusnya Indonesia dapat mencari pendonor baru. Dalam hal ini, pemerintah dapat menggandeng Timur Tengah yang juga telah membantu pembangunan PLTS di Waduk Cirata.
“Jadi, mencari partner baru antara Amerika dengan China itu juga menjadi hal yang mendesak dan Timur Tengah jadi salah satu opsinya,” imbuh dia.
Sementara itu, soal kebijakan perdagangan, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS, blok negara berkembang yang terdiri dari Brazil, Russia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, dinilai dapat menjadi hal menguntungkan apabila Indonesia dapat memposisikan diri dengan tepat. Indonesia hanya perlu memanfaatkan hubungan bilateral ataupun multilateral dengan negara-negara blok tersebut, tanpa perlu ikut menerapkan dedolarisasi.
“Kita juga melihat bahwa Amerika Serikat ini cenderung sensitif, apalagi kalau mendengar narasi BRICS yang mendorong atau ingin mengakhiri hegemoni, dedolarisasi atas Amerika Serikat. Apalagi di dalamnya juga ada Cina yang jadi sasaran tarif impor tinggi dari Trump,” ucap Peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet.
Pada saat yang sama, Indonesia juga harus terus menjaga komunikasi dan kerja sama dengan AS. Yusuf mengistilahkan, Indonesia harus mampu berdiri di atas dua kaki, masing-masing bertumpu pada BRICS dan di sisi yang lain dengan AS.
“Ini akan cukup sulit, karena selama ini negara-negara BRICS punya narasi untuk mengakhiri hegemoni Amerika. Tapi, kalau Indonesia bisa meningkatkan intensitas perdagangan dengan BRICS dan Amerika, ini bisa menguntungkan Indonesia,” tegas Yusuf.
Sementara itu, sebelumnya Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Dyah Roro Esti, mengakui, pemerintah juga sedang mewaspadai kebijakan-kebijakan perdagangan Trump. Selain itu, pemerintah juga bakal pasang sikap menunggu penerapan kebijakan tarif bea masuk impor AS sembari melihat perkembangan ke depan dari kebijakan itu.
"Tentu kami Kementerian Perdagangan akan selalu melakukan planning ahead, strategi ke depannya, agar negara Indonesia juga tetap bisa hidup," ucapnya, dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (23/1/2024).
Kendati, Dyah dari kebijakan-kebijakan yang digulirkan Trump, akan tetap ada peluang bagi Indonesia. Sebagai contoh, dengan penerapan tarif perdagangan tinggi terhadap Tiongkok, Indonesia bisa masuk menggantikan posisi negara tersebut untuk memenuhi kebutuhan produk di AS.
Karenanya, saat ini pemerintah tengah mendorong hubungan bilateral dengan AS. Dengan itu, diharapkan pasar ekspor RI ke AS bisa semakin terbuka lebar.
"Tentunya kami berharap hubungan bilateral antara negara Indonesia dan Amerika Serikat bisa tetap berjalan baik. Karena selama ini siapapun presidennya, negara Indonesia tetap berteman dengan Amerika Serikat," tutur Dyah.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty