Menuju konten utama
Newsplus

Dilema Bali: Ketika Sopir Lokal Berebut Pasar dengan Plat Non-DK

Sopir lokal Bali mesti bersaing dengan perusahaan transportasi digital dan sopir luar Bali di destinasi utama pariwisata Indonesia. Apa solusinya?

Dilema Bali: Ketika Sopir Lokal Berebut Pasar dengan Plat Non-DK
Suasana aksi damai dari Forum Perjuangan Driver Pariwisata (FPDP) Bali mengenai pembatasan taksi online dan persoalan pelat non-DK di Wantilan DPRD Bali, Senin (06/01/2025). tirto.id/Sandra Gisela

tirto.id - Tidak seperti biasanya, I Made Darmayasa, pria asal Bali yang berprofesi sebagai sopir taksi ini, tidak mengangkut penumpang dengan kendaraannya pada Senin (6/1/2025). Bersama dengan ratusan sopir yang tergabung dalam Forum Perjuangan Driver Pariwisata (FPDP) Bali, tekadnya telah bulat untuk menyambangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali agar bisa menyampaikan aspirasinya. Mereka sekaligus menagih janji tempo hari bahwa pimpinan DPRD akan turun dan bertatap dengan mereka secara langsung pada hari tersebut.

Usai melewati jajaran Polresta Denpasar dan pecalang yang berjaga di gerbang kantor, sopir-sopir tersebut menggantung banner aksi yang mereka bawa di wantilan, sebuah bale yang kerap digunakan untuk menerima audiensi masyarakat. Selama beberapa menit, mereka menunggu hadirnya Dewa Made Mahayadnya, Ketua DPRD Bali, beserta jajaran dengan hening.

Darmayasa langsung berdiri menghampiri mikrofon begitu para anggota dewan masuk ke wantilan, mengungkap adanya lebih dari 70 paguyuban sopir yang sudah berhimpun. Mereka semua adalah sopir konvensional dan ojek pangkalan dari seluruh kabupaten dan kota yang ada di Pulau Dewata.

“Kami dari forum ini adalah driver pangkalan maupun taksi konvensional. Maksud dan tujuan kami menghadap wakil rakyat kami di sini ingin mengeluh tentang keadaan pariwisata Bali yang tidak baik-baik saja,” ucap Darmayasa dengan lantang kepada jajaran pemerintah daerah, diikuti sorakan dari gerombolan di belakangnya.

Aksi Damai FPDP Bali

Suasana aksi damai dari Forum Perjuangan Driver Pariwisata (FPDP) Bali mengenai pembatasan taksi online dan persoalan plat non-DK di Wantilan DPRD Bali, Senin (06/01/2025). tirto.id/Sandra Gisela

Koordinator aksi FPDP tersebut memulai ceritanya dengan menyebut Bali sebagai destinasi wisata yang diakui dunia. Tidak hanya memukau dengan pesona alam, tetapi juga adat dan budaya yang kental dengan filosofinya. Namun, menurut Darmayasa, seiring berkembangnya Bali, timbul banyak permasalahan, termasuk hadirnya aplikasi layanan transportasi yang menyebabkan ketidakadilan akses ekonomi bagi sopir lokal dan munculnya kemacetan parah.

“Bali menjadi seperti gula, banyak semutnya. Kalau tujuan mereka (wisatawan) berwisata, kita menerima dengan sopan santun. Namun, apa yang terjadi saat ini? Kita dituntut menjalankan kewajiban, tapi hak kita dirampok, diambil oleh kaum kapitalis, dengan bermodal uang yang sangat besar di Bali,” tegasnya.

Aksi ini bukanlah kali pertama yang dilakukan di Bali. Perjuangan sopir konvensional dalam mencari titik terang atas hak mereka telah dimulai pada tahun 2011, lalu berlanjut pada tahun 2017 dan tahun 2019. Alih-alih menemukan solusi, sambungnya, Pulau Dewata justru mulai dijarah oleh perusahaan transportasi digital dan sopir luar Bali (non-DK) yang bersaing memperebutkan pasar transportasi.

“Inilah hasil tidak konsisten. Kenapa bisa seperti saat ini? Budaya Bali kita dirongrong, pariwisata kita hancur, tidak mencerminkan Bali,” ungkap Darmayasa.

Seperti Darmayasa, sopir asal Klungkung bernama Wayan Widiasa turut mengemukakan keresahannya terhadap perkembangan transportasi di Pulau Dewata. Datang jauh dari timur Bali, Widiasa mengeluhkan adanya turis asing di Bali yang mengambil lapangan pekerjaan sopir konvensional. Bahkan, beberapa hari yang lalu, dia masih menjumpai praktik tersebut di Bandara Ngurah Rai.

“Di bandara kami sering melihat hidung mancung (bule) jemput tamu. Tamu jamput tamu, (seperti) jeruk makan jeruk, saya sampai kaget,” keluh Widiasa.

Keresahan FPDP bermuara pada enam tuntutan yang langsung diantar ke hadapan pimpinan dewan, organisasi perangkat daerah (OPD), dan aparat penegak hukum. Tuntutan mereka meliputi pembatasan kuota mobil taksi online di Bali, serta menertibkan dan menata ulang keberadaan vendor angkutan sewa khusus di Bali, termasuk jasa penyewaan mobil dan motor.

Selain itu, sopir-sopir konvensional juga ingin adanya standardisasi tarif untuk angkutan sewa khusus dan pembatasan rekrutmen driver di Provinsi Bali hanya kepada masyarakat yang memiliki KTP Bali.

“Kami juga ingin pemerintah mewajibkan mobil pariwisata bernomor polisi, berpelat DK, dan juga memasang identitas yang jelas di kendaraan. Terakhir, melakukan standardisasi pada driver pariwisata yang berasal dari luar Bali,” tutup Darmayasa.

Dorong Peraturan Daerah dan Sejumlah Janji Lainnya

Ketua Komisi III DPRD Bali, I Nyoman Suyasa, langsung menanggapi enam tuntutan yang dilayangkan oleh FPDP. Secara garis besar, tuntutan-tuntutan tersebut akan pemerintah daerah penuhi, tetapi terdapat beberapa hal yang masih memerlukan kajian terlebih dahulu, terutama mengenai pembatasan kuota taksi online di Bali.

“Tentunya dengan beberapa kajian terlebih dulu terkait jumlah kebutuhan, terkait juga proyeksi ke depan,” kata Suyasa kepada para sopir yang masih berhimpun di Wantilan.

Suyasa mengungkap data yang didapatkannya dari Dinas Perhubungan (Dishub) mengenai jumlah angkutan khusus beraplikasi yang terdata di Provinsi Bali. Saat ini, menurutnya, terdapat sekiranya 10.854 unit angkutan sewa khusus, lebih rendah 45,7 persen dibandingkan proyeksi kebutuhan angkutan sewa khusus di tahun 2020.

“Dari jumlah ini, tidak diketahui dengan pasti jumlah angkutan sewa khusus yang beroperasi di lapangan karena dashboard operasi tidak disampaikan kepada Dishub Bali,” tambahnya.

Aksi Damai FPDP Bali

Suasana aksi damai dari Forum Perjuangan Driver Pariwisata (FPDP) Bali mengenai pembatasan taksi online dan persoalan plat non-DK di Wantilan DPRD Bali, Senin (06/01/2025). tirto.id/Sandra Gisela

Politikus dari Partai Gerindra tersebut juga menyebut akan mengkaji besaran tarif batas bawah dan batas atas untuk angkutan sewa khusus sesuai ketentuan sebagai usulan perubahan terhadap Peraturan Dirjen Perhubungan Darat tentang Tarif Batas Atas dan Tarif Batas Bawah Angkutan Khusus. Dishub Provinsi Bali juga ditugaskan untuk menyiapkan saluran pengaduan (call center) yang dapat diakses oleh aplikator dan penyelenggara angkutan sewa khusus.

Namun, Suyasa cukup skeptis perihal ide membatasi rekrutmen driver hanya untuk yang memiliki KTP Bali saja, sebab terbentur undang-undang yang memperbolehkan warga negara bekerja di seluruh Indonesia. Menurutnya, standardisasi rekrutmen bagi sopir pariwisata dalam bentuk sertifikasi lebih baik dibandingkan membatasi sesuai dengan KTP.

Sertifikasi tersebut menyasar kemampuan dan pemahaman sopir mengenai geografi, wilayah, budaya, bahasan, dan tata krama di Pulau Dewata. Selain itu, standardisasi tersebut dapat pula dilakukan dengan pelabelan “Kreta Bali Smita” terhadap angkutan pariwisata, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Gubernur Bali Nomor B.34.551.2/4949/AKT.JALAN/DISHUB.

“Tidak sembarangan orang bukan KTP Bali, harus memahami aturan. Sertifikasi tersebut agar pengemudi memenuhi persyaratan kompetensi, kewilayahan, budaya, dan bahasa. Kami akan dorong dan fasilitasi untuk dapat dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan Dinas Perhubungan,” jelasnya.

Ketua DPRD Provinsi Bali, Dewa Made Mahayadnya, menambahkan akan meningkatkan status Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 40 Tahun 2019 tentang Layanan Angkutan Sewa Khusus di Bali menjadi Peraturan Daerah (Perda). Upaya tersebut dilakukan agar peraturan ini bisa punya kekuatan hukum yang lebih tinggi dan kuat.

“Kami tingkatkan menjadi Perda, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang lebih tinggi dan kuat, serta ada sanksi apabila ada pelanggaran. Dalam hal ini diharapkan forum ikut memberikan usulan serta berkontribusi dalam penyusunan Perda tersebut sehingga benar-benar bisa mengayomi kepentingan masyarakat, khususnya para driver pariwisata Bali,” tegas Dewa.

Dewa memastikan Perda tersebut menjadi prioritas untuk dibahas di dalam sidang DPRD Provinsi Bali. Rencananya, aturan tersebut akan berjudul “Moda Transportasi Secara Menyeluruh”, sehingga tidak hanya mengerucut pada layanan angkutan sewa khusus.

“Sangat prioritas. Begitu badan musyawarah membuka ruang untuk ke sidang, kami akan membahasnya. Mungkin minggu-minggu ini,” tuturnya.

Adanya Kebocoran Sistem Aplikasi Online

Tuntutan yang diangkat oleh para sopir konvensional mendapat sorotan dari sopir yang menggunakan sistem aplikasi daring. Ketua Perhimpunan Driver Online Indonesia (PDOI) Bali, Aditya Purwadinata, menanggapi bahwa pihaknya turut mendukung pembatasan kuota taksi online dan kewajiban mobil pariwisata berpelat DK.

“Pastinya turut mendukung. Kita juga mengeluhkan secara terus menerus kenapa dibuka terus rekrutmen, padahal kita tahu bahwa berdasarkan bukti-bukti di lapangan, nyatanya bukan soal kekurangan driver, tapi kondisi kemacetan dan harga pun pengaruh,” ujar Aditya ketika dihubungi Tirto, Senin (06/01/2025).

Aditya skeptis dengan data Dishub Provinsi Bali yang dikantongi DPRD, sebab patut dipertanyakan apakah sebenarnya aplikator atau koperasi angkutan sewa khusus rutin melakukan pelaporan kepada pemerintah daerah. Lebih lanjut, Aditya juga menemukan adanya kebocoran pada sistem yang dimiliki aplikator, sehingga mudah dimanipulasi.

“Khususnya Gojek. Masih sangat rentan dan juga mudah dimanipulasi oleh para oknum driver. Mereka mendaftar di luar, kemudian saat berpindah ke Bali itu mereka mendaftarkan data kendaraan (berpelat) DK yang ada di Bali. Setelah berhasil terverifikasi dan disetujui pihak aplikator, nyatanya mereka beroperasi dengan mengganti kembali ke pelat asli yang dari luar Bali,” terangnya.

Berkaca pada pengalaman di lapangan, Aditya menyorot keluhan wisatawan terhadap taksi konvensional yang belum memiliki patokan atau batasan tarif dan standar layanan. Ditambah, kendaraan pariwisata konvensional belum memiliki jaminan keselamatan dan keamanan untuk penumpang.

Secara spesifik, dia menyorot pemaksaan oleh oknum kepada calon penumpang agar menggunakan jasa mereka dengan harga yang melambung. Namun, dari Dishub Provinsi Bali sendiri, menurutnya, juga belum tegas kepada aplikator untuk menetapkan batas bawah dan atas tarif jasa yang proporsional dan tidak merugikan pengemudi konvensional.

“Kita bisa lihat banyak di sosial media, turis-turis mengeluhkan soal harga atau terdapat unsur pemaksaan dan sebagainya. Tamu atau pengguna jasa pun tidak memahami berapa patokannya dan yang terjadi banyak oknum driver nakal,” kata Aditya.

Para pengemudi taksi online juga menyetujui sertifikasi pengemudi untuk angkutan sewa khusus di Pulau Dewata, sebab memiliki berbagai keunggulan, mulai dari standardisasi kualitas, keamanan penumpang, dan peningkatan kepercayaan penumpang. Ditegaskan oleh Aditya, diperlukan acuan dan detail mengenai teknis sertifikasi sehingga tidak merugikan kembali para pengemudi.

“Yang perlu diperhatikan dalam implementasinya itu termasuk biaya pelatihan dan aksesibilitas sertifikasi bagi calon pengemudi. Jangan sampai ini hanya melahirkan lahan biaya lagi,” tambahnya.

Akan tetapi, Aditya tidak setuju apabila sertifikasi tersebut diwajibkan, sebab pemesan layanan taksi online kebanyakan merupakan masyarakat umum atau warga lokal. Apalagi kebanyakan dari pengemudi tersebut sudah bernaung di bawah koperasi angkutan sewa khusus.

“Pada prinsipnya, taksi online adalah layanan publik. Kami tidak melayani dalam hal pariwisata. Hanya kebetulan area, lingkup wilayah kerja driver online kita adalah di Bali, daerah pariwisata,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait SOPIR atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - News
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Farida Susanty