Menuju konten utama

Pariwisata Belum Bisa Sejahterakan Warga DIY, Apa yang Salah?

Di balik gemerlap pariwisata Yogyakarta, kemiskinan dan kesenjangan sosial tetap mengiringi keseharian warganya.

Pariwisata Belum Bisa Sejahterakan Warga DIY, Apa yang Salah?
Kesetiaan, semangat, dan keberanian Gatotkaca menyelimuti puluhan ribu pengunjung Wayang Jogja Night Carnival (WJNC) pada Senin malam (7/10/2024) di Kawasan Tugu Yogyakarta. tirto.id/Dina T Wijaya

tirto.id - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu tujuan wisata yang populer di Indonesia. Jika kota-kota besar lainnya lengang saat musim liburan, Yogyakarta justru sebaliknya.

Di musim liburan, jalanan padat dan kemacetan tidak terhindarkan. Terutama, terjadi di jalan-jalan yang mengarah ke destinasi wisata.

Pada long weekend saat Isra Miraj dan Imlek pada pekan lalu, misalnya, kepadatan bukan hanya terjadi di jalanan, tapi juga di penginapan. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY mencatat lonjakan okupansi. Setidaknya, 98 persen kamar di Yogyakarta terisi oleh wisatawan.

Berdasar data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DIY yang dirilis pada Senin (3/2/2025), jumlah wisatawan nusantara (wisnus) yang berkunjung ke DIY pada periode Januari-Desember 2024 mencapai 38,03 juta perjalanan. Jumlah tersebut merupakan catatan tertinggi selama enam tahun terakhir.

"Perkembangan selama 6 tahun terakhir, jumlah kunjungan wisnus pada 2024 merupakan yang terbesar dengan total 38,03 juta perjalanan atau meningkat 24,95 persen dibandingkan tahun sebelumnya," kata Herum Fajarwati, Kepala BPS DIY, Senin (3/2/2025).

Tingkat penghunian kamar (TPK) atau okupansi hotel berbintang pada Desember 2024 sebesar 70,24 persen, sementara hotel nonbintang sebesar 31,28 persen. Rata-rata lama menginap tamu hotel berbintang pada Desember 2024 adalah selama 1,51 malam dan hotel nonbintang selama 1,18 malam.

Jalanan dan Hotel Semua Padat

Mengutip laman resmi Polresta Yogyakarta, Kasatlantas Polresta Yogyakarta, Kompol Maryanto, menyebut bahwa libur panjang Isra Miraj dan Imlek 2025 membawa dampak yang cukup signifikan terhadap lalu lintas di kawasan Malioboro.

Satlantas Polresta Yogyakarta bahkan sampai memutuskan untuk meniadakan sementara kegiatan car free night untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pengunjung dan menghindari kemacetan yang lebih parah.

Memang adatnya, setiap malam mulai pukul 18.00 WIB hingga 21.00 WIB, kawasan Malioboro ditutup untuk lalu lintas kendaraan bermotor. Mengingat tingginya volume kendaraan, Satlantas Polresta Yogyakarta lantas membuat imbauan bagi warganya agar lebih bersabar saat bermobilitas di Kota Gudeg.

Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono, pun mengakui bahwa gelombang wisatawan pada long weekend Isra Miraj-Imlek 2025 sangat tinggi.

"Kali ini, libur Isra Miraj dan Imlek luar biasa okupansinya," ujar Deddy dihubungi kontributor Tirto, beberapa hari lalu.

Pemilik Hotel Ruba Grha itu membeberkan bahwa okupansi hotel di DIY tempo hari melebihi target. PHRI DIY awalnya hanya menarget okupansi hotel “hanya” menyentuh 90 persen.

"Periode [okupansi] tanggal 25 sampai dengan 29 Januari bisa 98,7 persen," sebutnya.

Tingginya okupansi pun tidak terpusat, melainkan menyebar dan merata di seluruh kabupaten-kota di DIY.

"Merata di DIY, 4 kabupaten 1 kota," kata dia.

Menurut Deddy, tingginya tingkat okupansi hotel itu dipengaruhi oleh kemudahan akses lalu lintas menuju ke DIY. Faktor lain, menurutnya, adalah momentum jelang bulan puasa.

"Tingginya okupansi karena libur Isra Miraj dan Imlek berdekatan. Selain itu, akses ke Yogyakarta dengan adanya Tol Prambanan lebih cepat. Libur Nataru lalu ada yang belum ke Yogyakarta, serta memanfatkan [berlibur] sebelum puasa," tandasnya.

Kemiskinan dan Ketimpangan Tetap Menghantui

Momentum libur panjang, kata Kepala Dinas Koperasi dan UKM DIY, Srie Nurkyatsiwi, memang merupakan momentum yang bagus untuk mendorong perekonomian lokal.

"Keyakinan ini diperkuat dengan peningkatan sektor wisata yang ditandai dengan membludaknya kunjungan wisatawan ke Jogja," sebut Siwi, sapaan akrabnya, saat dihubungi kontributor Tirto.

Siwi mengklaim bahwa peningkatan jumlah kunjungan wisata ke DIY tentu juga menghidupkan sektor ekonomi lokal yang dominan dilakukan oleh pelaku UMKM.

"Tentang angkanya seperti apa, kita tunggu saja rilis resmi dari BPS. Tapi, yang pasti dinamika pariwisata itu tak terlepas dari citra. Citra tersebut dipengaruhi juga oleh layanan atau hospitality, di samping faktor pemasaran, kenyamanan, dan keamanan," jabarnya.

"Maka hal lain yang harus diperhatikan adalah daya tampung dan pemerataan destinasi serta keterlibatan elemen lokal," imbuh Siwi.

Di satu aspek, klaim Siwi itu ada benarnya. Data BPS DIY menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di DIY pada September 2024 memang mengalami penurunan.

Jumlah penduduk miskin DIY pada September 2024 tercatat mencapai 430,47 ribu orang. Jumlah tersebut turun sebesar 15,1 ribu orang dibandingkan Maret 2024 yang jumlahnya mencapai 445,55 ribu orang.

Jika dirinci, ada sekitar 316,81 ribu penduduk miskin yang bermukim di wilayah perkotaan DIY. Sementara sisanya, yakni 113,66 ribu penduduk, tinggal di perdesaan.

Dalam persentase, penduduk miskin DIY pada September 2024 adalah sebesar 10,40 persen. Angka ini turun 0,43 persen dibandingkan Maret 2024 yang sebesar 10,83 persen.

Meski demikian, persentase kemiskinan di DIY pada September 2024 itu masih di atas rata-rata nasional yang tercatat 8,57 persen.

Sementara itu, tingkat ketimpangan atau rasio gini penduduk DIY tercatat sebesar 0,428 pada September 2024. Catatan tersebut menunjukkan rentang yang menyempit sekitar 0,007 persen jika dibandingkan Maret 2024.

Namun, lagi-lagi, ketimpangan di DIY pada September 2024 itu masih tergolong lebih luas dibanding rata-rata nasional. BPS melaporkan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia pada September 2024 tercatat sebesar 0,381.

Artinya, ingar bingar pariwisata itu, dari tahun ke tahun, tak membawa perubahan signifikan bagi kesejahteraan warga DIY. Di balik gemerlap pariwisata Yogyakarta, kemiskinan dan kesenjangan sosial tetap mengiringi keseharian warganya.

Hal itu dibenarkan oleh Kepala Pusat Studi Pariwisata (Puspar) Universitas Gadjah Mada (UGM), Mohamad Yusuf. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh model kebijakan pariwisata yang diterapkan oleh Pemprov DIY.

"Pariwisata di DIY dengan model seperti ini [yang diterapkan] tidak pernah bisa memberikan kesejahteraan ke rakyat," lontarnya saat dihubungi kontributor Tirto, Rabu (5/2/2025).

Yusuf menjelaskan bahwa ada tiga catatan yang menggambarkan pola kebijakan pariwisata di DIY. Pertama, orientasi pemda yang hanya memandang pariwisata untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Padahal, PAD tidak berhubungan langsung dengan pengentasan kemiskinan.

PAD pariwisata dikumpulkan dari pajak hotel, resroran, dan tempat hiburan. Komponen PAD lainnya adalah retribusi pengunjung saat memasuki objek wisata.

"Pemerintah terlalu fokus meningkatkan PAD dari sektor pariwisata sehingga tidak aneh pariwisata [di DIY] tidak berdampak signifikan pada kesejahteraan masyarakat," ujar Yusuf.

Kedua, minimnya pelibatan masyarakat lokal di pusat-pusat pariwisata. Yusuf mencotohkan hal itu terjadi di Malioboro. Di pusat pariwisata di DIY itu, hanya sedikit warga lokal yang melakukan aktivitas perekonomian. Sebagian besar pelaku ekonomi di Malioboro justru adalah orang luar DIY.

Bahkan, pemilik hotel dan restoran di DIY pun sebagian besar bukan warga lokal.

"Ini yang disebut dengan kebocoran pariwisata atau leakage in tourism. Keuntungan ekonomi malah ke luar Jogja," sesalnya.

Catatan ketiga adalah geliat desa atau kampung wisata di DIY masih terpusat pada kalangan elite. Menurut Yusuf, hal itu membuat warga yang terungkit perekonomiannya oleh aktivitas pariwisata di desa atau kampung bisa dihitung jari.

"Tiga hal itu mengakibatkan pariwisata tidak berdampak besar tehadap pengentasan kemiskinan di DIY, walau kunjungan meningkat, okupansi meningkat, dan long of stay bertambah," paparnya.

"Dengan manajemen pariwisata DIY yang seperti ini, masih akan terjadi kemiskinan dan ketimpangan," tegasnya lagi.

Oleh sebab itu, Yusuf berharap pembangunan pariwisata di DIY bisa dibarengi dengan manajemen yang baik. Sehingga, geliat pariwisata benar-benar dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan warga lokal DIY.

Untuk mencapai hal itu, menurut Yusuf, Pemprov DIY dapat melakukan beberapa upaya, di antaranya jangan fokus hanya ke PAD; melindungi dan melakukan penguatan modal bagi warga lokal agar tidak kalah dan mampu bersaing dengan pemodal dari luar DIY; serta melibatkan masyarakat secara ekstensif dengan diiringi penguatan sumber daya manusia (SDM).

Baca juga artikel terkait PARIWISATA JOGJA atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - News
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi