tirto.id - Pariwisata adalah industri yang sedang berkembang pesat di Indonesia, memberikan kontribusi besar pada perekonomian nasional dengan menampilkan kekayaan budaya dan alam Indonesia kepada dunia. Dorongan pemerintah untuk proyek-proyek strategis nasional yang bertujuan meningkatkan infrastruktur pariwisata menjadi bukti kemajuan tersebut. Namun, di tengah upaya mengejar pertumbuhan ekonomi, ada kebutuhan mendesak untuk mengatasi dampak pengembangan pariwisata terhadap hak asasi manusia.
Proyek pengembangan pariwisata di Indonesia, meskipun menjanjikan secara ekonomi, telah menimbulkan kekhawatiran serius tentang dampaknya terhadap komunitas lokal dan lingkungan. Banyak proyek pariwisata berlokasi di tanah yang secara tradisional dimiliki atau digunakan oleh komunitas adat.
Beberapa kasus yang didokumentasikan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menunjukkan bahwa hak atas tanah adat sering diabaikan, warga lokal digusur tanpa kompensasi yang memadai, dan kerusakan lingkungan terjadi akibat pembangunan yang tidak terkendali.
Pariwisata di Indonesia juga sering memperburuk ketegangan sosial. Eksploitasi sumber daya alam dan budaya untuk menarik wisatawan seringkali merugikan komunitas lokal. Sebagai contoh, polusi suara dari tempat hiburan di Canggu, Bali, pada tahun 2022 mengganggu kehidupan warga sekitar, menunjukkan bagaimana pariwisata dapat menciptakan konflik dengan komunitas sekitar.
Perselisihan tanah juga menjadi dampak umum dari proyek pariwisata, dengan warga lokal sering menjadi pihak yang paling dirugikan. Di Taman Alam Gunung Batur, Bali, komunitas adat terus berjuang untuk melindungi tanah mereka dari praktik pengelolaan yang lebih menguntungkan investor.
Konflik serupa terjadi di Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat, di mana penduduk lokal, pemerintah provinsi, dan investor asing terlibat dalam sengketa hak atas tanah. Warga lokal, yang telah mengelola lahan sejak 1973, menuntut kepemilikan formal tetapi merasa dikesampingkan oleh pemerintah yang tampaknya lebih memprioritaskan investor.
Menyadari isu-isu yang terus berlanjut terkait pengembangan pariwisata di Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah memperingatkan potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam proyek destinasi wisata baru. Komnas HAM kemudian menjadikan bisnis dan HAM sebagai salah satu bidang prioritasnya untuk periode 2022–2027, dengan tujuan memastikan bahwa kegiatan bisnis pariwisata dilakukan secara bertanggung jawab dan menghormati hak asasi manusia.
Uji Tuntas Hak Asasi Manusia: Langkah Awal yang Penting
Dalam kerangka kerja bisnis dan HAM, uji tuntas hak asasi manusia (human rights due diligence) adalah langkah awal yang penting untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menangani dampak pariwisata terhadap hak asasi manusia. Dalam sektor pariwisata Indonesia, ini merupakan kebutuhan nyata untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan.
Seiring dengan ekspansi pariwisata, muncul peluang dan risiko bagi komunitas lokal, pekerja, dan lingkungan. Tanpa uji tuntas yang tepat, masalah seperti eksploitasi tenaga kerja, penggusuran masyarakat adat, dan degradasi lingkungan dapat mengakar, merusak manfaat yang kita semua harapkan dari pariwisata (lihat misalnya pasal 4 UU Kepariwisataan 2009 tentang tujuan kepariwisataan).
Dengan mengintegrasikan pertimbangan hak asasi manusia ke dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, para pemangku kepentingan (seperti pemerintah, investor dan pengusaha sektor pariwisata), dapat mengurangi risiko ini, mendorong industri pariwisata yang lebih bertanggung jawab, serta menghormati hak semua pihak yang terlibat.
Pendekatan hak asasi manusia tidak hanya selaras dengan standar global seperti Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGP), tetapi juga meningkatkan kelangsungan jangka panjang sektor pariwisata Indonesia, menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi penduduk lokal dan wisatawan.
Uji tuntas hak asasi manusia dalam pariwisata juga mencakup pertimbangan dampak lingkungan dari setiap proyek. Pembangunan yang tidak terkendali dapat menyebabkan deforestasi, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati, yang tidak hanya merugikan masyarakat lokal, tetapi juga mengancam keberlanjutan sektor pariwisata itu sendiri. Oleh karena itu, pendekatan yang komprehensif terhadap uji tuntas hak asasi manusia harus mengintegrasikan aspek lingkungan secara menyeluruh, menjadikannya bagian integral dari sistem manajemen risiko yang diterapkan oleh perusahaan.
Lebih lanjut, mengintegrasikan uji tuntas hak asasi manusia ke dalam manajemen risiko usaha dan pengembangan destinasi pariwisata memungkinkan pengelola untuk mengidentifikasi dan mengatasi potensi risiko terhadap hak asasi manusia sejak awal proses perencanaan proyek. Pendekatan ini dapat mencegah konflik yang berpotensi mengganggu operasi bisnis pariwisata, sekaligus memastikan bahwa proyek-proyek pariwisata memberikan kontribusi positif bagi masyarakat lokal dan lingkungan.
Partisipasi Pemangku Hak
Salah satu tantangan utama adalah implementasi Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs) secara efektif, terutama terkait konsultasi yang bermakna, dialog, dan keterlibatan dengan pemangku hak yang terdampak oleh proyek pariwisata.
Prinsip 18 UNGPs menekankan bahwa keterlibatan yang bermakna dengan kelompok-kelompok yang berpotensi terdampak dan pemangku kepentingan lainnya merupakan komponen penting dari proses uji tuntas hak asasi manusia. UNGPs mendefinisikan pemangku kepentingan sebagai individu atau kelompok yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh aktivitas suatu organisasi. Secara khusus, UNGPs menyoroti pentingnya melibatkan mereka yang haknya mungkin terpengaruh oleh operasi bisnis, produk, atau layanan (pariwisata).
Dengan melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan, perusahaan pariwisata dan pengelola destinasi dapat memastikan bahwa proyek-proyek pariwisata memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat. Ketika hak asasi manusia dihormati, proyek pariwisata cenderung lebih mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata.
Masyarakat lokal dengan demikian harus dipandang sebagai mitra dalam pengembangan usaha dan destinasi pariwisata, dengan keuntungan berupa kesempatan kerja, infrastruktur yang lebih baik, dan akses ke pasar. Memastikan distribusi manfaat yang adil sangat penting untuk mengurangi kesenjangan dan mempererat kohesi sosial.
Peran Pemerintah, Bisnis, dan Masyarakat Sipil
Untuk memastikan keberhasilan uji tuntas hak asasi manusia, baik pemerintah maupun bisnis harus berkomitmen. Pemerintah perlu menegakkan hukum yang melindungi hak asasi manusia dan lingkungan, sementara bisnis harus melakukan penilaian dampak yang menyeluruh dan melibatkan komunitas lokal secara bermakna.
Kolaborasi dengan kelompok masyarakat sipil juga penting untuk menetapkan standar internasional, membangun mekanisme pengaduan, dan memastikan distribusi manfaat yang adil. Upaya bersama ini adalah kunci untuk membuka potensi pariwisata sebagai penggerak pembangunan yang berkelanjutan.
Sebagai contoh, InterContinental Hotels Group (IHG) di China melakukan penilaian risiko air yang komprehensif, yang menghasilkan penerapan langkah-langkah penghematan air. Contoh ini menunjukkan bagaimana pertimbangan lingkungan dapat diintegrasikan ke dalam uji tuntas hak asasi manusia, sehingga mengurangi konflik dan mempromosikan keberlanjutan lingkungan dan hak atas air.
Selain itu, organisasi masyarakat sipil memainkan peran penting dalam membentuk pariwisata yang bertanggung jawab dengan berkolaborasi dengan perusahaan dan pemerintah untuk menetapkan standar internasional, membangun mekanisme pengaduan, dan memastikan distribusi manfaat yang adil. Sebagai contoh, IHG bermitra dengan Chengdu Urban Rivers Association untuk mengembangkan rencana komunitas yang bertujuan mengelola konsumsi air, mengatasi kelangkaan, dan mengurangi polusi di wilayah setempat.
Desentralisasi Pengambilan Keputusan
Langkah penting lainnya adalah mendesentralisasi pengambilan keputusan dalam pariwisata, sehingga komunitas lokal memiliki kendali lebih besar dalam merancang dan mengelola pengalaman pariwisata. Langkah ini memungkinkan komunitas lokal membentuk narasi budaya mereka sendiri dan memastikan kebijakan pariwisata lebih responsif terhadap kebutuhan yang kontekstual. Di Central Appalachia misalnya, metode Community Cultural Development memperkuat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan kepemilikan pariwisata, sehingga meningkatkan keberlanjutan.
Lebih lanjut, kebijakan pariwisata seharusnya tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga mengutamakan manfaat sosial dan lingkungan. Untuk itu, kebijakan pariwisata perlu mendorong proyek yang tidak hanya memperkuat integrasi antar kelompok masyarakat, tetapi juga memastikan partisipasi aktif mereka dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan.
Di Raja Ampat, misalnya, revisi sistem biaya masuk berhasil meningkatkan transparansi sekaligus melibatkan komunitas secara lebih mendalam. Prosedur yang lebih jelas dan distribusi dana yang langsung kepada masyarakat lokal tidak hanya memperkuat kesadaran akan pentingnya pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan, tetapi juga meningkatkan legitimasi di mata pemangku kepentingan lokal. Hal ini menegaskan betapa pentingnya transparansi dan partisipasi dalam pengelolaan pariwisata, terutama di wilayah terpencil yang memiliki kekayaan alam dan budaya yang perlu dilindungi.
Pada akhirnya, ideal pariwisata untuk kesejahteraan masyarakat di berbagai destinasi perlu terus kita kawal bersama agar dapat terwujud tanpa mengorbankan hak asasi manusia atau lingkungan. Ini memerlukan perpaduan upaya teoritis dan praktis guna memastikan bahwa pariwisata membawa manfaat berkelanjutan—sosial, ekonomi, dan ekologis—tanpa merugikan hak siapa pun.
Kesadaran global yang semakin meningkat tentang dampak hak asasi manusia dari pembangunan pariwisata memberikan Indonesia peluang unik untuk menjadi contoh pariwisata bertanggung jawab yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan.
Suksesnya pembangunan pariwisata tidak dapat diukur dari angka investasi atau jumlah wisatawan semata, tetapi dari kontribusinya terhadap keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan komunitas lokal. Tanpa perencanaan yang hati-hati (melalui uji tuntas hak asasi manusia dan partisipasi aktif masyarakat), pariwisata berisiko menjadi sumber konflik yang merugikan semua pihak.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.