tirto.id - Ibarat roda yang terus menerus diputar, isu merger Gojek dan Grab belum akan mencapai titik henti. Kabar negosiasi antara dua penyedia transportasi daring ini berkali-kali mampir di halaman utama media massa—meski kedua perusahaan ini beberapa kali pula mencoba meredamnya.
Kabar paling mutakhir dari Financial Times menyebut pihak Gojek dan Grab sempat melakukan pertemuan pada awal September. Pembicaraan dihelat menyusul isyarat dari Masayoshi Son yang menyambut positif wacana merger itu. Orang nomor satu di SoftBank—yang merupakan investor utama Grab—itu menganggap langkah ini akan sama-sama menguntungkan di tengah kondisi serba tidak pasti seperti sekarang.
Nilai saham kedua perusahaan memang tengah turun secara substansial di pasar sekunder. Dihantam krisis akibat pandemi, saham Grab yang berbasis di Singapura diperdagangkan dengan diskon hingga 25 persen. Sementara itu, menurut keterangan para broker, harga saham Gojek juga mengalami pelemahan karena sejumlah investornya berhasrat untuk hengkang.
Dalam kondisi demikian, ekonom sekaligus Kepala Centro Ventures Mark Suckling menilai opsi merger dua perusahaan ini adalah hal yang masuk akal.
“Wajar bila manajemen bersama penasihat dan investor mereka mencari cara untuk mengonsolidasikan ulang posisi,” kata Suckling kepada Nikkei Asian Review. “Akuisisi pesaing yang lebih kecil atau bahkan merger dengan pesaing yang sama besarnya adalah salah satu cara untuk mencapainya.”
Meski begitu, jika Gojek dan Grab sepakat merger, bukan berarti prosesnya akan mulus. Salah satu batu sandungan bagi rencana merger itu adalah regulasi di Indonesia—terutama Undang-Undang No. 5/1999 yang melarang praktik monopoli dalam persaingan usaha.
Selain itu, wacana Alibaba berinvestasi di Grab juga rawan merusak negosiasi Gojek dan Grab. Laporan Bloomberg yang rilis pada 14 September 2020 menyebut perusahaan rintisan Jack Ma tersebut tertarik menyuntikan modal 3 miliar dolar AS kepada Grab. Bila ketertarikan itu menjadi kenyataan, Grab tak perlu repot-repot merger dengan Gojek untuk keluar dari krisis.
Kesan bahwa Gojek maupun Grab sama-sama masih memperebutkan posisi sebagai penguasa pasar juga dipandang para pengamat bisa menghambat proses negosiasi.
Grab pantas merasa lebih tinggi, karena valuasi mereka memang lebih besar. CB Insight menyebut valuasi Grab pada 2019 mencapai 14,3 miliar dolar AS, sementara Gojek masih mentok di posisi 10 miliar dolar AS. Klaim Grab semakin valid karena mereka beroperasi di kawasan yang lebih luas.
Di sisi lain, Gojek juga punya dasar kuat mengklaim diri berposisi lebih tinggi daripada Grab. Meski Indonesia adalah kue pasar terbesar bagi kedua perusahaan, bagaimanapun, Gojek adalah tuan rumahnya. Fakta bahwa pendiri Gojek Nadiem Makarim kini berstatus “orang istana” juga bikin Gojek pede.
Sepelik apapun situasinya, Suckling menggarisbawahi bahwa peluang Gojek dan Grab untuk merger tetap terbuka. Presedennya adalah kasus merger dua perusahaan transportasi daring asal Cina Didi Dache dan Kuaidi Dache pada 2015 silam.
“Pada 2020 ini, akan ada lebih banyak pertimbangan di antara para investor. Bila mereka berhasil menemukan jalan menuju kesepakatan, soal skala keuntungan dan potensi menghindari kompetisi di negara lain, secara bisnis perjanjian ini tergolong menguntungkan kedua pihak,” kata Suckling.
Irisan Gojek dan Grab
Terlepas dari kondisi krisis, merger antara Gojek dan Grab juga dimungkinkan sebab kedekatan kedua perusahaan dalam beberapa hal. Salah satunya tercermin dari segi pendanaan.
Grab tercatat sebagai salah satu perusahaan yang didanai Mitsubishi UFJ Financial Group Bank (MUFG Bank). Bersama perusahaan teknologi TIS, lembaga perbankan asal Jepang tersebut menyuntikkan modal kepada Grab pada Februari 2020. Nilai investasi gabungan itu mencapai 856 juta dolar AS.
MUFG Bank adalah anak usaha milik grup konglomerasi Mitsubishi UFJ Financial Group Inc. (MUFG). Uniknya, di saat bersamaan MUFG tercatat menanamkan modal mereka di Gojek.
Investasi MUFG di Gojek tercatat sudah dilakukan dua kali. Investasi pertama terjadi dalam putaran pendanaan seri F yang diumumkan secara resmi pada Februari 2019. Dalam putaran pendanaan ini, mereka datang bersama nama besar lain macam Google, JD.com, Tencent, hingga Provident Capital.
Kemudian, pada 8 Juli 2019, MUFG melakukan investasi keduanya. Mereka menyuntikkan modal tambahan lewat anak usahanya yang lain, Mitsubishi UFJ Lease and Finance. Perusahaan ini masuk dalam putaran pendanaan seri F bersama dua lini bisnis lain yang juga terafiliasi dengan Mitsubishi, yakni Mitsubishi Motors Corporation dan Mitsubishi Corporation.
Sayangnya, baik pihak MUFG maupun Gojek tak mempublikasikan secara resmi rincian nominal kedua investasi tersebut.
“Mitsubishi UFJ Lease & Finance serta Gojek akan memperkuat kerja sama dan menjajaki berbagai model bisnis baru yang menitikberatkan pada sektor digital dan mobilitas,” kata Presiden Mitsubishi UFJ Lease & Finance Takahiro Yanai.
Nuansa kedekatan antara Gojek dan Grab juga tampak dari latar belakang pendiri kedua perusahaan. Nadiem Makarim merupakan kawan dua pendiri Grab Anthony Tan dan Tan Hooi Ling. Mereka bertiga sempat berada dalam satu kelas yang sama saat mengejar gelar Master of Business Administration (MBA) di Harvard Business School pada kurun 2009-2011.
Indra Wibawa dalam Era Bisnis Online: Underdog vs Raksasa Bisnis (2019, hlm. 62) mencatat bahwa Nadiem mulai merintis Gojek pada 13 Oktober 2010, saat masih berstatus sebagai mahasiswa S2. Dia memulai bisnis bermodalkan sekitar 20 mitra pengemudi ojek yang berkomunikasi dengan pelanggan lewat panggilan telepon. Seluruh pengemudi berbasis di Jakarta.
“Nadiem mendapat inspirasi dari pengalamannya sendiri,” demikian Indra mencatat. “Menurutnya, tukang ojek banyak kehilangan waktu untuk menunggu penumpang di pangkalan.”
Seperti terarsip dalam laman alumni Harvard Business School, Nadiem baru benar-benar mengembangkan Gojek sebagai layanan transportasi berbasis aplikasi dan berskala nasional pada 2011.
Keputusan ini dilatarbelakangi pengetahuan yang dia dapat beberapa bulan setelah lulus. Waktu itu, Nadiem sempat bekerja sebagai Kepala Divisi Indonesia untuk Rocket Internet. Lalu, pada 2012, perusahaan investasi teknologi asal Jerman ini mengikuti langkah Nadiem merambah ke transportasi daring dengan mendanai startup asal Brazil, Easy Taxi.
Sementara itu, Anthony Tan dan Tan Hooi Ling membangun embrio Grab dengan pendirian aplikasi MyTeksi pada 2012. Berbeda dengan Nadiem yang mengawali Gojek dengan basis ojek, MyTeksi meluncur di Malaysia dengan menjual jasa transportasi kendaraan roda empat sebagai produk perdananya.
Meski sempat gagal berkembang karena rendahnya kepercayaan orang Malaysia terhadap taksi, reputasi MyTeksi yang menjelma jadi Grab mulai meroket pada 2015. Kala itu, Grab melakukan manuver bisnis dengan merambah jasa ojek. Di saat hampir bersamaan, perusahaan juga mendapat lebih banyak pendanaan dan semakin getol berekspansi ke negara-negara lain di Asia Tenggara. Di Indonesia, mereka sudah beroperasi sejak 2014.
Rivalitas Toksik
Nadiem dan duo pendiri Grab barangkali punya hubungan pertemanan. Namun, secara bisnis hubungan mereka tampak keruh. Bak pertemanan beracun, tak jarang mereka terlibat main sindir dari belakang.
Saat Grab mulai merambah jasa ojek, Nadiem menyebut Grab sebagai tukang contek. Dia juga meluncurkan serangan terhadap pendanaan besar yang didapat Grab.
“Layanan yang dari Malaysia itu, GrabBike, hanya bisa meniru. Bahkan warna helm dan jaketnya sama seperti kami,” kata Nadiem kepada CNN Indonesia. “Kami akan jadi leader meskipun mereka mendapat pendanaan besar.”
Anthony Tan, di sisi lain, jarang berkomentar pedas. Namun, sikapnya terhadap Nadiem cenderung dingin.
Ketika diwawancarai wartawan Kompas pada awal 2016, Anthony mengalihkan topik saat ditanyai soal perkembangan hubungannya dengan Nadiem. Anthony menjawab bahwa sahabat terbaiknya adalah Tan Hooi Ling.
“Kami ini [saya dan Hooi] sahabat sejati, sahabat Grab sejati,” kata Anthony.
Dua tahun terakhir, tensi panas antara kedua bos itu justru sering didinginkan oleh bawahan-bawahan mereka. Akun Twitter resmi Gojek dan Grab tak jarang saling sindir secara jenaka. Contoh lain, Grab Indonesia memberikan ucapan selamat kepada Nadiem saat Presiden Jokowi mengangkatnya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada 23 Oktober 2019.
“Sebagai sosok inspiratif bagi kaum muda Indonesia, kami percaya beliau akan membawa pemikiran inovatif dan ide-ide segar untuk meningkatkan sistem pendidikan Indonesia," kata Presiden Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata sebagaimana dikutip Kumparan.
Tensi panas di antara para jebolan Harvard itu, barangkali, akan semakin redam bila Gojek dan Grab benar melakukan merger kelak.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi