tirto.id - Suatu malam di musim dingin 2014. Usai dilanda badai salju tak berkesudahan seminggu sebelumnya dan Natal hanya tinggal hitungan hari, jalanan di kota Portland, Oregon, Amerika Serikat carut-marut, macet tak karuan dipenuhi kendaraan yang bergegas sampai ke rumah masing-masing.
Di tengah situasi yang membuat orang-orang berpikir ulang untuk menggunakan jalan, beberapa petugas Portland Bureau of Transportation memesan taksi melalui Uber. Mereka diperintahkan oleh Walikota Charlie Hales untuk menangkapi sopir-sopir yang mengendarainya.
Uber, aplikasi ridesourcing (mobility service provider/ride-hailing/ride-sharing/taksi-ojek online) yang tengah naik daun popularitasnya, didirikan oleh Travis Kalanick pada 2009. Ia percaya teknologi dapat dimanfaatkan untuk melakukan perubahan.
Perubahan yang dimaksud, sebagaimana dipaparkan Mike Isaac dalam Super Pumped: The Battle for Uber (2019), adalah meningkatkan kehidupan masyarakat, yakni dengan membuat layanan yang lebih efisien. Bagi Kalanick, Uber adalah layanan berbasis teknologi yang mampu memberikan moda transportasi yang lebih efisien, yakni menghubungkan taksi pada penggunanya langsung dari titik keberangkatan menuju tujuan dengan tarif yang transparan, informasi pengendara dan rute yang jelas, serta mudah digunakan. Keunggulan-keunggulan ini mengalahkan transportasi publik ala negara yang korup dan asal jalan.
Sadar bahwa Uber memberikan layanan transportasi yang lebih baik, pemerintah sesungguhnya tak masalah dengan keberadaan aplikasi ini. Namun, selain menghubungkan masyarakat dengan taksi-taksi yang telah meregistrasi diri ke pemerintah, Uber juga menghadirkan layanan bernama UberX. Suatu layanan yang memungkinkan siapapun, tak harus memiliki lisensi negara sebagai sopir taksi, menjadi pengendara Uber. Singkat cerita, Uber memelopori sopir-sopir gelap (kendaraan plat hitam) untuk mengangkut penumpang secara terang-terangan.
Charlie Hales yang didukung perusahaan taksi raksasa untuk merengkuh kursi walikota, tak terima dengan kenyataan itu. Di sisi lain, Kalanick, yang memperoleh perlakuan serupa di hampir setiap kota yang hendak menghadirkan Uber, masa bodoh dengan penolakan sang Walikota.
Untuk melawan penolakan ini, saat Uber merilis layanannya di Portland, Kalanick mempersenjatai diri dengan Grayball. Suatu algoritma spesial yang diracik anak-anak muda Silicon Valley dengan dukungan mantan petugas CIA, NSA, dan FBI yang direkrut Uber guna memata-matai dan menandai secara digital orang-orang seperti Hales dan anak buahnya. Maka, tatkala para petugas Portland Bureau of Transportation memesan Uber untuk menangkapi sopir-sopirnya, aplikasi Uber yang ter-install di ponsel para petugas tak merespons permintaan mereka.
Taksi-taksi Uber, baik yang dikemudikan pengemudi berlisensi ataupun tidak, melenggang mulus di jalanan tanpa tersentuh Portland Bureau of Transportation. Uber berhasil mendisrupsi transportasi Portland--juga Amerika Serikat. Keberhasilan yang mungkin menginspirasi Cheng Wei, mantan pegawai Alibaba, mendisrupsi dunia transportasi Cina melalui aplikasi buatannya, Didi Chuxing. Namun, karena Cina berbeda dengan AS, Didi Chuxing justru dipecundangi negara.
Kisah Sukses
Cheng Wei lahir pada 1983 di Jiangxi, kota di Cina bagian timur yang terkenal sebagai tempat lahirnya revolusi komunis ala Mao Zedong. Ibunya adalah guru matematika, maka tak heran jika dia menyukai hitung-hitungan sejak dini. Namun, meskipun cerdas di bidang matematika sepanjang sekolah menengah, dia gagal masuk ke perguruan tinggi bergengsi gara-gara lalai membalik kertas ujian hingga tiga soal terakhir kosong tanpa jawaban. Di tengah keputusasaannya karena tak dapat masuk universitas terbaik, dia memilih berlabuh di University of Chemical Technology. Menimba ilmu di bidang teknologi informasi, lalu membelot untuk belajar manajemen bisnis.
Untuk memperdalam pengetahuannya soal bisnis sekaligus memperoleh uang, Cheng bekerja sebagai agen asuransi. Namun, sebagaimana dipaparkan Brad Stone dalam "Uber Slayer: How China’s Didi Beat the Ride-Hailing Superpower" (Bloomberg Businessweek Oktober 2016), tak ada satu pun asuransi yang berhasil dia dijual. Maka, tatkala ia akhirnya lulus kuliah, Cheng memutuskan menjauhi dunia sales, lalu melamar pada perusahaan kesehatan di Shanghai sebagai asisten manajer.
Nahas, usai hijrah dari Jiangxi ke Shanghai karena diterima di perusahaan kesehatan, kenyataan mengejutkannya. Perusahaan kesehatan itu bukanlah perusahaan bonafit, melainkan panti pijat sederhana. Dari keterkejutannya ini, yang ia anggap sebagai jebakan iklan, Cheng terpaksa melamar pada Alibaba, perusahaan yang tengah meraksasa dan sedang butuh tenaga penjual.
Pada 2005, di usianya yang ke-22, Cheng adalah salesman Alibaba, bekerja menjual iklan pada merchant-merchant Alibaba yang membutuhkan.
Meski sempat gagal total menjual asuransi dan tertipu iklan, Cheng ternyata pandai menjual iklan bagi Alibaba. Perlahan, kariernya moncer hingga suatu saat ia menjadi anak buah Wang Gang, salah satu eksekutif Alibaba. Tak lama kemudian, Wang merasa kariernya telah usai di Alibaba. Maka suatu hari pada 2011, Wang mengumpulkan seluruh anak buahnya, termasuk Cheng, untuk bertukar pikiran tentang pembentukan startup atau perusahaan rintisan.
Salah satu anak buahnya berpikir tentang pembentukan aplikasi pendidikan. Anak buah lainnya berpikir tentang ulasan restoran, dekorasi, dan bahkan percaya diri membentuk pesaing Alibaba. Sementara Cheng, karena mengetahui ada sebuah startup di Inggris bernama Hailo (dan Hailo ini terinspirasi Uber) yang menjajakan taksi resmi pada masyarakan melalui aplikasi, memunculkan ide pembentukan aplikasi taksi online.
Tahun berlalu, pada 2012, dibantu dana senilai 800.000 yuan (sekitar Rp2 miliar) dari tabungan Wang sebagai eksekutif Alibaba, Cheng mendirikan Didi Dache, Hailo (atau Uber atau Gojek) ala Cina. Dia memilih Shenzhen, kota di mana pabrik iPhone berada, sebagai tempat pertama yang hendak ditaklukkannya.
Memiliki modal awal yang cukup besar, Didi Dache agresif mendulang penumpang dan pengemudi. Subsidi harga pada penumpang dan bonus pada pengemudi jadi ramuan yang diterapkan. Perlahan, ramuan ini menghasilkan kesuksesan, yakni pertumbuhan eksponensial, hingga membuat Apple, Alibaba, Booking, Softbank, dan Tencent kepincut dan berinvestasi besar-besaran.
Didukung dengan dana melimpah, Didi mengokupasi pesaing lokalnya sesama taksi online, Kuaidi, dan melakukan branding ulang menjadi Didi Chuxing. Kekuatan Cina membentuk The Great Firewall of China yang membuat perusahaan-perusahaan asing sukar mendulang kesuksesan di Negeri Tirai Bambu, menjadikan operasional Cina milik Uber pun akhirnya dibeli Didi.
Dukungan reformasi transportasi publik Cina pada 2016 yang mengizinkan pembentukan bisnis taksi oleh masyarakat umum, membuat Didi Chuxing tak hanya menyajikan taksi berlisensi, tetapi juga taksi plat hitam dari masyarakat umum. Perlahan, Didi meraksasa, melayani 480 juta ride-hailing per 2017 dalam operasionalnya di 400 kota di Cina. Didi yang memiliki 21 juta pengemudi, akhirnya menjadi penguasa 94,6 persen pasar transportasi online di Cina.
Kesuksesan Didi Chuxing tak hanya subsidi yang diberikan kepada penggunanya. Menurut Julie Yujie Chen, peneliti pada The Centre for Chinese Media and Comparative Communication Research, Hong Kong dalam studi berjudul "Digital Utility: Datafication, Regulation, Labor, and Didi's Platformization of Urban Transport in China" (Chinese Journal of Communication 2019), salah satu kunci utama kesuksesan Didi Chuxing adalah pemanfaatan data.
Memanfaatkan aplikasi yang ter-install pada ponsel milik para pengemudi dan penumpang, membuat perusahaan ini mendulang 106 terabyte data dari berbagai sensor yang terpasang di ponsel untuk menguatkan layanan. Melalui besarnya data yang dikumpulkan ini, Didi Chuxing berhasil menciptakan Didi Traffic dan Tides, algoritma yang dapat memetakan lalu-lintas segala penjuru kota di Cina untuk menentukan ke mana para sopir Didi harus pergi dan memperoleh penumpang. Melalui algoritma ini juga penentuan besar-kecilnya tarif per kilometer ditentukan.
Singkatnya, Didi Traffic dan Tides menjadi senjata utama Didi Chuxing untuk menyeimbangkan permintaan-penawaran.
Dihantam Negara
Besarnya data yang didulang Didi dari para pengemudi/pengguna tak hanya digunakan necara permintaan-penawaran, tetapi juga seperti kisah Uber mempecundangi Portland Bureau of Transportation, melakukan aksi mata-mata pada pengguna/pengemudi. Di sisi pengemudi, misalnya, Didi dapat seketika memblokir akses pengemudinya gara-gara sensor yang terpasang pada ponsel mendeteksi kecepatan yang berlebihan.
Melalui data yang mereka kumpulkan, pada 2015 Didi ketahuan mem-profiling pegawai-pegawai dari berbagai Kementerian di Cina. Menciptakan database tentang tingkah laku perjalanan pegawai-pegawai negeri itu.
Beruntung bagi Cheng, meskipun ketahuan melakukan aksi profiling pada pegawai negeri dan masyarakat umum, startup-nya selamat dari hukuman. Namun, keberuntungan tersebut tak berlaku selamanya. Dua hari usai melakukan aksi korporasi penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) pada 30 Juni 2021, pemerintahan Xi Jinping mengusir Didi dari pasar aplikasi, entah Google Play ataupun Apple App Store, dan melarang pengguna/pengemudi baru bergabung dengan alasan melanggar hukum proteksi data nasional.
Kecuali pemerintah Cina, tidak ada yang tahu pasti kelakuan Didi yang mana yang dianggap melanggar hukum proteksi data nasional hingga akhirnya diblokir oleh Beijing. Namun, sebagaimana dilaporkan Raymond Zong untuk The New York Times, IPO yang dilakukan Didi menjadi sebabnya.
IPO dan segala transaksi saham setelahnya, dilakukan di New York, AS, bukan di Cina. Beijing khawatir apabila aksi membuka diri ke publik itu dilakukan di AS, data-data pengguna/pengemudi juga akan ditempatkan di sana, bukan di dalam negeri. Terlebih dengan rekam jejak Didi yang pernah melakukan aksi mata-mata pada para pegawai negeri. Bagi Cina, menempatkan data di luar negeri adalah bencana.
Kemungkinan lain, seperti kisah Cina memblokir IPO Alipay (anak usaha Alibaba yang bergerak di bidang teknologi finansial), Beijing ingin menunjukkan bahwa merekalah yang berkuasa, bukan raksasa-raksasa swasta.
Editor: Irfan Teguh Pribadi