tirto.id - Kamis malam yang mengawali libur panjang akhir pekan lalu, perjalanan di Tol Cipularang yang menautkan Jakarta dan Bandung macet luar biasa. Garis berwarna merah menyala di aplikasi Google Maps jadi petunjuk dini keadaan Tol Cipularang bagi siapa saja yang membuka aplikasi saat itu.
Sadar tak sadar, garis berwarna merah yang menjadi pertanda pada jalur di Google Maps adalah sekumpulan data yang dimiliki Google. Mulai data dari pencitraan satelit, berbagai sensor yang dipasang di jalanan, hingga input para pengguna Google Maps yang dideteksi oleh Google melalui GPS yang diaktifkan pada ponsel pintar pengguna. Untuk skala yang lebih luas, Anda tentu sering kan menerima notifikasi dari Google yang meminta Anda mereview kondisi jalanan yang Anda lewati? Secara sederhana, itulah yang disebut sebagai big data.
Big data adalah kumpulan data atau informasi dalam jumlah yang sangat besar dan memiliki jenis yang beragam. Situsweb apa yang Anda kunjungi, apa yang Anda klik, berapa lama Anda berkunjung di sebuh situsweb, kemana Anda mengetik tujuan melalui Google Maps, apa yang Anda beli via situs jual-beli Online, dari mana ke mana saat Anda bepergian menggunakan Go-Jek atau Uber, apa saja Aplikasi yang terinstall di ponsel pintar.
Selain itu, apa pun yang Anda posting di Facebook atau Twitter, di mana saja Anda tag-lokasi, dan berapa banyak foto selfie yang Anda upload ke Instagram merupakan hal-hal yang kita anggap remeh temeh adalah informasi yang berguna bagi big data. Ini menentukan pola bagaimana Anda hidup di dunia serba digital saat ini. Manusia modern yang hidup hari ini dalam bayang-bayang internet, merupakan “responden” bagi perusahaan-perusahaan teknologi untuk menjaring data.
Dalam dunia WWW atau world wide web, big data telah sangat kuat mengakar, misalnya saat seseorang berpindah dari situsweb satu ke situsweb lainnya dengan tema-tema teknologi. Dengan mengumpulkan data kebiasaan tersebut, Google, yang telah menempatkan jaring datanya di hampir semua situsweb di seluruh dunia, memperoleh kesimpulan terhadap Anda: apakah Anda, orang yang suka dengan dunia teknologi atau yang lainnya. Kesimpulan tersebut, bisa Google “jual” pada calon pengiklannya yang ingin memasarkan produk-produk pelbagai teknologi.
Kemudian, saat Anda berkunjung ke situs apapun, melalui sistem iklan Google Adsense yang ada hampir semua situsweb, Google akan menampilkan iklan berbau teknologi tepat di depan mata Anda. Lagi-lagi, itulah big data. Sebagaimana diungkapkan oleh Andrew McAfee dalam tulisannya berjudul “Big Data: The Management Revolution” mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang signifikan jika kita merujuk big data.
Pertama adalah Volume. Big data adalah buah dari revolusi digital yang saat ini sedang melanda dunia. Di 2012, McAfee mengungkapkan bahwa tercipta 2,5 exabytes setiap harinya. Setiap 40 bulan, angka tersebut meningkat dua kali lipat. Sebagai contoh, salah satu perusahaan retail yang menghasilkan data dalam jumlah yang besar adalah Walmart. Perusahaan tersebut menghasilkan 2,5 petabyte setiap jam dari para pelanggannya. Dengan data yang besar tersebut, Walmart bisa menganalisis tingkah laku belanja pelanggannya dengan lebih baik.
Kedua adalah Velocity. McAfee mengungkapkan, kecepatan mampu membuat peluang bagi perusahaan untuk memenangkan persaingan dengan lebih baik daripada saingannya. Big data, selain menyajikan data atau informasi yang besar, ia harus pula memberikan analisis yang cepat. Misalnya pekan lalu ada libur Paskah, minggu depan kita dihadapkan dengan Isra Mi’raj, dan minggu depannya lagi akan ada perayaan hari buruh. Program yang menarik apa yang harus diluncurkan toko online dalam menghadapi tiga akhir pekan panjang tersebut? Big data dengan sifat velocity, mampu mengatasi permasalahan ini.
Ketiga adalah Variety. Maps, seperti disinggung di awal tulisan ini adalah contohnya. Informasi mulai dari pencitraan satelit, berbagai sensor di jalanan, dan review pengguna adalah ragam informasi atau data yang wajib dimiliki big data. McAfee mengungkapkan, dengan menggunakan big data dalam pengambilan keputusan, perusahaan-perusahaan yang mengisi posisi tiga besar dalam berbagai industri, mengungkapkan bahwa mereka 5 persen lebih produktif dan 6 persen lebih menguntungkan daripada kompetitor yang tidak memanfaatkan big data. Big data, dapat diimplementasikan ke segala bidang. Termasuk juga di pendidikan.
Georgia State’s Nursing School misalnya, memanfaatkan big data untuk menganalisis mahasiswa mereka. Hasilnya sebagaimana diungkapkan Timothy M. Renick, pembantu Rektor universitas tersebut mengatakan “Kamu (mahasiswa) boleh mendapatkan nilai C atau A dalam kelas merawat dan (kamu) akan tetap sukses (melanjutkan kuliah).” Ia lantas melanjutkan, “tapi jika kami memperoleh angka yang rendah di pelajaran matematika, saat menjadi mahasiswa junior maupun senior, kamu melakukan sesuatu yang celaka.”
Analisis big data yang dilakukan universitas tersebut mengungkapkan bahwa terdapat kurang dari 10 persen mahasiswa keperawatan dengan nilai C pada kelas matematika yaang kemudian lulus di kampus tersebut. Bandingkan dengan sekitar 80 persen mahasiswa keperawatan di kampus tersebut yang pada akhirnya lulus dengan paling tidak memperoleh nilai B+ pada pelajaran Aljabar dan Statistik. Analisis big data mengungkapkan bahwa, matematika sangat berpengaruh terhadap mata kuliah seperti biologi, mikrobiologi, psikologi, dan farmatologi yang harus dihadapi oleh mahasiswa kampus tersebut.
Georgia State merupakan salah satu kampus yang memanfaatkan big data untuk menganalisis kemungkinan seorang mahasiswa akan drop-out atau gagal kuliah di kemudian hari. Dengan analisis big data, pihak kampus akan menyiapkan penasihat yang memberikan kiat-kiat agar mahasiswa mereka bisa bertahan dan sukses di kemudian hari.
Analisis big data pun bisa dimanfaatkan untuk menentukan apakah seorang mahasiswa salah mengambil jurusan atau tidak. Dr. Renick mengungkapkan, “ketika Amazon melihat buku apa yang kamu pilih dan (Amazon) membuat prediksi buku apa yang kemungkinan kamu sukai, (prediksi tersebut) tidak membutuhkan mengapa kamu menyukai buku ketiga.” Ia melanjutkan, “Big data kami tidak memerlukan secara pasti mengapa mahasiswa memperoleh nilai yang jelek. Hal tersebut terjadi ribuan dan ribuan kali. Kami melihat pola.”
Big data tidak perlu mencari jawaban mengapa si mahasiswa memperoleh nilai yang jelek. Ia hanya menangkap pola si mahasiswa, lalu membandingkannya dengan mahasiswa lain yang memiliki pola yang mirip. Kemudian, hasil analisis big data berikan untuk memberikan masukan. Big data diprediksi akan kian populer digunakan, terutama oleh perusahaan-perusahaan yang ingin jauh lebih mengerti pelanggannya. Sebanyak 78 persen perusahaan setuju bahwa koleksi dana dan analisis yang dilakukan big data akan berpotensi mengubah bagaimana bisnis berjalan secara fundamental.
Big data, diyakini 55 persen perusahaan akan meningkatkan relasi dengan pelanggan mereka. Selanjutnya, 53 persen setuju bahwa jalannya bisnis akan lebih menonjolkan data. Dengan berbagai manfaat tersebut, big data dan aplikasi analisis bisnis di seluruh dunia akan tumbuh dari $122 miliar di 2015 menjadi $187 miliar di 2019.
Garis merah yang ada dalam Google Maps merupakan contoh sederhana bagaimana data yang besar, real-time, dan dihadirkan secara cepat. Ini jelas bermanfaat bagi Google untuk “mengunci” loyalitas pengguna memanfaatkan aplikasi Google Maps. Big data tak hanya memberikan data yang besar tapi ia juga memberikan jawaban untuk memahami banyak hal dari serpihan-serpihan yang paling kecil.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra