tirto.id - Satu hari pada Juni 2017, Travis Kalanick sedang berada di sebuah hotel di Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Lokasi hotel yang jaraknya terpaut 3.500 km jauhnya dari markas besar Uber, perusahaan yang dipimpinnya di San Francisco.
Ia hendak melakukan wawancara calon anggota eksekutif baru perusahaan. Awalnya, semua berjalan lancar. Hingga saat momen Matt Cohler dan Peter Fenton muncul dalam sesi pertemuan itu. Cohler dan Fenton adalah para pemodal Uber.
Kedua orang itu membawa sepucuk surat yang berisi daftar tuntutan dari lima pemodal utama Uber. Di ujung tuntutan, ada keputusan agar Kalanick legowo meninggalkan pucuk pimpinan Uber saat itu. Apa reaksi Kalanick?
Baca juga:Anak Haram Uber
Kalanick, yang sukses menyulap startup kecil menjadi raksasa teknologi dalam waktu delapan tahun, tentu menolak mentah-mentah segala tuntutan, apalagi soal permintaan mundur. Ia kemudian menghubungi Arianna Huffington, anggota dewan eksekutif Uber untuk meminta pendapat. Sial tak dapat ditolak Kalanick, alih-alih mendukungnya agar tetap bertahan sebagai pemimpin Uber, Huffington malah meminta Kalanick memikirkan soal surat itu.
Kejadian yang terjadi di sebuah kamar yang tertutup, yang hanya ada Kalanick dan dua pemodal Uber itu, berakhir dengan persetujuan pengunduran diri Kalanick meninggalkan kursi empuk sebagai Chief Executive Officer (CEO) Uber.
“Saya mencintai Uber lebih dari apapun di dunia ini, dan di saat yang menyulitkan dalam hidup saya ini, saya menerima keputusan investor untuk mundur yang akan membuat Uber kemudian mampu membangun dirinya daripada harus terganggu oleh pertarungan mempertahankan idealisme saya,” ucap Kalanick sebagaimana diwartakan The New York Times.
Kalanick, yang dipecat oleh perusahaan yang diasuhnya, seolah mengingatkan peristiwa serupa yang menimpa Steve Jobs kala dipecat Apple. Di dunia startup teknologi kisah Travis Kalanick penuh intrik, dan konflik.
Kalanick lahir di Los Angeles, Amerika Serikat pada Agustus 1976. Ia tumbuh dan berkembang di sebuah wilayah suburban Nortridge, California. Ayah dan ibunya, Donald Edward Kalanick dan Bonnie Horowitz Kalanick, merupakan sosok pekerja keras. Donald merupakan seorang teknisi, sementara Bonnie merupakan seorang pekerja pada perusahaan periklanan. Kemampuan ibunya menjual slot iklan, menurun pada pribadi Kalanick.
Warisan kemampuan sang ibu pada Kalanick dibuktikannya kala ia lebih memilih berjualan pisau bikinan sebuah perusahaan bernama Cutco saat libur musim panas sekolah daripada mengikuti gaya liburan teman-temannya yang memilih bersenang-senang. Menjalani bisnis kontras dengan keinginan Kalanick menjadi seorang agen mata-mata saat masa kecil.
Di masa kecil, Kalanick merupakan sosok berperawakan kurus. Meskipun kurus ia diketahui memiliki kemampuan baik di sekolah. Paduan kurus dan pintar, sayangnya, merupakan makanan renyah bagi sosok-sosok jagoan sekolah. Kalanick kecil, kerap mengalami perundungan. Ini menjadi salah satu alasan lain mengapa ia terlihat tak membaur dengan teman-temannya dan lebih memilih berjualan pisau.
Saat Kalanick menginjak usia 18 tahun, ia mulai melangkah lebih jauh. Kalanick mendirikan sebuah usaha bimbingan persiapan SAT (Scholastic Assessment Test) yang dinamai New Way Academy. Ini jadi bukti keunggulannya di bidang pendidikan dan kecemerlangan otak bisnisnya.
Selepas New Way Academy, pada 1998, Kalanick mendirikan perusahaan barunya bernama Scour, suatu startup layanan berbagi file seperti Napster. Ia mendirikan Scour selepas memutuskan drop-out (DO) dari University of California Los Angeles jurusan teknik komputer. Sayangnya, Scour serupa Napster yang penuh kontroversi karena sering dimanfaatkan untuk berbagai file ilegal. Ia kemudian memutuskan mempailitkan Scour demi menghindari tuntutan denda yang sangat tinggi.
Kalanick bukan sosok yang mudah menyerah. Pada 2001, ia mendirikan Red Swoosh, startup software as services yang menciptakan teknologi transfer file berukuran besar dengan efisien. Turun-naik pertumbuhan dilalui perusahaan rintisannya. Pada 2006, Kalanick beserta rekannya pernah pindah ke Thailand guna menghemat biaya operasional perusahaan. Keputusan itu membuat Kalanick dan rekannya di Red Swoosh berbuah manis. Pada 2007, startup bikinannya tersebut dibeli Akamai, perusahaan penyedia layanan cloud, dengan harga $19 juta. Ini membuat Kalanick berubah status sosialnya sebagai anak muda dengan uang jutaan dolar.
Dengan bermodal dari menjual Red Swoosh, Kalanick menciptakan salah satu startup paling berpengaruh di dunia. Sean Stanton, rekan Kalanick di Red Swoosh, pernah menyampaikan sebuah penggalan kisah inspiratif pada The New York Times bahwa Red Swoosh, “merupakan tentang efisiensi. Itu merupakan jalan pikiran kusut di otaknya (Travis Kalanick). Dan (Red Swoosh dahulu) berjalan serupa dengan kerja Uber yang kita lihat sekarang.”
Membangun Uber
Dalam permainan kartu yang berlangsung sepuluh kali, hanya orang paling sial yang mengalami kekalahan di semua babak permainan. Setidaknya, satu babak kemenangan akan menghinggapi para pemain yang kurang beruntung. Uber, yang berdiri pada 2010, merupakan satu babak kemenangan gemilang dalam hidup Travis Kalanick.
Khalayak umum mengenal Uber, sebagai aplikasi ride-sharing yang mendunia dan menjadi sumbu kontroversi hingga mendisrupsi bisnis transportasi konvensional. Uber memang sebegitu dekat dengan sosok Kalanick. Namun, sesungguhnya Kalanick bukan pencipta orsinil Uber.
Ide aplikasi Uber muncul dari otak sahabat Kalanick bernama Garrett Camp pada 2009. Camp yang tinggal San Fransisco, mencurahkan ide tentang aplikasi Uber atas kesulitannya memperoleh taksi di kota itu. Kemudian, Camp, bersama-sama dengan sahabat lainnya bernama Oscar Salazar dan Conrad Whelan, menciptakan versi pertama Uber yang kala itu dinamai UberCab.
UberCab kemudian dirilis pada Mei 2010. Menggunakan iPhone, para pengguna aplikasi UberCab dapat memperoleh "taksi hitam" dengan mudah. Dalam UberCab, Kalanick mengaku sebagai “penasihat super,” dan kemudian berganti menjadi “kepala inkubator,” alih-alih mengaku sebagai “founder.”
Pilihan menjadi “penasihat super” maupun “kepala inkubator” memang bukanlah hal yang mengherankan kala itu. Di awal berdirinya Uber, Kalanick mengaku ingin lepas dari kehidupan startup. Dengan modal uang dari penjualan Red Swoosh, Kalanick memang ingin memposisikan menjadi pemberi modal. Di awal berdirinya Uber, Kalanick menunjuk Ryan Graves sebagai CEO. Sayangnya, pikiran Kalanick kemudian berubah. Kalanick, mengambil alih gelar CEO dengan mudah dari tangan Graves.
Posisi CEO yang dipegang Kalanick, perlahan Uber menjadi perusahaan teknologi yang fenomena. Ia merupakan startup yang sukses memperoleh pendanaan senilai $14 miliar dari kemunculan Uber pada 2010 hingga waktu pemecatan Kalanick Juni 2017. Di 2015 nilai valuasi Uber mencapai angka $50 miliar. Di pertengahan tahun ini, valuasi Uber berada di angka $70 miliar.
Baca juga:Mereka Yang Untuk Besar Dengan Uber
Capaian Kalanick di Uber, membawanya sebagai sosok yang sangat dikagumi. Pada 2015 majalah Time mengganjar Kalanick sebagai sosok paling berpengaruh keenam di dunia. Ia mewakili sosok perusahaan teknologi di tengah tokoh-tokoh politik seperti Angela Merkel, Vladimir Putin, Hassan Rouhani, Donald Trump, hingga Abu Bakr al-Baghdadi.
Sayangnya, di balik kesuksesan Kalanick mengendalikan Uber selama bertahun-tahun, ada harga yang sangat mahal yang mesti ia tebus. Serangkaian kontroversi kepemimpinannya di Uber, telah membahayakan diri Kalanick dan Uber.
Dalam laporan investigasi yang dilakukan The New York Times, 50-an mantan pekerja Uber mengatakan bahwa Kalanick, mendorong dengan keras para pekerjanya untuk selalu menjadi pemenang bagi Uber, dengan harga berapapun.
Dorongan ini menjadi salah satu cikal kecurangan Uber pada ekosistem iPhone milik Apple. Uber, dalam rangka memenangkan kompetisi dengan para pesaingnya, sengaja memata-matai pengguna aplikasinya, bahkan kala aplikasi Uber telah dihapus.
Kalanick pernah berhadapan dengan Tim Cook, sang bos Apple pada medio 2015 lalu untuk menyelesaikan perkara ini. Kalanick, yang sadar bahwa hidupnya menumpang pada ekosistem ciptaan Apple, mengalah pada Cook. Kalanick pun menciptakan sistem manipulasi psikologis agar para drivernya, yang bukan merupakan karyawan Uber, bekerja sangat keras untuk selalu menerima penumpang.
Selain berseteru dengan Apple, Uber secara umum memang selalu menjadi buruan pemerintah di berbagai negara. Ini terjadi karena Uber sukses mendisrupsi kehidupan konvensional masyarakat, terutama terkait transportasi daring. Perkembangan uber, membuat aksi-taksi konvensional mengalami masa paling buruknya dalam sejarah bisnis mereka.
Baca juga: Nasib Express dan Blue Bird Setelah Dilibas Transportasi Online
Guna menghindar dari "tembok" besar yang menghalangi bisnis mereka di banyak negara, Uber menciptakan sebuah teknologi bernama Greyball, sebuah teknologi yang masuk pada bagian “violation of terms of service.”
Grayball merupakan suatu sistem identifikasi berbasis data. Data yang diproses berasal dari aplikasi Uber sendiri maupun dari sumber lainnya. Grayball digunakan untuk mengidentifikasi aparat penegak hukum suatu negara, yang terkait kebijakan moda transportasi, dan lantas menghindarkan pejabat tersebut menggunakan aplikasi Uber.
Selain itu, Grayball mampu membuat driver Uber dengan cepat bisa membatalkan pesanan aparat. Ini membuat sulit para aparat yang berkepentingan dengan kebijakan transportasi membuktikan ulah Uber. Uber memanfaatkan Grayball di 70 negara dalam radar bisnisnya.
Baca juga:Dugaan Suap Uber dan Cara AS Berantas Korupsi
Namun, atas segala prestasi dan kontroversinya bersama Uber, Kalanick pun kini harus menyerah. Ia tak bisa lagi memimpin perusahaan yang begitu besar yang sangat mungkin berada di luar imajinya.
Kisah Steve Jobs yang sempat dipecat dari perusahaan yang dibangunnya, tapi di kemudian hari Jobs berhasil kembali memimpin Apple. Apakah Kalanick dengan segala kontroversi dan Uber yang dibangunnya, pergi untuk kembali?
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra