Menuju konten utama

Dugaan Suap Uber dan Memberantas Korupsi ala Amerika

Amerika Serikat punya UU tentang Praktik Korupsi di Luar Negeri (FCPA) untuk mencegah korupsi dalam bisnis internasional.

Dugaan Suap Uber dan Memberantas Korupsi ala Amerika
Pengguna jasa Uber sedang membuka aplikasi Uber. FOTO/REUTERS

tirto.id - Uber sedang menghadapi penyelidikan penegak hukum Amerika Serikat terkait dugaan penyuapan terhadap pejabat pemerintah di Indonesia. Kasus suap terkuak setelah Departemen Kehakiman AS memeriksa laporan keuangan Uber. Mereka mempertanyakan soal aliran dana dari perusahaan ke institusi resmi. Transaksi itu diduga dilakukan guna memuluskan Uber agar tetap beroperasi di Indonesia.

Menurut laporan Bloomberg, aliran dana itu pada dasarnya akan dilaporkan ke Departemen Kehakiman AS , tapi penegak hukum sudah lebih dahulu mencium indikasi transaksi ilegal tersebut. Padahal jika segera dilaporkan, pengadilan AS berpotensi dapat meringankan dugaan pelanggaran terhadap Uber.

Baca juga:

Pihak kepolisian di Indonenesia sempat merespons dan segera melakukan penyelidikan terhadap kasus uni. Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Metro Jaya meminta agar Uber Indonesia segera melaporkan bila memang ada pungutan liar dalam dugaan kasus Uber.

Selain Indonesia, pihak berwenang AS juga menyelidiki donasi Uber yang diberikan kepada Malaysia Global and Creativity Center, sebuah hub entrepreneur yang dikendalikan oleh Pemerintah Malaysia. Di saat yang sama, Kumpulan Wang Persaraan atau pengelola dana pensiun Malaysia menjadi investor Uber dengan mengucurkan dana sebesar 30 juta dolar AS. Selain Indonesia dan Malaysia, praktik sejenis diduga berlangsung di Cina, Inida, dan Korea Selatan.

AS sangat ketat dalam memantau aktivitas bisnis perusahaan-perusahaan mereka yang beroperasi di luar negeri. Semua laporan keuangan perusahaan rutin diperiksa untuk memastikan tak ada transaksi yang melanggar aturan. Pemerintah juga menerbitkan UU Negara AS tentang Praktik Korupsi di Luar Negeri atau The Foreign Corrupt Practices Act (FCPA). UU ini punya dua ketentuan utama yaitu membahas persyaratan transparansi akuntansi berdasarkan Securities Exchange Act tahun 1934 dan mengenai penyuapan pejabat asing.

Baca juga: Pertarungan Grab vs Uber di Asia Tenggara Kian Panas

FCPA sudah diterapkan sejak 1977 dan tak hanya berlaku bagi perusahaan AS yang beroperasi di laur negeri, tapi juga berlaku juga bagi perusahaan asing yang beroperasi di seluruh wilayah Amerika Serikat termasuk perorangan yakni warga negara AS dan warga negara asing.

Dalam UU tersebut pemerintah AS melarang perusahaan atau individu untuk mempengaruhi keputusan pejabat suata negara lain dengan menggunakan sesuatu yang bernilai baik secara langsung maupun tidak langsung. Sesuatu yang bernilai diartikan seperti mobil, perhiasan, biaya perjalanan, uang, saham, dan lainnya.

Selain itu, UU itu juga melarang perusahaan untuk mendorong pemerintah setempat guna melakukan tindakan yang melanggar tugasnya atau mempengaruhi pejabat dalam membuat keputusan guna membantu perusahaan dalam memperoleh atau melindungi bisnis, atau memperoleh keuntungan yang tak semestinya.

Guna menghindari hal-hal di atas, dalam UU tersebut pemerintah AS mewajibkan perusahaan untuk membuat dan menyimpan buku dan catatan yang secara akurat dan wajar mencerminkan transaksi yang dilakukan korporasi serta merancang dan memelihara sistem kontrol akuntansi internal yang memadai. Pemerintah melarang individu dan perusahaan untuk secara sadar memalsukan buku atau catatan transaksi perusahaan.

Apa hukumannya bagi yang melanggar? Mereka yang melanggar dapat dikenai hukuman pidana maupun perdata yang diberlakukan oleh Departemen Kehakiman AS atau Department of Justice (DOJ) dan Securities and Exchange Commission (SEC).

“Penegakan FCPA telah menjadi prioritas DOJ dan SEC selama beberapa dekade sekarang.....," kata Mark Mendelsohn dari Paul Weiss, seorang ahli FCPA.

DOJ adalah lembaga penegak hukum pidana dan bertanggung jawab atas penegakan pidana terkait penyuapan dan pelanggaran yang disengaja. Sedangkan SEC merupakan badan penegak hukum perdata bertanggung jawab untuk mengajukan tuntutan perdata.

Baca juga: Transformasi Uber di Tengah Himpitan Rugi

Sebuah perusahaan dapat diseret dengan hukum pidana dan perdata atau bisa saja hanya hukum pidana, misalnya yang terjadi pada Daimler, produsen mobil asal Jerman yang menaungi Mercedez Benz pada 2010. Perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek AS itu diketahui melakukan praktik suap kepada pejabat pemerintah asing di 22 negara antara lain Cina, Kroatsa, Mesir, Yunani, Hungaria, Indonesia, Irak, Pantai Gading, Latvia, Nigeria, Rusia, Serbia dan Montenegro, Thailand, Turki, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Vietnam.

Daimler diseret secara pidana dan perdata sehingga dan sepakat untuk membayar denda sebesar 93,6 juta dolar AS terkait penyelidikan oleh DOJ dan 91,4 juta dolar AS terkait penanganan perkara oleh SEC.

Daimler hanya contoh saja, belum lama ini, perusahaan biofarmasi yang berbasis di Massachusetts yaitu Aegerion juga sepakat membayar denda 4,1 juta dolar AS setelah adanya penyelidikan oleh SEC dan menemukan perusahaan melakukan penipuan terkait resep obat kepada para pasien pada 2013.

infografik larangan korupsi luar dalam negeri

Di Balik Pembentukan FCPA

Dalam House Report No. 95-640 terkait Praktik Korupsi di Luar Negeri 1977, dijelaskan bawah lebih dari 400 perusahaan mengakui memiliki transaksi ilegal kepada pemerintah asing. Sekitar 117 perusahaan di antaranya biasanya muncul dalam deretan 500 perusahaan terkenal versi Fortune.

Aliran dana dari perusahaan itu kebanyakan ditujukan kepada politisi, pejabat pemerintah dan partai politik. Sehingga pada akhirnya pemerintah AS memutuskan untuk membuat kebijakan untuk mencegah penyuapan yang terjadi di luar negeri pada 1977, sebab saat itu belum ada regulasi skala nasional atau internasional yang mengatur hal itu. Ketentuan ini juga mengacu dari konvensi The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 17 Desember 1997.

Namun bagi AS, tindakan penyuapan akan merusak citra perusahaan serta menjatuhkan harga diri AS di antara warga asing dan negara lain. “Penyuapan korporat juga dapat menciptakan masalah besar bagi kebijakan luar negeri AS,” jelas House Report.

Di Italia pada 1970-an, tuduhan pembayaran oleh Lockheed, Exxon, Mobil Oil, dan perusahaan AS lainnya kepada pejabat Pemerintah Italia mengikis dukungan publik untuk pemerintah. Di Belanda, Pangeran Bernhard dilaporkan menerima sejumlah uang dari perusahaan AS, Lockheed untuk mempengaruhi pembelian jet tempur baru milik pemerintah Belanda.

Hal ini dianggap dapat membahayakan kebijakan luar negeri AS jika berkurangnya dukungan publik terhadap pemerintah setempat terutama yang memiliki kedekatan dengan AS. Pada akhirnya potensi muncul ketidakpercayaan publik terhadap perusahaan dan pemerintah AS di luar negeri. Jika hal ini terjadi, maka AS akan sulit menerapkan kebijakan luar negerinya.

Baca juga: Sengitnya Persaingan Pasca Perkawinan Didi dan Uber

Meski sudah ada payung hukum yang ketat, tapi tindak penyuapan masih tetap terjadi hingga saat ini. Menurut The Balance, penyebabnya karena minimnya pengawasan dari petinggi perusahaan karena jarak yang jauh seiring dengan semakin meluasnya bisnis perusahaan di luar negeri.

Penegakan FCPA yang kini menginjak 40 tahun juga menghadapi kendala karena adanya indikasi pelemahan FCPA oleh Presiden AS Donald Trump. Hal itu karena latar belakangnya sebagai pebisnis dan juga adanya sorotan FCPA pada perusahaan Trump terkait bantuannya dalam pembangunan hotel di Azerbaijan.

Padahal menurut Dmytro Shymkiv, mantan CEO Microsoft di Ukraine “Saya melihat bahwa FCPA adalah cara terbaik untuk memerangi korupsi."

Dapat dipastikan pelemahan lembaga anti-korupsi dapat memberi kebebasan kepada perusahaan dan individu untuk melakukan penyuapan. Ini tentu akan menambah daftar nilai suap secara global yang ditaksir mencapai 1,5 triliun dolar AS per tahun atau setara 2 persen PDB dunia. Bagi Amerika Serikat, mereka juga harus berjuang dalam membenahi persoalan korupsi mereka.

Dalam Corruption Perceptions Index 2016, Negeri Paman Sam itu sebagai negara maju hanya berada di peringkat ke-18 dunia di bawah Hong Kong dan Inggris yang masing-masing menempati posisi ke-15 dan ke-10. Dugaan kasus yang kini sedang dihadapi oleh Uber hanya contoh bagaimana Amerika Serikat sedang mengembalikan kepercayaan publik terhadap integritas dari sistem bisnis orang Amerika dalam jejaring bisnis global.

Baca juga artikel terkait UBER atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Hukum
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra