Menuju konten utama

Transformasi Uber di Tengah Himpitan Rugi

Pekan lalu, Uber dilaporkan mengalami kerugian yang luar biasa besar. Apa yang dialami Uber sudah menjadi hal yang biasa di industri ride-hailing. Namun, di sisi lain hal itu memercik pula pertanyaan akan nasib perusahaan ini di masa depan. Bagaimana Uber, dengan statusnya sebagai perusahaan start-up dengan valuasi tertinggi, akan mengatasi momok yang masih menghantui industri tersebut?

Transformasi Uber di Tengah Himpitan Rugi
Ilustrasi transportasi online Uber. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Jumat pekan lalu boleh dikata bukan hari yang cukup menyenangkan bagi para investor Uber. Head of Finance Uber Gautam Gupta melaporkan kepada para investor performa bisnis dari perusahaan start-up raksasa tersebut pada semester I-2016.

Kerugian Uber melonjak pada kuartal II-2016. Pada kuartal I tahun ini, Uber merugi sekitar $520 juta sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi. Kuartal berikutnya, kerugian Uber melonjak menjadi lebih dari $750 juta.

Secara total, kerugian Uber pada semester I ini tak kurang dari $1,27 miliar.

Bisa ditebak, kerugian tersebut sebagian besar disumbang oleh besarnya subsidi yang Uber berikan kepada para pengemudinya. Hal sama yang terjadi pada start-up ride-hailing lainnya sepert Didi Kuadi di Cina, Grab, bahkan start-up asal Tanah Air, Go-Jek.

Akan tetapi, kerugian tersebut sangat tidak bisa dibandingkan dengan start-up lainnya, sebab jumlahnya sangat masif. Sebagai perbandingan, Amazon.com pernah dikenal dengan strategi bisnis "bakar uang" serupa ketika berusaha meningkatkan nilai pasarnya. Akan tetapi, kerugian terbesar tahunannya "hanyalah" $1,4 milyar yang dialami pada tahun 2000. Rekor tekor Amazon tersebut sudah disalip oleh Uber pada tahun 2015 lalu, di mana pada tiga kuartal pertamanya dalam tahun tersebut Uber mencetak rugi $1,7 milyar.

Pasar Cina merupakan salah satu penyumbang kerugian terbesar Uber. Persaingannya dengan Didi membuat Uber harus kehilangan uang senilai sekitar $2 miliar hanya dalam dua tahun terakhir. Uber kemudian memutuskan untuk menjual bisnisnya kepada Didi dengan beberapa ketentuan yang mengikuti, dan memfokuskan diri pada pasar lain yang masih menyimpan potensi.

Apabila ditotal secara keseluruhan sejak berdirinya Uber tujuh tahun yang lampau, perusahaan itu telah membukukan kerugian setidaknya $4 miliar.

"Kita tidak akan menemukan banyak perusahaan teknologi yang bisa merugi sebanyak dan secepat ini," kata Aswath Damodaran, profesor bisnis dari New York University, seperti dikutip dari Bloomberg.

Sementara itu, Joe Grundfest, profesor hukum dan bisnis dari Stanford University, menambahkan, "Menjadi sebuah tantangan yang menarik ketika mereka mampu situasi tersebut menjadi perusahaan yang memiliki keuntungan dengan arus kas yang positif."

Keputusan Uber untuk meninggalkan Cina dianggap positif karena mampu menekan angka kerugian. Setelah kuartal ini, kerugian Uber diperkirakan mulai berkurang. Uber mengatakan bahwa mereka tidak akan lagi mengalami kerugian di Cina dalam neraca keuangannya setelah bulan Agustus.

Transformasi Uber

Meski melaporkan sisi kelam kerugian, Gupta menyampaikan sisi terang yakni dari angka pemesanan Uber yang tumbuh signifikan. Nilainya menjadi lebih dari $5 miliar pada kuartal II dari $3,8 miliar di kuartal I. Pendapatan bersih juga meningkat 18 persen menjadi $1,1 miliar dari $960 juta di kuartal sebelumnya.

Hal tersebut jelas menunjukkan, di balik terus meruginya Uber, start-up tersebut juga berkembang dengan pesat dan saat ini, perkembangan tersebut tidak lagi semata-mata hanya pada pangsa pasar.

Hanya berselang beberapa minggu setelah mengumumkan menarik diri dari pasar Cina, Uber mengumumkan bahwa mereka sedang memulai sebuah proyek baru, yaitu proyek mobil self-driving.

Perusahaan tersebut pada tanggal 19 Agustus telah menandatangani kesepakatan kerja sama senilai $300 juta dengan perusahaan mobil asal Swedia, Volvo, untuk membuat kendaraan otonom, yang pada bulan ini dapat dirasakan oleh pelanggan di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat.

Seperti dikutip dari Business Insider, di lapangan, mobil Volvo XC90s yang digunakan untuk melakukan tes sistem self-driving tersebut memang masih menempatkan dua orang teknisi di dalam mobil untuk mengawasi dan mendokumentasikan bagaimana sistem tersebut berjalan.

Selain bekerja sama dengan Volvo, co-founder and Chief Executive Officer (CEO) Uber Travis Kalanick juga mengumumkan bahwa pada 18 Agustus yang lalu mereka telah mengakuisisi Otto, sebuah start-up teknologi yang berfokus pada kendaraan self-driving. Sebagai catatan, Otto memulai proyeknya dengan kendaraan truk.

Otto bukanlah start-up sembarangan. Ia dibentuk oleh dua mantan karyawan level tinggi Google, Anthony Levandowski dan Lior Ron. Otto yang saat ini memiliki karyawan sekitar 90 orang sudah mengoperasikan empat truk otonom 24 jam tujuh hari meskipun baru saja dibentuk pada awal tahun ini.

"Bersama-sama, kami sekarang memiliki salah satu kelompok teknisi otonom terkuat di dunia," kata Travis dalam laman resmi Uber.

Melalui langkah-langkah tersebut, kita bisa sedikit mengintip ke arah mana Uber akan bergerak. Tujuannya sederhana, yaitu untuk mengganti lebih dari 1 juta pengendara manusia Uber dengan pengendara robot secepat mungkin.

Dengan melihat statistik kerugian yang telah disebutkan dan dimulainya proyek tersebut, jelas terlihat bahwa fokus dari Uber sudah bergeser. Uber akan bergerak dari yang sebelumnya merupakan start-up ride-hailing dengan memanfaatkan kendaraan pribadi yang menjadi sumber kemacetan menjadi perusahaan yang bergerak dengan platform logistik yang digerakkan oleh kendaraan otonom.

Akan tetapi, hal itu bukannya tanpa masalah dan risiko. Sebab kendaraan self-driving sendiri masih dalam tahap dini masa pengembangan, meskipun kecepatan perkembangannya luar biasa.

Kecelakaan sebuah mobil Tesla Model S yang digadang-gadang memiliki salah satu sistem autopilot terbaik saat ini pada awal bulan Mei lalu menjadi tanda bahwa teknologi ini masih butuh banyak pengembangan.

Selain itu, berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh tim riset tirto.id, biaya research and development (R&D) Uber sendiri boleh dibilang masih kecil, sebesar $94,7 juta pada semester I-2015, terutama apabila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pemasaran.

Di sisi lain, regulasi terhadap sistem self-driving juga masih belum matang atau bahkan belum terbentuk di banyak negara, membuat rintangan sistem tersebut di masa depan menjadi susah untuk diperkirakan. Hal yang kemudian membuat pengendara manusia masih akan memiliki peran vital dalam bisnis Uber setidaknya dalam beberapa tahun mendatang.

Namun satu hal yang pasti, hal tersebut tidak akan menghentikan langkah Travis untuk tetap memiliki kepercayaan besar pada sistem tersebut di masa depan.

"Semuanya dimulai dengan pemahaman bahwa dunia akan bergerak ke arah [kendaraan] self-driving dan otonom," kata Travis, seperti dikutip dari Business Insider. "Jadi kalau itu yang terwujud, apa yang akan terjadi jika kita tidak menjadi bagian dari masa depan itu? Jika kita bukan bagian dari [sistem kendaraan] otonom? maka masa depan lewat begitu saja di depan kami, dengan cara yang sangat cepat dan efisien."

Baca juga artikel terkait UBER atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti