tirto.id - Bisnis taksi online mengalami perkembangan yang pesat. Dalam satu tahun terakhir bisnis ini tumbuh subur. Pada pengusaha rental mobil pun banyak yang banting stir menyewakan mobilnya untuk taksi online.
Dalam perjalanannya, pemerintah pun mulai merancang regulasi untuk mengatur keberadaan taksi online itu. Pada Maret 2016, keluarlah Peraturan Menteri nomor 32 tahun 2016. Aturan itu mengatur tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, termasuk di dalamnya taksi online.
Pengamat Transportasi, Azas Tigor Nainggolan menilai arah regulasi ini membawa taksi “online” menjadi seperti taksi biasa. Bedanya, cara pemesanannya melalui aplikasi yang disediakan oleh provider. Lalu bagaimana nasib taksi “online” jika pada 1 Oktober mendatang Peraturan Menteri ini diberlakukan? Berikut pendapat Tigor saat diwawancarai Mawa Kresna dari tirto.id, 30 Agustus 2016.
Bagaimana pendapat Anda melihat munculnya Peraturan Menteri nomor 32 tahun 2016?
Ini sama seperti yang lain. Yang diaturkan angkutan orang di luar trayek, taksi online termasuk di dalamnya. Aturan ini justru menegaskan, pelaku bisnisnya ini siapa. Siapa yang operator atau perusahaan transportasinya dan siapa yang provider penyedia aplikasi. Dua ini dipisahkan, supaya jelas, bahwa seperti Uber, Grab dan Go Car itu hanya provider penyedia aplikasi saja.
Dampaknya apa? Bukankah itu sama saja seperti yang sekarang sudah ada?
Beda dong. Karena nanti soal tarif itu akan beda. Sama seperti taksi, itukan bukan angkutan ekonomi jadi tarif nanti ditentukan oleh operator. Siapa operatornya di sini? Yaitu perusahaan transportasinya, bukan Uber. Jadi mereka yang akan menentukan tarifnya.
Selama ini yang menentukan tarifnya kan providernya, besok mereka hanya mengatur soal tarif jasa aplikasinya saja. Berapa besarannya, itu mereka yang tentukan.
Untuk tarif itu, memang perusahaan yang menentukan, tapi nanti pemerintah yang menetapkannya. Ini beda dengan yang ekonomi, atau pariwisata atau yang sewa.
Kalau seperti Uber, Grab dan Go Car hanya sebagai provider, mereka tidak tidak lagi berurusan dengan Kementerian Perhubungan?
Lho memang kan mereka itu perusahaan IT, jadi urusan mereka bukan dengan kementerian perhubungan. Soal perusahaan taksinya, sudah bukan lagi urusan mereka. Itu perspektif dari peraturan menteri ini.
Lalu bagaimana dengan para driver, mereka harus membuat perusahaan sendiri?
Aturan permenhub itu mengatakan harus berbadan hukum, bisa PT atau Koperasi. Kan syaratnya hanya butuh lima kendaraan saja untuk membuat perusahaan transportasinya. Misal ada lima driver, masing-masing punya satu mobil, sudah mereka join saja membuat perusahaan sendiri.
Nanti mereka tinggal bekerja sama dengan provider. Provider sudah tidak lagi mengurusi soal perusahaan transportasinya, itu sudah lepas dari tanggung jawab mereka.
Apa bedanya dengan taksi biasa kalau begitu?
Saya melihat arah kebijakan ini memang ke sana. Kalau dilihat cita-cita dengan teknologi ini supaya driver itu bisa kerja sendiri, tidak ada sistem setoran seperti yang sekarang dialami oleh driver taksi biasa.
Konsekuensinya, kalau jadi perusahaan transportasi, driver itu nanti harus menjadi karyawan. Mereka nanti digaji, jangan ada sistem setoran lagi. Itu tidak benar. Yang sekarang ini tidak sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan.
Keuntungan pakai sistem online itu, nanti bisa dibuat driver tidak bisa menolak order. Ini jadi bisa maksimal, kalau nanti driver di gaji, mereka bekerja juga maksimal, pelayanannya bagus.
Itu gambaran idealnya, tapi kalau sekarang lihat taksi biasa masih setoran. Masih belum sesuai dengan aturan, sistem komisi, jahat itu. Permenhub ini arahnya begitu. Ini yang harus diwaspadai, jangan sampai nanti tidak ada perlindungan terhadap driver.
Sistem ini berarti jadi beban bagi driver?
Kalau dilihat begitu, karena hitunganya nanti pendapatan itu bagi tiga. Uangnya segini, dibagi untuk driver, operator dan provider. Tapi kan soal tarif itu ditentukan oleh operator. Jadi untuk penentuan tarif, komposisinya bisa terlihat. Nggak susah itu untuk menentukannya. Seperti Uber itu kan tinggal berapa fee aplikasinya.
Kalau begitu soal ride-sharing sudah tidak dipakai lagi ya?
Sudahlah, nggak usah pakai itu, seperti Uber itu jualan jasa saja. Kan soal ride-sharing memang tidak difasilitasi di permenhub. Mau bagaimana lagi?
Kalau provider ingin bisa mengatur lagi semuanya, mereka bikin saja perusahaan transportasi. Itu boleh kok. Tinggal mau atau nggak? Itu solusi buat provider yang tidak puas dengan aturan itu. Sejak awal saya sudah bilang, kalau seperti Uber itu mau masuk ke bisnis transportasi di Indonesia mereka harus bikin perusahaan, nggak bisa pakai aplikasi saja.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti