tirto.id - Minggu malam, 23 Juli 2017, Rizka Rachma memesan Uber Motor di Depok, menuju rumahnya yang juga di kawasan Depok. Seorang pengemudi lalu mengirimnya pesan, “Tujuan ke mana?”. Rizka pun mengatakan tujuannya dan menjelaskan lokasi penjemputan. Sudah menunggu 20 menit, si pengemudi tak kunjung tiba di lokasi penjemputan.
Rizka lalu mengecek aplikasinya, melihat si pengemudi sudah sampai mana. Ternyata ia tak bergerak ke arah lokasi penjemputan. Rizka lalu menelepon sampai tiga kali, tapi tak diangkat. Dia lalu mengirim pesan, menanyakan apakah dia akan dijemput atau tidak. Sama saja, tak ada jawaban.
Rizka serba salah, kalau ia menunggu, ia jelas tak akan dijemput. Kalau ia membatalkan pesanan, ia akan dikenakan denda Rp10 ribu. Ia lalu mengirim pesan cukup panjang ke si pengemudi yang berisi ia tak akan membatalkan pesanan, tetapi ia akan pulang dengan armada lain.
Hal itu terjadi karena saat menerima pesanan, pengemudi Uber tak diberitahu ke mana tujuan calon penumpang. Ketika tahu tujuan penumpang tak sesuai dengan tujuannya, ia bisa saja membatalkan, tetapi pembatalan itu akan mengurangi peringkatnya. Para pengemudi yang tak profesional biasanya tak membatalkan, tetapi juga tidak menjemput, berharap calon penumpang melakukan pembatalan.
Di Indonesia, mereka yang kesal dengan prilaku para pengemudi Uber bisa beralih ke aplikasi lain seperti Gojek dan Grab. Kedua aplikasi ini tak menerapkan biaya pembatalan sama sekali. Persaingan transportasi online ketat sekali, konsumen akan memilih aplikasi mana yang paling murah dan tidak merepotkan.
Di pasar Asia Tenggara, saingan terbesar Uber adalah Grab. Aplikasi dan para pengemudi Grab juga tidak sempurna. Tahun lalu, saya pernah memesan Grab Car dengan metode pembayaran menggunakan kartu kredit. Di aplikasi, pengemudi tampak sudah menjemput saya, menyelesaikan perjalanan, dan kartu saya didebet untuk pembayaran perjalanan tersebut. Namun, si pengemudi tak pernah menjemput dan tidak bisa dihubungi. Saat saya ingin menggunakan fitur report untuk melaporkan, fitur tersebut melulu error.
Di bisnis jasa transportasi online, Grab adalah pendatang baru jika dibandingkan Uber. Uber sudah diluncurkan pada 2010 di Amerika Serikat dan beroperasi di 58 negara, termasuk negara-negara Asia Tenggara.
Grab baru lahir dua tahun kemudian, dan kini sudah beroperasi di tujuh negara di Asia Tenggara; Indonesia, Malaysia, Vietnam, Singapura, Thailand, Myanmar, dan Filiphina. Grab mengoperasikan layanan mobil pribadi, sepeda motor, taksi dan car pooling. Statistik Grab saat ini adalah, mereka mendapatkan 11 pesanan setiap detik.
Berbeda dengan Uber, Grab banyak menggunakan pendekatan lokal. Saat Uber hadir dengan metode pembayaran dengan hanya kartu kredit, Grab mengerti bahwa penetrasi kartu kredit di Asia Tenggara masih minim. Ia lalu menerima pembayaran tunai. Kini, Uber pun ikut menerima pembayaran tunai.
Pengetahuan lokal juga membuat posisi Grab lebih baik di mata regulator Asia Tenggara. Di Vietnam, Grab menjadi satu-satunya aplikasi transportasi darat yang sah. Di Phuket, Thailand, Grab diterima padahal pesaingnya, Uber, tak mendapat tempat di kawasan itu.
Untuk memperkuat cengkramannya atas pasar Asia Tenggara, Grab membutuhkan investasi sebesar $2 miliar. Grab mendapatkannya dari Didi Chuxing—perusahaan pemanggil transportasi online di Cina—dan SoftBank Group Corp dari Jepang.
Agustus tahun lalu, Uber juga menjual bisnisnya kepada Didi setelah gagal menghasilkan laba semenjak masuk ke Cina pada tahun 2014 lalu.
Didi tidak hanya mengakuisisi Uber Cina, tetapi juga mengambil saham minoritas pada perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat tersebut. Sebaliknya, Uber juga akan memperoleh sekitar 17,7 persen saham Didi, membuatnya memiliki 5,9 persen hak voting pada perusahaan asal Cina tersebut.
Perkuat GrabPay
Selain memperkuat bisnisnya di Asia Tenggara, dana dari Didi tersebut juga akan digunakan untuk memperluas lini bisnis Grab ke layanan keuangan. "Dengan dukungan mereka, Grab akan mencapai keunggulan pasar yang tak tergoyahkan dalam bisnis ride sharing, dan membangun ini untuk menjadikan GrabPay solusi pembayaran pilihan untuk Asia Tenggara," ujar Anthony Tan, CEO dan Co-Founder Grab dalam sebuah pernyataan resmi.
Di Indonesia, GrabPay belum sekuat Go-Pay—metode pembayaran elektronik milik Go-Jek. “Kami belum punya lisensi e-money,” kata Direktur Marketing Grab Indonesia, Mediko Azwar. Pihaknya memiliki rencana ke arah yang lebih luas.
Grab Indonesia memang sedang menuju ke arah sana. April lalu, Grab mengumumkan kesepakatan mengakuisisi KUDO, platform e-commerce online untuk offline (O2O) di Indonesia. Setelah proses akuisisi tersebut rampung, Grab dan platform KUDO akan terintegrasi ke dalam ekosistem pembayaran milik Grab, GrabPay. Platform O2O Kudo yang unik memungkinkan konsumen Indonesia yang belum memiliki akses terhadap layanan perbankan untuk berbelanja online.
KUDO adalah singkatan dari Kios Untuk Dagang Online. Di aplikasi KUDO tersedia berbagai produk yang bisa diperdagangkan oleh agen KUDO. Mulai dari peralatan rumah tangga hingga tiket pesawat. Jadi, bagi mereka yang tidak percaya berbelanja online atau tak punya rekening bank untuk ditransfer, KUDO memiliki sejumlah agen yang siap menerima pembayaran secara offline. Nah, untuk melihat koleksi barang-barang yang dijual, calon pembeli bisa melihatnya di aplikasi KUDO.
- Baca Juga: Grabpay yang Dihindari Para Driver
Dana segar tersebut akan dipakai untuk mengembangkan operasi perusahaan, secara khusus pada layanan yang dimilikinya, termasuk sistem pembayaran (Go-Pay), pengiriman makanan (Go-Food), pengiriman barang (Go-Send), serta layanan transportasi reguler (Go-Ride dan Go-Car).
Tahun lalu, Go-Jek juga mengakuisisi PonselPay milik PT MVCommerce, layanan uang elektronik (e-Money) yang memudahkan pengguna dalam menerima bank transfer seperti pembelian, jasa, pinjaman, dan lain sebagainya. Segala transaksi itu bisa dilakukan tanpa harus membuka rekening di bank.
Belum jelas seperti apa jadinya GrabPay setelah akuisisi ini rampung. Mediko juga belum bisa memberi keterangan lebih lanjut. Yang jelas, menurut situs resmi Bank Indonesia, KUDO tak memegang lisensi uang elektronik. Jadi, seperti kata Mediko, penggunaannya belum bisa seluas Go-Pay.
Grab mulai memperluas layanannya ke fintech. Dukungan dana dari Didi jelas akan memperkuat ekspansinya di Indonesia. Sementara Uber hingga saat ini memang masih belum bisa berbuat banyak di Indonesia. Pesaing kuat Grab di Indonesia justru Gojek. Apakah nantinya Uber akan menyerah kepada Didi di Indonesia, seperti yang terjadi di Cina? Kita nantikan babak berikutnya dari pertarungan bisnis transportasi online di Indonesia.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Wan Ulfa Nur Zuhra