Menuju konten utama
Transportasi Publik

Dilema Taksi Online di Tengah Kebijakan Ganjil Genap & ERP

Persoalan dilematis soal taksi online dinilai bisa diatasi dengan cara merevisi UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ.

Dilema Taksi Online di Tengah Kebijakan Ganjil Genap & ERP
Petugas Satlantas Polres Metro Jakarta Timur bersiap bersiap melakukan pengendalian mobilitas ganjil genap untuk pengunjung TMII di Jalan Pintu 1 TMII, Jakarta Timur, Sabtu (18/9/2021). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.

tirto.id - Jaenal Arifin terpaksa memutar otak ketika mendapatkan orderan dari penumpang menuju ke wilayah DKI Jakarta. Pengemudi taksi online, GoCar itu harus benar-benar jeli melihat jalur yang dilalui agar tidak melanggar aturan kebijakan ganjil genap.

Kondisinya memang serba salah. Sebab, kata dia, ketika orderan tidak diambil atau dibatalkan justru akan mempengaruhi performa penilaiannya. Sementara jika diambil, sebetulnya bisa saja. Tapi akan memakan waktu tempuh lebih lama lantaran harus memutar jalur lain.

“Kalau Blue Bird ketahuan masuknya pelat kuning, ini kita kan mobil-mobil pribadi, enggak bisa (lewat) karena aturan pemerintah," kata dia saat berbincang dengan reporter Tirto, Selasa (14/2/2023).

Kebijakan ganjil genap yang diterapkan di beberapa ruas jalan oleh Pemprov DKI Jakarta berlaku bagi semua kendaraan pelat hitam. Ini termasuk juga bagi beberapa layanan taksi online yang populer di masyarakat seperti GoCar dan GrabCar.

“Untuk Jakarta hampir wilayah ganjil genap dilakukan kita sulit juga. Terkadang kita juga menolak, tetapi dengan cara yang bisa diterima oleh customer. Jadi customer akan membatalkan. Jadi bukan kami yang cancel, tapi customer yang cancel," jelasnya.

Taksi online sebelumnya pernah dikecualikan dari kebijakan ganjil genap oleh Pemprov DKI. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Kadishub DKI Jakarta Nomor 332 Tahun 2021, angkutan sewa khusus (ASK) beroda empat atau berbasis aplikasi diizinkan masuk wilayah ganjil genap.

Taksi online yang mendapat pengecualian harus memiliki tanda ASK resmi, yakni stiker khusus dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).

Namun, ketentuan tersebut akhirnya dibatalkan karena tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 15P/HUM/2018 tertanggal 31 Mei 2018. Keputusan tersebut menegaskan bahwa memberikan penanda atau identitas untuk ASK dalam bentuk stiker sudah tidak diperkenankan dan tidak diperlukan.

Belum lepas dari persoalan ganjil genap, Pemprov DKI justru mewacanakan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) untuk mengatasi persoalan kemacetan di ibu kota. Pembahasan regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah mengenai ERP itu bahkan sudah masuk ke dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Tahun 2022-2023.

Saat ini kebijakan ERP tersebut masih dalam pembahasan bersama DPRD DKI Jakarta dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PL2SE).

Sebagai pengemudi taksi online, tentu saja kebijakan jalan berbayar akan memberatkan Jaenal. Adanya kebijakan itu juga dikhawatirkan akan mengurangi jumlah orderan. Mengingat ada biaya tambahan yang akan dibebankan kepada penumpang.

“Kalau secara pribadi dari kita sebagai driver online merasa keberatan walaupun yang bayar itu customer. Tetapi ketika kita selesai perjalanan kembali lagi ke kita, sangat berat banget,” kata dia.

Senada dengan Jaenal, sikap keberatan juga ditunjukkan pengemudi taksi online lainnya, Mustakim. Dia merasa persoalan, baik ganjil genap maupun rencana ERP ini terkesan tidak ada solusinya dari pemerintah pusat. Bahkan Kementerian Perhubungan dinilai lepas tangan atau tanggung jawab.

"Ini PR (Pekerjaan Rumah) bagi Kemenhub buat kita-kita yang cari makannya di jalan supaya bisa leluasa. Adanya kebijakan itu tentu buat kita sulit," ujarnya saat dihubungi terpisah.

Tirto sudah berupaya menghubungi Juru Bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati dan Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Amirulloh. Namun hingga artikel ini diterbitkan, keduanya tidak merespons baik telepon maupun pertanyaan lewat pesan singkat terkait solusi persoalan ganjil genap dan rencana ERP bagi taksi online.

Lobi-Lobi Pemerintah

Pada 2019, Kementerian Perhubungan memang sempat berdiskusi dengan Pemprov DKI untuk mempertimbangkan kelonggaran bagi taksi online. Hal ini setelah banyaknya aplikator taksi online terus menyampaikan keinginannya agar mereka bisa bebas dari aturan ganjil-genap.

"Keputusan ganjil-genap itu di Gubernur (Anies Baswedan), tetapi kami sedang melakukan diskusi dengan mereka. Kami sedang bicarakan mekanismenya nanti seperti apa," tutur Direktur Angkutan Jalan Kementerian Perhubungan yang saat itu dijabat oleh Ahmad Yani.

Yani mengatakan, aplikator taksi online keberatan dengan kebijakan ganjil genap. Apalagi, saat ini aturan ganjil-genap diperluas jam berlakunya dan juga ditambah lokasi-lokasinya.

"Sementara memang ada surat manajemen taksi online ingin meminta bahwa itu (taksi online) bisa masuk juga ke kawasan ganjil-genap seperti angkutan umum yang lain, seperti taksi pelat kuning, bus pelat kuning. Tapi itu, kan, keputusan gubernur, kami masih diskusi," terang Yani.

Namun, Yani mengatakan, kendala lain untuk memberi kelonggaran taksi online masuk kawasan ganjil-genap adalah belum adanya penanda khusus yang membedakannya dengan kendaraan pribadi.

“Nah sampai sekarang kan belum ada tandanya (yang membedakan taksi online dengan kendaraan pribadi). Kalau mau masuk, tandanya nanti apa? Nanti ini kita diskusikan saja," kata Yani.

Revisi UU Lalu Lintas

Direktur Eksekutif INSTRAN, Deddy Herlambang melihat, persoalan dilematis mengenai taksi online sebetulnya bisa diatasi dengan cara merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Dalam revisi itu, pemerintah bisa mengatur penggunaan kendaraan bermotor baik mobil maupun motor sebagai alat transportasi umum.

Dia mengatakan, UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ belum mengatur tentang penggunaan kendaraan, khususnya roda dua sebagai sarana transportasi umum untuk mengangkut penumpang maupun barang.

Adapun aturan yang ada saat ini hanya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat.

“Aturannya memang belum ada di UU Lalu Lintas dan Angkutan di UU 22/2009. Tapi tentang taksi pelat hitam kenyataannya sudah diatur oleh diskresi menhub sudah ada Permenhub pentarifannya dan lain-lain. Secara de facto sudah menjadi angkutan umum, jadi taksi online pun seharusnya bisa masuk zona ERP," jelasnya kepada Tirto.

Secara teknis, taksi online wajib menggunakan kendaraan yang telah melalui uji kir. Selain itu, taksi online harus memakai kendaraan berkapasitas minimal 1.000 cc. Sementara itu, untuk pelayanan eksekutif, taksi online wajib menggunakan kendaraan minimal berkapasitas 1.500 cc.

Taksi online juga wajib memasang tulisan “taksi” dan nama perusahaan serta dilengkapi pendingin udara. Setiap kendaraan wajib mendapat nomor urut dan mencantumkan nomor layanan pengaduan masyarakat.

Sementara salah satu syarat kendaraan angkutan umum yang pertama itu adalah pengemudinya harus memiliki SIM umum. Sedangkan pengemudi taksi online saat ini menggunakan SIM biasa.

Kemudian angkutan umum diwajibkan menggunakan pelat nomor kuning. Namun saat ini kendaraan digunakan taksi online masih menggunakan pelat hitam.

Deddy mengatakan, melalui revisi UU 22 Tahun 2019, taksi online seperti GrabCar dan GoCar bisa mengubahnya ke pelat kuning. Dengan begitu, para pengemudi taksi online bisa menjadi angkutan resmi penumpang dan tidak akan dibatasi dengan aturan-aturan seperti ganjil genap dan wacana ERP.

“Ya salah satunya itu revisi UU 22/2009 belum ada, mau didorong pakai apa? Lagian driver taksi online banyak juga yang nggak mau jadi pelat kuning," ujarnya.

Baca juga artikel terkait TAKSI ONLINE atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz