Menuju konten utama

Di Balik Rencana Pemerintah Bebaskan Taksi Online dari Ganjil-Genap

Menurur Ekonom Indef, Bhima Yudhistira menilai pemerintah ingin meyakinkan investor bahwa Indonesia layak menerima investasi karena mampu mendukung iklim usaha ekonomi digital.

Di Balik Rencana Pemerintah Bebaskan Taksi Online dari Ganjil-Genap
Seorang warga mencari transportasi dengan aplikasi online di Jakarta, Kamis (17/3). Kementerian Komunikasi dan Informatika akan mendorong pemilik kendaraan dari aplikasi transportasi online agar bisa memenuhi perizinan sesuai dengan perundang-undangan. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/pd/16.

tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan resmi memperluas cakupan wilayah ganjil-genap sebanyak 16 ruas--jumlahnya kini jadi 25. Kebijakan ini lalu diprotes Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Dia meminta taksi online, seperti taksi konvensional atau pelat kuning,dikecualikan dari aturan ini.

“Kalau taksi biasa boleh, harusnya mereka [taksi online] boleh,” kata Budi di Parkiran Selatan GBK Senayan, Jakarta, Minggu (11/8/2019).

Kebijakan ini memang sangat menentukan nasib sopir taksi online. Ruang gerak yang semakin terbatas sangat mungkin membikin pendapatan turun. Tidak menutup kemungkinan juga hal itu bisa turut memengaruhi perusahaan mereka.

Permintaan ini bisa saja dipenuhi. Anies bilang selain bicara dengan Budi Karya, Dinas Perhubungan DKI juga tengah bernegosiasi dengan perusahaan transportasi online.

"Hari Jumat (9/8/2019) kemarin saya bertemu dengan pengelola Grab (salah satu perusahaan transportasi online besar selain Go-Jek), bersama dengan Kepala Dinas [Perhubungan]," kata Anies saat ditemui di Monas, Senin (12/8/2019).

"Saat ini Dinas Perhubungan dengan Grab sedang membicarakan tentang penandaan supaya kendaraan yang bekerja sebagai angkutan nanti memiliki tanda. Saat ini belum ada tanda," tambahnya.

Cara Yakinkan Investor

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai di balik keinginan Budi Karya, ada upaya untuk membangun citra positif di hadapan investor. Ia mengatakan pemerintah ingin meyakinkan investor bahwa Indonesia mendukung iklim usaha ekonomi digital.

“Pemerintah seperti ingin membangun kesan kalau mereka akan melakukan apa saja demi investasi digital masuk deras,” kata Bhima kepada reporter Tirto, Selasa (13/8/2019).

Pernyataan Bhima cukup beralasan. Faktanya Presiden Joko Widodo sudah berkali-kali bicara soal pentingnya ekonomi digital, termasuk saat debat Pilpres 2019 lalu. Saat Ignasius Jonan berencana melarang transportasi online, Jokowi langsung turun tangan. Alhasil Jonan pun mengendurkan regulasi.

Bahkan pada 12 Januari lalu, Jokowi pernah bilang bahwa ia akan marah jika ada yang meremehkan profesi ojek online.

Ini juga senada dengan keinginan pelaku industri digital. Pada 2015 misalnya, CEO Go-Jek Nadiem Makarim pernah menyatakan pemerintah perlu menjadi teman, alih-alih pengawas transportasi online. Ia juga berharap pemerintah tidak membuat regulasi yang mempersempit ruang bermain pelaku usaha, apalagi sektor ini sedang bertumbuh pesat.

Sikap pemerintah tampaknya memang membuahkan hasil. Pada 26 Juli 2019 lalu, CEO Softbank Masayoshi Son resmi menyatakan perusahaannya menyalurkan investasi untuk Grab Indonesia. Mereka juga berinvestasi di sektor ekonomi digital lain dengan total investasi 2 miliar dolar AS.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan jumlah investasi itu akan terus bertambah. Ia menargetkan total investasi Softbank secara kumulatif akan mencapai 10 miliar dolar AS dalam 5 tahun ke depan dengan.

Tidak Cukup

Namun Bhima ragu bila kebijakan yang ia sebut sporadis ini dapat banyak membantu pengembangan ekosistem digital. Pekerjaan rumah pemerintah di sektor digital masih banyak terutama untuk membenahi ekosistem yang kurang mendukung, katanya.

Untuk menyebut beberapa saja, kata Bhima, ada masalah Sumber Daya Manusia di bidang IT. Lemahnya SDM di sektor ini membuat perusahaan startup lebih memilih tenaga IT dari India--meskipun dengan upah yang lebih mahal.

Masalah lain adalah akses internet yang belum merata.

Tanpa pembenahan sisi ini, Bhima ragu investor ekonomi digital bisa benar-benar yakin akan total di Indonesia.

“Kebijakan yang diambil itu hanya parsial. Tidak cukup,” simpulnya.

Pendapat serupa disampaikan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah. Investasi memang bisa terhambat jika pemerintah membatasi aktivitas aplikasi transportasi online yang sedang berkembang. Namun, pengecualian itu saja tidak cukup meyakinkan investor.

Selain yang disebut Bhima, Piter juga menyoroti masalah kepastian hukum bagi pengembangan ekonomi digital.

Satu contoh adalah perkara pajak. Beberapa waktu lalu pemerintah ingin memajaki e-commerce--salah satu bidang di ekonomi digital. Kebijakan ini tadinya mau diterapkan per 1 April, tapi kemudian dibatalkan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Belum jelas apakah aturan ini akan coba diterapkan lagi, mengingat pemerintah sedang giat-giatnya menggenjot penerimaan dari pajak.

“Banyak aturan yang ditunggu, misalnya pajak saat investor menarik uangnya dari startup seharusnya dikurangi atau dibebaskan,” ucap Piter kepada reporter Tirto.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi, tidak menanggapi pertanyaan apakah upaya membebaskan taksi online dari aturan ganjil-genap sebagai upaya menggenjot investasi di sektor digital. Hingga artikel ini dirilis, pesan Whatsapp maupun telepon dari reporter Tirto belum ditanggapi.

Baca juga artikel terkait ATURAN GANJIL GENAP atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan