Menuju konten utama
15 Februari 2003

Demonstrasi Besar Masyarakat Dunia Menentang Invasi AS ke Irak

Keberadaan senjata pemusnah massal hanya dalih AS dan sekutunya untuk menginvasi Irak dan menguasai sumber daya alamnya.

Demonstrasi Besar Masyarakat Dunia Menentang Invasi AS ke Irak
Ilustrasi Mozaik Aksi Protes Rencana Invasi Irak. tirto.id/Tino

tirto.id - Sehari setelah menghadiri peringatan setahun peristiwa 9/11, Presiden Amerika Serikat George W. Bush (2001-2009) bergegas ke gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Ia hendak menyampaikan temuannya berjudul “A Decade of Lies and Deceit” tentang keberadaan senjata pemusnah massal yang dimiliki Irak di hadapan sidang Majelis Umum PBB.

Baginya, pemerintah Irak di bawah Saddam Husein telah melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB karena menyembunyikan status kepemilikan senjata pemusnah massal. "Dunia harus bergerak dengan sengaja dan tegas untuk meminta pertanggungjawaban Irak,” ujar Bush.

Dua minggu kemudian, Perdana Menteri Inggris Tony Blair (1997-2007) mengikuti jejak sekutunya. Blair juga mempresentasikan sebuah laporan intelijen tentang keberadaan gudang senjata kimia dan biologi di Irak, sembari menyatakan bahwa Saddam dapat meluncurkan senjata terlarang itu dalam waktu 45 menit. Artinya, perdamaian dunia akan runtuh dalam waktu kurang dari satu jam jika penguasa Irak itu mengeluarkan titah serangan.

Pemerintah AS dan Inggris kemudian merumuskan aturan untuk melancarkan serangan ke Irak. Bush dan Blair berulang kali bertemu untuk menunjukkan solidaritas dua negara. Pejabat Gedung Putih dan Downing Street sibuk mengumpulkan bukti-bukti kuat untuk menyebar propaganda dan membesar-besarkan temuannya dalam rangka menjaring simpati negara-negara sahabat sembari mencari pembenaran. Dewan Keamanan PBB yang mayoritas anggotanya adalah sekutu AS, juga sibuk merancang resolusi baru untuk menekan Irak dan menyiapkan rencana akhir berupa invasi.

Tidak sedikit publik yang menduga bahwa keberadaan senjata pemusnah massal tak lebih dari akal-akalan AS untuk menguasai sumber daya alam Irak, khususnya minyak bumi. Mereka sudah menduga seandainya pertempuran pecah dapat dipastikan pasukan Irak akan mudah dikalahkan. Lalu masyarakat sipil akan menjadi korban. Sementara AS akan diuntungkan. Maka itu, saat ancaman perang menggema, banyak para aktivis perdamaian dan berbagai organisasi internasional menentangnya.

Ada dua kelompok yang mengadakan demonstrasi anti-perang besar-besaran, yakni European Social Forum (ESF) dan Act Now to Stop War and End Racisme (ANSWER). Keduanya memiliki pandangan yang sama bahwa perang akan menjadi malapetaka bagi rakyat Irak. Dari Oktober sampai November 2002, kedua kelompok ini berhasil memobilisasi ratusan ribu masyarakat di AS dan berbagai negara Eropa untuk turun ke jalan menentang rencana invasi AS ke Irak.

ESF bahkan merencanakan aksi yang lebih besar, yakni demonstrasi besar-besaran di setiap Ibukota negara-negara Eropa pada 15 Februari 2003. Begitu juga dengan ANSWER yang berencana membuat demonstrasi yang diikuti oleh jutaan umat manusia di AS dan Eropa.

Pada 23-27 Januari 2003, dalam acara konferensi anti-perang yang diselenggarakan World Social Forum (WSF) di Brazil, kedua kelompok ini sepakat untuk menyelenggarakan hari protes internasional di seluruh dunia pada 15 Februari 2003 dengan menjaring jutaan orang.

Kemudian pada 15 Februari 2003, tepat hari ini 19 tahun lalu, orang-orang dari berbagai belahan dunia di hampir 600 kota bangkit. Mereka tumpah ruah memenuhi jalanan dan ikon kota sejak matahari terbit. Semakin siang, para demonstran sudah tidak terhitung jumlahnya. Semuanya dilakukan dengan satu tuntutan yang sama: menolak rencana invansi AS dan sekutunya ke Irak, seraya membawa poster dan spanduk: “Tidak ada perang di Irak!”, “Jangan serang Irak!”, “Tidak ada darah untuk minyak!”, “Dunia mengatakan tidak untuk perang!”, dll.

Kumpulan orang itu terdiri dari pekerja golongan menengah, veteran perang, mahasiswa, ibu rumah tangga, politikus, akademisi, dan beragam profesi lainnya. Terlibat pula para tokoh penting seperti aktivis Desmond Tutu dan penyanyi Harry Belafonte yang ikut barisan unjuk rasa di depan markas PBB.

Di AS, peristiwa ini adalah demonstrasi anti-perang terbesar sejak protes menentang perang Vietnam tahun 1967. Begitu juga di Eropa, aksi ini adalah yang terbesar sejak protes Perang Teluk 1991. Secara resmi, Guinness World Record mencatat peristiwa 15 Februari diikuti oleh 15 juta orang di seluruh dunia dan menjadikannya sebagai demonstrasi terbesar sepanjang sejarah umat manusia.

Infografik Mozaik Aksi Protes Rencana Invasi Irak

Infografik Mozaik Aksi Protes Rencana Invasi Irak. tirto.id/Tino

Diungkapkan Joris Verhulst dalam “15 February 2003: The Worlds Says No to War” (2010), protes kali ini tidak hanya memberikan inspirasi bagi generasi mendatang, tetapi juga berhasil mengubah sejarah karena membawa pemerintah AS dan PBB ke lintasan perlawanan dan berhadapan langsung dengan gerakan aktivisme global.

Laporan New York Times 17 Februari 2003 berjudul “A New Power In the Street” menyebut bahwa poros kekuatan hari itu bukanlah AS vs Irak, tetapi AS vs masyarakat dunia.

“Presiden Bush akan berhadapan langsung dengan musuh baru: jutaan orang yang membanjiri jalan-jalan di New York dan kota-kota lain di dunia yang mengatakan bahwa mereka menentang perang berdasarkan bukti yang ada.”

Protes berlangsung relatif singkat. Massa membubarkan diri menjelang malam hari. Demonstrasi besar kali ini memang tidak memiliki kedudukan secara politis yang kuat, tetapi berhasil membawa pesan kuat berisi konsekuensi politik bagi negara-negara yang mendukung kebijakan mengacak-acak Irak ala Bush.

Namun, apakah tuntutan demonstrasi tercapai?

Tidak.

Sebulan kemudian, AS dan Inggris benar-benar menginvasi Irak dengan kekuatan lebih dari 250 ribu tentara. Dalihnya adalah “melucuti senjata pemusnah massal, mengakhiri dukungan Saddam Husein untuk terorisme, dan membebaskan rakyat Irak.”

Lalu, selanjutnya kita tahu: senjata pemusnah massal tidak pernah ada, kondisi Irak luluh lantak, Saddam Husein dihabisi, demokratisasi dan mimpi perdamaian tidak terwujud, kelompok berideologi ekstrem bermunculan, konflik saudara semakin menganga, dan masyarakat sipil semakin sengsara.

Sementara AS? Diam seribu bahasa dan tidak menyesali perbuatannya.

Baca juga artikel terkait DEMONSTRASI atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi