Menuju konten utama
3 Maret 1938

Sejarah Penemuan Minyak Bumi Pertama di Arab Saudi

Enam tahun setelah didirikan, Arab Saudi menemukan ladang minyak besar yang mendongkrak kondisi ekonomi dan politik.

Sejarah Penemuan Minyak Bumi Pertama di Arab Saudi
Ilustrasi Mozaik Minyak Pertama Arab Saudi. tirto.id/Tino

tirto.id - Sekali waktu pada tahun 1933, Menteri Keuangan Arab Saudi Abdullah ibn Sulayman, dibuat kesal oleh perkataan imam masjid utama Riyadh, Syekh Ibn Nimr. Saat menyampaikan khotbah salat Jumat, sang imam mengutip salah satu ayat Al-Qur'an menyampaikan pesan tersirat yang seakan melarang Muslim bekerja sama dengan orang non-Muslim.

Bagi Abdullah, pernyataan ini dianggap menghalangi langkahnya yang ingin menjalin kerja sama dengan orang-orang di Barat untuk kemajuan negara. Ia lantas menimpali ucapan Ibn Nimr. Sebagaimana dikisahkan Madawi Al-Rasheed dalam A History of Saudi Arabia (2012: 88), Abdullah berujar yang intinya menyebut bahwa Muslim boleh saja bekerja sama dengan non-Muslim selama tidak mengganggu akidah.

“Untukmu agamamu dan untukku agamaku,” tutur Abdullah mengutip salah satu ayat Al-Qur'an.

Beberapa bulan setelah itu, Abdullah menjalin kerja sama eksplorasi minyak dengan perusahaan Amerika Serikat, Standard Oil of California (SOCAL). Dari sini, masih mengutip Madawi, dimulailah sebuah proses yang tidak hanya membawa peningkatan jumlah non-Muslim, tetapi juga dimulainya perjalanan panjang transformasi di Arab Saudi.

Sebagai negara yang baru berdiri, fokus utama Arab Saudi adalah berusaha memiliki kontrol dan penguasaan atas tanah serta sumber daya alam untuk menunjukkan kedaulatan negara. Dalam hal ini penguasaan sumber air, bukan minyak, menjadi perhatian utama Saudi pada awal-awal berdiri. Pasalnya, air sebagai sumber kehidupan sulit didapatkan.

Negara yang didirikan oleh Raja Abdulaziz Al-Saud pada 1932 ini secara geografis berada di posisi yang kurang menguntungkan. Seluruh wilayahnya didominasi gurun yang kering kerontang. Kondisi ini membuat Arab Saudi sempat tercatat sebagai salah satu negara yang cukup miskin.

Merujuk yang disampaikan Toby Craig Jones dalam Desert Kingdom: How Oil and Water Forged Modern Saudi Arabia (2010), para pemimpin Saudi memahami bahwa kekayaan politik mereka terkait dengan kontrol air. Bila air tersedia, maka produksi pertanian dapat berjalan dan negara akan mendapat banyak pendapatan. Pembangunan dapat berjalan dan rakyat diuntungkan.

Sejak tahun 1930, Abdulaziz sudah melakukan pencarian atas keberadaan air dengan meminta bantuan Charles R. Crane, filantropis asal AS. Crane lantas menyuruh anak buahnya, seorang ahli geologi bernama Karl Twitchell yang sangat berpengalaman membangun infrastruktur di Yaman, untuk memimpin proyek ini.

Penelusuran dimulai dari wilayah barat. Twitchell melakukan analisis lapangan dan pengeboran sumur air yang dilakukan selama berbulan-bulan. Namun, semua tempat yang sudah dilubangi mata bor tidak ada satupun yang mengeluarkan air. Kegagalan ini semakin memperkuat argumen bahwa wilayah Saudi memang ditakdirkan untuk kekurangan air.

Meski demikian, Abdulaziz tidak menyerah. Ia yakin bahwa di wilayah kekuasaanya tersimpan sumber daya alam yang melimpah. Bahkan tidak hanya air, tetapi juga minyak. Keyakinan ini mengacu pada fakta bahwa wilayah tetangganya di Persia sudah menemukan minyak. Alhasil, pada akhir 1931 ia mengontrak Twitchell untuk kedua kalinya. Tugasnya kini adalah mencari kemungkinan minyak di wilayah timur Saudi.

Tugas baru Twitchell inilah yang membawa Arab Saudi bertemu pertama kali dengan perusahaan AS yang bergerak di bidang perminyakan, SOCAL. Kelak, SOCAL menjelma menjadi California Arab Standard Oil Company (CASOC), cikal bakal Saudi Arabian American Oil Company (ARAMCO)—salah satu perusahaan minyak terbesar dan tersukses di dunia.

Menjadi Negara Petro Dollar

Pada 29 Mei 1933, Kerajaan Arab Saudi secara resmi menjalin kerjasama dengan SOCAL untuk pencarian minyak. Ini memiliki urgensi yang sangat kuat karena Saudi kala itu terancam bangkrut akibat terjadi penurunan kas negara sebagai dampak berkurangnya jumlah peziarah yang datang. Menurut Naief M. Almtairi dalam thesisnya berjudul “Development of Oil and Societal Change In Saudi Arabia” (1985), mayoritas pendapatan Arab Saudi pada tahun 1930-an berasal dari kedatangan para peziarah dari seluruh dunia.

Ketika depresi ekonomi menghantam, kunjungan peziarah ke Makkah dan Madinah untuk umroh ataupun haji menurun drastis. Bila pada tahun 1930 terdapat 100 ribu peziarah, maka tiga tahun kemudian secara berturut-turut hanya terdapat 20 ribu peziarah. Akibatnya, Saudi pun harus memutar otak dengan mencari sumber penghasilan lain. Dan eksplorasi minyak adalah harapan satu-satunya.

Pada akhir 1933, dimulailah operasi pencarian minyak di timur Saudi. Tim geologi AS pimpinan Max Steineke dikirim untuk melakukan pengeboran. Mereka dibantu oleh penduduk lokal yang paham kondisi lapangan bernama Khamis bin Rimthan. Namun, setelah beberapa tahun hasilnya lagi-lagi nihil. Pencarian minyak baru dilanjutkan pada tahun 1935.

Infografik Mozaik Minyak Pertama Arab Saudi

Infografik Mozaik Minyak Pertama Arab Saudi. tirto.id/Tino

Pada 3 Maret 1938, tepat hari ini 84 tahun silam, para ahli geologi yang melakukan pengeboran berhasil menemukan ladang minyak di Arab Saudi untuk pertama kalinya. Temuan ini juga berhasil mencatatkan rekor sebagai ladang minyak mentah terbesar di dunia saat itu. Sekaligus meyakinkan para peneliti bahwa masih banyak ladang minyak lainnya yang belum terungkap.

Pengelolaan ladang minyak yang disebut sebagai “sumur kemakmuran” itu jelas membuat Arab Saudi berhasil mendapatkan keuntungan banyak. Bahkan menjadi jaminan sumber keuangan Saudi di masa mendatang. Istana raja dapat berdiri mewah dan megah. Kota-kota baru berhasil dibangun. Kesejahteraan rakyat meningkat. Air yang semula langka bukan lagi menjadi persoalan. Dengan uang dan bantuan teknologi, air bisa didapat dengan mudah.

Dalam perjalanannya, minyak tidak hanya menghasilkan keuntungan ekonomi, tetapi juga membawa kekuatan politik yang besar. Keberadaan minyak sukses membawa Saudi ke dalam rangkaian interaksi politik dan ekonomi global yang membentuknya menjadi negara modern. Dan berkat minyak pula, Saudi mengamankan dukungan ekonomi dan politik dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat.

Baca juga artikel terkait ARAB SAUDI atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi