tirto.id - Sejak berhasil mengontrol penyebaran COVID-19 di dalam negeri pada awal Maret 2020, fokus pemerintah Cina perlahan bergeser pada pengerahan bantuan logistik ke luar negeri. Misalnya, saat Italia berjuang di puncak gelombang infeksi, tim medis Cina mendarat di Roma bersama 30 ton alat-alat kesehatan yang diorganisir oleh Palang Merah Cina. Kondisi Italia tidak digubris tetangganya di Uni Eropa, karena masing-masing ingin menjaga stok masker dan perlengkapan medis untuk warga negaranya sendiri.
Pada Mei, Indonesia menerima bantuan alat medis batch kedua dari Cina. Upacara serah terima dilakukan oleh Dubes Cina dan Menhan Prabowo, tampak dari foto mereka memegang spanduk merah bertuliskan “Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing” dengan kalimat beraksara Cina di bawahnya. Papua Nugini juga menerima donasi peralatan medis dari pemerintah Cina, disponsori pemerintah provinsi Fujian dan Guangdong serta sejumlah perusahaan Cina.
Tak ketinggalan, bangsa-bangsa Afrika dan negara-negara Teluk seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, Oman, Kuwait memperoleh sokongan logistik medis dari Cina.
Langkah Cina memperluas jangkauan bantuan kesehatannya sempat menuai pujian dari media Amerika, The New York Times. Pemerintah Cina jadi punya kesempatan, tulis The Times, untuk “memposisikan ulang diri sebagai pemimpin dunia yang bertanggung jawab di tengah krisis global, alih-alih sebagai inkubator pandemi yang otoriter”. Peranan Cina otomatis menggeser negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang biasanya nampak gesit dalam penanganan bencana alam atau krisis kesehatan.
Ambisi Vaksin Xi Jinping
Selain aktif memenuhi kebutuhan global akan alat-alat kesehatan, pemerintah Cina juga ambisius mengembangkan riset vaksin COVID-19. Melalui pernyataan resmi Presiden Xi Jinping pada Mei 2020, pemerintah Cina akan mengusahakan vaksin COVID-19 sebagai “barang publik dunia” yang mudah diakses dan harganya terjangkau bagi masyarakat di kawasan ekonomi berkembang.
Xi akan menyediakan dana sebesar USD 2 milyar untuk menyokong negara-negara berkembang dalam melawan pandemi selama dua tahun ke depan. Pinjaman dana akses vaksin senilai USD 1 milyar juga digelontorkan Cina untuk negara-negara Amerika Latin dan Karibia.
Xi tak main-main dengan keseriusannya memproduksi vaksin yang terjangkau bagi semua orang di dunia. Pada November silam, komitmen itu disampaikannya kembali pada KTT G20 di hadapan pemimpin tinggi Eropa, AS, Rusia, Saudi Arabia, India, termasuk Indonesia.
Sampai hari ini, sudah ada empat jenis vaksin menjanjikan dari Cina: dua diproduksi oleh BUMN Sinopharm, sementara yang lainnya dibuat oleh perusahaan bioteknologi Sinovac dan CanSino Biologics. Pemerintah Cina sudah memberikan prioritas akses vaksin-vaksinnya kepada negara-negara Afrika, Arab, Amerika Selatan dan Asia (terutama ASEAN). Uji coba tahap ketiga vaksin juga sudah dilaksanakan di antaranya di Brasil, Bahrain, Turki, Indonesia, Uni Emirat Arab.
Hasil uji coba vaksin yang dilakukan oleh sejumlah negara di atas menunjukkan tingkat efikasi berbeda-beda, meskipun semua masih di atas 50 persen—sesuai ambang batas minimum dari WHO. Selain itu, transparansi data tentang hasil uji coba tahap akhir vaksin-vaksin tersebut dipertanyakan, karena diumumkan sebatas lewat siaran pers. Berbeda dari vaksin Moderna, Pfizer-BioNtech, Oxford-AstraZeneca, yang mendapat izin guna darurat setelah hasil uji klinis tahap tiganya dipublikasikan di jurnal kesehatan berakses terbuka.
Negara-negara ekonomi berkembang di kawasan tropis Asia, Amerika Selatan, dan Timur Tengah menunjukkan animo tinggi terhadap vaksin-vaksin Cina. Harga vaksin-vaksin ini memang relatif lebih murah dan metode penyimpanannya praktis dibandingkan dengan vaksin lainnya lain.
Pada waktu bersamaan, komitmen Cina untuk menyediakan produk kesehatan terjangkau menimbulkan pertanyaan tentang motif politik di baliknya. Yanzhong Huang dari Council on Foreign Relations menyampaikan kepada The World bahwa vaksin bisa menjadi alat diplomasi “soft power” Cina. Menurut Huang, dengan menjanjikan atau menyediakan vaksin kepada negara-negara yang membutuhkannya, terkandung ekspektasi bahwa mereka akan menunjukan sikap lebih lunak terhadap isu-isu politik yang tengah dihadapi Cina. Huang menambahkan, “Dengan memitigasi celah akses antara negara berkembang dan negara pengembang, Cina juga menggambarkan dirinya sebagai kekuatan dunia yang jinak”.
Hal senada disampaikan oleh Eyck Freymann dan Justin Stebbing di Foreign Affairs, bahwa Cina tampak “percaya diri untuk mendominasi distribusi vaksin ke negara-negara berkembang dan meraup keuntungan strategis dari situ”. Langkah Cina berbeda dari Amerika, yang di bawah administrasi Trump tak menunjukkan niatan untuk terlibat dalam usaha distribusi vaksin ke penjuru dunia, bahkan menolak berpartisipasi dalam program WHO untuk menyediakan vaksin terjangkau bagi warga dunia rentan.
Menurut Freymann dan Stebbing, pendekatan AS terhadap perkembangan dan distribusi vaksin didasari oleh prinsip “America first”. Akibatnya, Cina lebih berpeluang lebih besar untuk tampil sebagai pahlawan penyedia jasa kesehatan bagi negara-negara berkembang, sekaligus meningkatkan kepemimpinan di tingkat dunia.
Vaksin Memperkokoh Bisnis Cina di Timur Tengah
Di Uni Emirat Arab (UAE), diplomasi vaksin Cina tampak memuluskan relasi dagang kedua negara yang sudah terjalin sekian lama. UAE, salah satu negara Teluk kaya raya, bergantung banyak pada vaksin Sinopharm. Sampai pertengahan Januari ini, UAE mencatat angka kesuksesan vaksinasi per 100 orang tertinggi kedua di dunia. UAE juga berencana untuk memproduksi Sinopharm di dalam negeri, agar kelak bisa membantu memenuhi kebutuhan vaksin di negara-negara lain di Timur Tengah.
Merujuk pada analisis The Economist, Cina tampaknya semakin bahagia bisa membawa masuk Sinopharm ke UAE. Sebelumnya, pebisnis-pebisnis telekomunikasi UAE sudah meneken kontrak jaringan 5G dengan Huawei, yang masuk dalam daftar hitam perusahaan di Amerika. Relasi militer pun juga terjalin baik, tampak dari sejumlah drone buatan Cina yang digunakan UAE. Cina menjadi salah satu jawaban UAE untuk mendiversifikasi partner dagang yang sebelumnya diisi dunia Barat.
Kerjasama ekonomi UAE-Cina ini baru nampak sekitar 10 tahun silam, dimulai dari bidang budaya seperti pendidikan dan pariwisata. Kemesraan kedua negara mencapai puncaknya pada 2019 melalui kerjasama di bidang perminyakan, energi terbarukan, sampai pembangunan stasiun hub di pelabuhan Jebel Ali senilai USD 2,4 milyar untuk menyimpan dan mengirim logistik Cina ke seluruh penjuru dunia.
Jalur Sutra untuk Infrastruktur Medis
Di sisi lain, kepentingan strategis Cina untuk memperluas jangkauan layanan medis termasuk vaksin selama pandemi COVID-19 ini, juga bertujuan untuk mendorong kemajuan infrastruktur medis di negara-negara berkembang, sebagaimana yang tertera dalam kerangka kebijakan Health Silk Road (HSR).
Diterjemahkan sebagai “Jalur Sutra Kesehatan”, HSR merujuk pada rute historis perdagangan kain sutra oleh saudagar Asia, Arab dan Eropa di masa lampau. HSR pertama kali diungkapkan Xi dalam pidato 2016 sebagai perpanjangan dari BRI (Belt Road Initiative), strategi pemerintah Cina untuk membangun infrastruktur darat dan maritim demi mendorong aktivitas dagang dan kemajuan ekonomi antarbangsa Asia, Eropa, dan Afrika.
HSR awalnya berkaitan dengan kebijakan domestik kesehatan Cina, sampai akhirnya pandemi COVID-19 mempertegas urgensi pembangunan infrastruktur kesehatan publik bagi negara-negara ekonomi berkembang. Demikian disampaikan dalam studi (PDF) berjudul “COVID-19, Belt and Road Initiative and the Health Silk Road: Implications for Southeast Asia” oleh Dr. Ngeow Chow Bing yang dirilis Friedrich Ebert Stiftung," Oktober silam.
HSR menjadi bingkai kebijakan pemerintah Cina dalam “memperkuat dan mereformasi sistem bantuan kesehatan untuk asing, meningkatkan pengaruh [Cina] dalam tata kelola kesehatan global dan regional, menyalurkan investasi BRI untuk investasi kesehatan publik, memperbesar peran Cina dalam pasokan produk dan layanan medis” serta, tentu saja, “meningkatkan citra [bangsa Cina]”.
HSR melingkupi proyek-proyek pemasokan produk medis buatan Cina dan vaksin, yang kelak berdampak pada aktivitas ekonomi di kawasan Asia Tenggara yang mayoritas negaranya sudah punya relasi dagang dengan Cina dan kebijakan luar negerinya cenderung netral.
Menurut Ngeow, sejumlah besar negara ASEAN—terutama yang berpenghasilan menengah seperti Malaysia, Thailand, Indonesia dan Filipina—berpotensi menerima investasi dari Cina dalam bentuk pendanaan langsung, relokasi atau ekspansi pabrik manufaktur alat kesehatan Cina. Cina juga berpeluang berinvestasi dalam sektor layanan—misalnya dalam bentuk pembangunan rumah sakit cabang—di kawasan ASEAN, sampai mempromosikan pariwisata kesehatan ke Cina kepada konsumen kelas menengah-atas di Asia Tenggara.
Laporan Ngeow menyimpulkan, sepanjang kepentingan nasional masing-masing negara aman, ekspansi bisnis kesehatan Cina dalam kerangka HSR ini bisa menguntungkan ASEAN. Berbagai program pertukaran kegiatan ilmiah dan kerjasama medis yang dinegosiasikan dengan baik, kelak juga bermanfaat bagi tenaga profesional kesehatan di masing-masing negara.
Editor: Windu Jusuf