tirto.id - Pada September 2013, Presiden China Xi Jinping melawat ke Kazakhstan. Di Universitas Nazarbayev, ia bercerita tentang Silk Road Economic Belt atau Sabuk Ekonomi Jalur Sutra. Jalur Sutra sendiri merupakan rute perdagangan legendaris yang pernah membuat nenek moyang mereka berjaya pada masa lampau.
Sebulan kemudian, Presiden Xi menyampaikan gagasan serupa saat berkunjung ke Indonesia, tepatnya pada Oktober 2013. Di hadapan parlemen RI, ia mengajak Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara untuk menciptakan 21st Century Maritime Silk Road atau Jalur Sutra Maritim Abad ke-21.
Menurut Alfred J. Andrea dalam esai berjudul The Silk Road in World History: A Review Essay (2014), Jalur Sutra Kuno merupakan jaringan rute perdagangan trans-Eurasia yang menghubungkan Asia Timur dan Asia Tenggara ke Asia Tengah, India, Asia Barat Daya, Mediterania, dan Eropa Utara. Jalur ini berkembang dari 100 SM hingga 1450.
Bermodalkan ekonomi terbesar kedua di dunia, Tiongkok – penamaan China oleh Indonesia – kini berhasrat mengembalikan kejayaan Jalur Sutra dalam versi modern. Proyek ambisius ini awalnya bernama One Belt One Road. Tapi karena alasan tertentu, namanya diganti menjadi Belt and Road Initiative (BRI) atau Inisiatif Sabuk dan Jalan.
Tiongkok bertekad menghubungkan ekonomi Asia, Eropa dan Afrika melalui pembangunan di bidang infrastruktur yang mencakup pelabuhan, jalur kereta api, jalan raya, jembatan, bandara, bendungan hingga pembangkit listrik. Demi mewujudkannya, mereka menyediakan pinjaman bagi negara-negara yang mau bergabung.
Proyek Tiongkok bersifat inklusif, tidak terbatas wilayah Jalur Sutra kuno. Berdasarkan catatan Green Finance and Development Center (GFDC), terdapat 148 negara yang sudah ikut serta dalam program ini hingga April 2023.
Sedangkan menurut laporan Kazinform, jumlahnya mencapai 152 negara pada akhir Juni 2023.
Sejak diumumkan pada 2013 lalu, GFDC menyebut bahwa total akumulasi pembiayaannya tembus USD1 triliun, terdiri atas USD596 miliar kontrak konstruksi dan USD420 miliar investasi non-keuangan.
Kemudian, bila diperinci, hingga pertengahan tahun ini, tercatat 103 kesepakatan di bawah Belt and Road Initiative dengan nilai mencapai USD43,3 miliar. Investor Tiongkok menunjukkan keterlibatan yang cukup besar di tahun ini.
Musababnya keterlibatan dalam bentuk investasi membukukan nilai yang lebih tinggi yakni USD24,1 miliar.
Sementara keterlibatan dalam bentuk kontrak konstruksi hanya sebesar USD16,3 miliar.
Dari kedua grafik di atas terlihat bahwa, umumnya Tiongkok lebih banyak dalam bentuk kontrak kontruksi. Transisi komposisi tersebut, adalah strategi untuk menyesuaikan manajeen risiko negara BRI.
Dampak Global Jalur Sutra Modern
Proyek yang diinisiasi Tiongkok ini menjadi topik yang paling sering didiskusikan oleh ekonom saat ini karena melibatkan lebih dari 2/3 populasi dunia.
Merujuk hasil studi Md Rasel dkk berjudul Belt and Road Initiative (BRI) of China: Connecting the World for Sustainable Economic Development (2020), BRI berpotensi mendongkrak ekonomi negara-negara anggotanya melalui pembangunan infrastruktur, perdagangan, pertukaran budaya, dan perjanjian politik bersama.
Oleh karenanya penulis merekomendasi negara-negara yang tergabung untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dan membangun jaringan yang efektif di bawah inisiatif proyek BRI.
Selaras dengan penelitian tersebut, World Bank mengambil langkah lebih jauh dengan menganalisa keuntungan riil yang didapat. Berdasarkan hasil studi World Bank, proyek Belt and Road Initiative (BRI) berpotensi meningkatkan pendapatan riil global setinggi 0,7% pada 2030 mendatang.
Jika diperinci dari perdagangan internasional, proyek ini diprediksi akan mendongkrak pertumbuhan impor sebesar 3,4% pada 2030 seiring semakin rendahnya biaya impor. Lalu pertumbuhan ekspor diproyeksi naik 2,8% pada periode yang sama.
Tidak hanya itu, Bank Dunia juga menganalisa bahwa investasinya dapat berkontribusi menyelamatkan 8,7 juta orang dari kemiskinan ekstrem dan 34 juta orang dari kemiskinan sedang.
Meskipun demikian, tentu saja manfaat yang diterima Tiongkok sebagai inisiator adalah paling tinggi.
Melalui penelitian berjudul The Belt and Road Initiative (BRI): What Will it Look Like in the Future? (2022), Vera Schulhof dkk menyimpulkan proyek Jalur Sutra modern akan menyebabkan peralihan kekuasaan ekonomi global ke arah timur dengan tingkat yang berbeda-beda di setiap skenario, di mana hampir di setiap skema Tiongkok akan memegang pengaruh terbesar.
Untuk meminimalisir dampak negatif dan memperoleh manfaat maksimal atas proyek BRI, penulis merekomendasikan pada negara anggota untuk senantiasa meningkatkan partisipasi dan memperbarui keterwakilan dalam perjanjian multilateral. Hal itu bertujuan untuk memperbesar kekuatan negosiasi dan memitigasi risiko utang.
Keterlibatan Indonesia
Indonesia telah bergabung dalam Belt and Road Initiative sejak 2015 lalu. Selaku jagoan di ASEAN, Indonesia ambil peran penting dalam agenda besar Tiongkok. Merujuk laporan Green Finance and Development Center, negara kita menerima investasi terbanyak pada paruh pertama 2023, nilainya mencapai USD5,6 miliar.
Satu di antara proyek BRI di Indonesia adalah pembangunan Kereta Api Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Setelah menuai kontroversi dan pengerjaannya yang berlarut-larut, kereta cepat bernama Whoosh ini akhirnya diresmikan Presiden RI Joko Widodo pada Senin (2/10/2023) lalu.
Dengan kemampuan melesat hingga 350 kilometer per jam, Whoosh dinobatkan sebagai kereta tercepat di Asia Tenggara. Ia mampu memangkas waktu tempuh Jakarta-Bandung menjadi hanya 40 menit. KCJB dikelola oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang didirikan pada Oktober 2015.
PT KCIC merupakan perusahaan patungan antara konsorsium Badan Usaha Milik Negara Indonesia (BUMN) melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co., Ltd. Pada 2016, proyek KCJB ditetapkan sebagai satu di antara Proyek Strategis Nasional.
Peletakan batu pertama proyek ini dilakukan pada tahun yang sama oleh Presiden Joko Widodo di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Setelah itu, facility agreement pembiayaan prasarana dan sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung disepakati PT KCIC dan China Development Bank pada 2017. Penandatanganan disaksikan masing-masing kepala negara.
Berdasarkan studi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) pada 2023, tata kelola pengerjaan proyek KCJB berlangsung kurang baik. Sebelum diresmikan, pembangunan kereta cepat mengalami bermacam masalah. Mulai dari menyebabkan ledakan pipa BBM Pertamina, banjir, hingga kemacetan.
Pada 2020, sejumlah rumah warga di Kabupaten Bandung Barat retak akibat pembuatan terowongan jalur kereta cepat memakai bahan peledak. Pada 2022, kereta teknis anjlok dan keluar jalur. Insiden ini menelan enam orang korban, dua orang meninggal dunia dan empat lainnya luka-luka. Semua korban merupakan pekerja asing asal Tiongkok.
Kontroversi terbesar dalam pengerjaan proyek KCJB adalah sisi pembiayaan. Pada 2015, Tiongkok menargetkan dana pembangunannya senilai USD5,13 miliar atau setara Rp76,95 triliun (kurs Rp 15.000 per USD). Namun seiring waktu, biaya pengerjaannya membengkak jadi USD6,07 miliar atau setara Rp91,5 triliun.
Pembengkakan terus berlanjut hingga mencapai USD8 miliar atau setara Rp120 triliun. Pada akhir 2022, legislatif menyetujui penyertaan modal Rp3,2 triliun untuk proyek KCJB. Keputusan ini menimbulkan protes. Sebab proyek tersebut awalnya disepakati menggunakan skema business to business tanpa melibatkan anggaran negara.
Pemerintah akhirnya menyepakati pembengkakan biaya proyek senilai USD1,2 miliar atau setara Rp17,89 triliun pada 2023. Dengan begitu, total biaya proyek telah mencapai USD7,27 miliar atau Rp110,5 triliun. Demi menutupinya, PT KCIC menambah utang USD560 juta dari China Development Bank.
Korban Jebakan Utang China
Kekhawatiran terhadap jebakan utang Tiongkok atau China’s debt trap bukan tanpa alasan. Sejumlah negara telah merasakan sendiri akibatnya. Tiongkok dianggap sengaja memanfaatkan negara miskin dan berkembang untuk memperkuat posisi melalui diplomasi Belt and Road Initiative.
Dari grafik di atas terbukti bahwa 10 negara dengan akumulasi nilai kesepakatan tertinggi mayoritas adalah negara berkembang yang masuk dalam ketegori level pendapatan rendah-menengah.Pakistan yang berada di posisi teratas dan merupakan partner pertama China, tampaknya mulai memilih untuk mulai membatasi kerja sama dalam proyek BRI. Pasalnya, pada periode Januari-Juni 2023 nilai kesepakatan Tiongkok turun 74%.
Lebih lanjut, berdasarkan hasil studi CELIOS, beberapa negara yang terlibat dalam proyek BRI kini berisiko tinggi terjebak perangkap utang Tiongkok. Di antaranya Kazakhstan, Mongolia, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Indonesia.
Untuk diketahui, terdapat empat bidang infrastruktur yang dibangun Indonesia melalui skema BRI. Selain jalan dan kereta api, proyeknya juga menyasar pembangkit listrik tenaga air dan uap serta kawasan industri. Nilai pembangunannya mencapai USD20,3 miliar.
Indonesia tergolong negara peserta Belt and Road Initiative yang mengalami indikasi skandal dan kontroversi tertinggi. Terdapat sembilan proyek yang terindikasi dengan total nilai mencapai USD5.224 juta.
Lalu bagaimana nasib negara lain yang sudah terlanjur terjerumus jebakan utang Tiongkok?
Beberapa tahun lalu, Zimbabwe menerima pinjaman dalam jumlah besar dari Tiongkok untuk keperluan memberantas para pemberontak di perbatasan. Namun karena tak mampu membayar, ranjau utang menjerat Zimbabwe. Mereka akhirnya menambahkan yuan sebagai mata uang resmi negara mulai 2016 lalu.
Nasib tak jauh berbeda dialami Nigeria. Akibat gagal bayar utang BRI, mereka terpaksa memasukkan pekerja asing asal Tiongkok untuk membangun infrastruktur. Selain itu, Nigeria juga harus membeli bahan baku dari Negeri Tirai Bambu.
Korban lainnya adalah Uganda. Lantaran tak mampu membayar utang, bandara mereka diambil alih oleh Tiongkok. Begitu pula Sri Lanka. Setelah gagal mengembalikan pinjaman, mereka harus merelakan saham mayoritas pelabuhan jatuh ke genggaman Tiongkok selama 99 tahun.
Editor: Dwi Ayuningtyas