Menuju konten utama

Gen Z dan Milenial Bersiaplah Dapat Warisan Utang Ribuan Triliun

Rezim pemerintahan RI selalu mewariskan utang. Anggaran yang sepatutnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, harus direlakan untuk melunasi pinjaman.

Gen Z dan Milenial Bersiaplah Dapat Warisan Utang Ribuan Triliun
Ilustrasi Utang. foto/Istockphoto

tirto.id - Masyarakat resah dengan utang-utang yang bakal ditinggalkan oleh Pemerintahan Jokowi. Jika penggunaan utang yang jumlahnya hingga 31 Maret 2023 mencapai Rp 7.879,07 triliun atau 39,17% dari Produk Domestik Bruto (PDB) itu tidak tepat, Indonesia dikhawatirkan bakal masuk dalam jebakan utang (debt trap) yang membebani generasi mendatang.

Jebakan utang atau situasi yang membuat Indonesia sulit untuk membayar utang ini berpotensi terjadi dalam pembangunan infrastruktur ambisius yang dibiayai dari utang Cina. Salah satu yang yang menuai kontroversi itu adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).

Menurut Direktur Kajian Indonesia-China Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhammad Zulfikar Rakhmat, Indonesia harus hati-hati dengan peningkatan utang dan ketergantungan Indonesia terhadap Tiongkok. Risiko jebakan utang ini tidak bisa dianggap remeh.

Saat ini, Indonesia dinilai masih mampu untuk membayar utang tersebut, meski dengan cara gali lubang tutup lubang atau menciptakan utang baru untuk membayar utang lama.

Sementara itu, Mantan Sekretaris BUMN Said Didu dalam cuitannya di twitter berpendapat, bukti Indonesia masuk jebatan utang Cina di KCJB itu adalah terjadinya pembengkakan anggaran, penolakan penurunan bunga pinjaman dari Cina dan permintaan agar pinjaman dijamin APBN. Padahal, sejak awal, pemerintah menjanjikan proyek ini tidak dibiayai oleh APBN.

Biaya KCJB juga membengkak yang memaksa pemerintah berutang lagi ke Cina senilai USD1,2 miliar atau kisaran Rp18 triliun (kurs Rp15.000/USD). Total biaya proyek KCJB yang pembangunannya berlangsung sejak tahun 2016 itu membengkak dari rencana awal Rp86,67 triliun menjadi sekitar Rp131 triliun, naik 51,15%.

Said Didu menambahkan, ada beberapa tahap yang mengindikasikan proyek ini masuk jebakan utang.

Pertama, Cina tiba-tiba datang dan menawarkan biaya proyek yang jauh lebih murah dari Jepang. Kedua, Cina meminta jaminan pemerintah Indonesia. Ketiga, investasi dinaikkan berkali-kali dan akhirnya pemerintah mendanai lewat PMN (Penyertaan Modal Negara). Keempat, pemerintah mengajukan utang ke Bank Cina dalam jumlah fantastis.

Tampaknya, Tiongkok juga sudah mengerti risiko itu, sehingga menekan Pemerintah Indonesia untuk menjadikan APBN sebagai jaminan utang KCJB. Cina juga menolak menurunkan bunga utangnya dari 3,4% menjadi 2%.

KCJB ditargetkan operasional pada 18 Agustus 2023, mundur dari rencana awal pada Juni 2023. Kereta tersebut ditargetkan bisa mengangkut 31.125 orang penumpang setiap harinya dengan harga tiket mulai dari Rp150 ribu sampai Rp350 ribu tergantung rute.

Jika target penumpang itu tercapai, pendapatan KCJB minimal kisaran Rp5 miliar per hari. Namun, bila target yang diharapkan tidak tercapai, KCJB tentu bakal menjadi tambahan beban pemerintah.

Awalil Rizky dan Nasyith Majidi dalam bukunya yang berjudul Utang Pemerintah Mencekik Rakyat mengungkapkan ciri-ciri Negara Sedang Berkembang (NSB) adalah terjerat utang, karena tidak punya modal awal untuk melakukan pembangunan ekonomi. Setiap rezim yang berkuasa selalu mewariskan utang, yang jumlahnya dari waktu ke waktu terus naik.

Utang pertama yang dimiliki negeri ini adalah warisan dari Pemerintah Hindia Belanda sebesar USD4 miliar sesuai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia dengan persyaratan membayar utang tersebut.

Namun, Soekarno tidak mampu membayar semua utang tersebut dan di akhir pemerintahannya, mewariskan ULN (utang luar negeri) Rp794 miliar atau setara USD2,4 miliar kepada Pemerintahan Soeharto. Jumlah utang itu setara dengan 29% PDB saat itu.

Berikutnya, Pemerintahan Soeharto mewariskan utang kepada Pemerintahan Habibie sebesar Rp551,4 triliun atau setara 57,7% dari PDB. Pemerintahan Habibie dalam dua tahun berkuasa meninggalkan ULN sebesar Rp938,8 triliun atau 85,4% dari PDB.

Sedangkan Pemerintahan Gus Dur memiliki utang sebesar Rp1.271,4 triliun atau 77,3% dari PDB, Pemerintahan Megawati sebesar Rp1.298 triliun atau 56,5% dari PDB, dan Pemerintahan SBY sebesar Rp2.608 triliun atau 24,7% dari PDB

Berutang tampaknya sudah menjadi tradisi turun temurun dari rezim yang berkuasa. Warisan utang ini yang dikhawatirkan oleh rakyat. Berapa banyak lagi utang akan dicetak oleh setiap rezim yang berkuasa.

Apakah sumber daya alam yang melimpah di negeri ini tidak mampu untuk memberi makan rakyatnya? Mengapa setelah 78 tahun Kemerdekaan RI, Indonesia belum bisa menjadi bangsa yang berdaulat secara ekonomi? Pertanyaan-pertanyaan ini yang ada dibenak rakyat.

Infografik Warisan Utang Kian Menggunung

Infografik Warisan Utang Kian Menggunung. tirto.id/Ecun

Tidak Anti Utang

Masyarakat sebenarnya tidak anti utang, bila utang itu mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memberikan kesejahteraan yang merata pada rakyatnya. Saat ini, pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan gemilang oleh pemerintah baru terdengar indah di telinga.

Tahun 2022, Bappenas melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia naik sebesar 5,31% atau melampaui pertumbuhan ekonomi negara-negara maju. Ekonomi Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura masing-masing hanya tumbuh sebesar 2,1%, 3,0%, 1,0%,2,6%, dan 3,8%.

Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu belum banyak dinikmati oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), hingga September 2022, sebanyak 26,36 juta orang Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan. Angka tersebut diperoleh, jika garis kemiskinan itu dihitung dengan penghasilan hanya Rp535 ribu per bulan.

Apalagi, jika menggunakan basis perhitungan garis kemiskinan dari Bank Dunia terbaru yang dinaikkan dari USD1,9 menjadi USD2,15 per hari (Rp32.745 per hari) atau Rp982 ribu per bulan (kurs Rp15.230/USD), maka 40% orang Indonesia masuk kategori orang miskin. Artinya, pengentasan kemiskinan masih menjadi permasalahan pelik negara saat ini.

Utang pemerintah

Dari sisi utang pemerintah dilaporkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam kondisi aman dan terkendali. Batasan utang pemerintah dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60 persen dari PDB dan defisit APBN maksimal 3% dari PDB.

Kementerian Keuangan dalam dokumen APBN Kita edisi Mei 2023 melaporkan, posisi utang Indonesia mencapai Rp7.879,07 triliun per 31 Maret 2023. Dengan jumlah tersebut, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 39,17%. Alhasil, posisi utang ini masih berada di dalam batas aman dan terkendali.

Dari jumlah utang pemerintah tersebut, utang Indonesia ke Cina hingga akhir Maret 2023 telah mencapai angka USD20,38 miliar atau setara dengan Rp301,62 triliun (asumsi kurs Rp14.800/USD). Pinjaman tersebut naik dua kali lipat dari USD10 miliar jika dibandingkan dengan era Presiden SBY.

Banyak yang berpikir, Cina adalah negara pemberi pinjaman atau kreditur terbesar Indonesia. Faktanya, berdasarkan laporan ULN yang dirilis Bank Indonesia pada Februari 2023, kreditur terbesar Indonesia adalah Singapura dengan nilai pinjaman senilai USD57,44 miliar.

Pinjaman dari Cina tersebut banyak dipakai untuk membiayai pembangunan infrastruktur, diantaranya Proyek KCJB yang memicu kekhawatiran publik bakal memasukkan Indonesia dalam jebakan utang. Dengan profil utang tersebut, pemerintah optimistis bisa membayar utang. Jika ULN itu dilakukan oleh BUMN, menurut Kemenkeu, bukan tanggungan negara.

“BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Segala hal yang timbul atas corporate action merupakan tanggung jawab BUMN yang bersangkutan dan bukan utang negara, “ cuit Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo dalam Twitter pribadinya Kamis (1/6/2023), menanggapi kabar adanya utang tersembunyi dari BUMN.

Namun demikian, banyak yang menginginkan ULN B to B dari BUMN ikut dicatat di neraca negara. Alasannya, BUMN adalah korporasi yang sahamnya dimiliki oleh negara.

Ada yang sahamnya 100% milik negara, ada yang kurang dari 100%, dan ada juga yang kepemilikannya minoritas dengan hak eksklusif (hak veto) yang disebut saham merah putih. Jika BUMN bermasalah, pemerintah pasti bakal “cawe-cawe.”

Sebagai contoh saat BUMN PT Garuda Indonesia Tbk bermasalah dalam pembayaran leasing pesawat, maka negara melalui PMN, menggunakan uang APBN untuk menyelamatkan kelangsungan usahanya.

Contoh lain, Menteri BUMN Erick Thohir dalam rapat dengan Komisi VI DPR pada 5 Juni 2023 juga mengusulkan PMN senilai Rp57 triliun untuk tahun 2024 guna menyelamatkan BUMN Karya yang terlilit utang.

Artinya, meski sebagai entitas yang terpisah, transparansi utang dari BUMN dinilai penting, karena uang negara ada disitu.

Masyarakat tidak ingin Indonesia masuk jebakan utang, yaitu ketika pemberi pinjaman, (misal pemerintah Cina) dapat mengambil konsesi ekonomi atau politik jika negara yang menerima investasi tidak dapat membayar utangnya.

Negara yang disebut jatuh dalam jebakan utang Tiongkok, diantaranya Sri Lanka. Pelabuhan Hambantota yang dibangun tahun 2008 dengan dana pinjaman sebesar USD361 juta itu gagal bayar, sehingga pemerintah terpaksa menyerahkan hak pengelolaan pelabuhan ke perusahaan Cina. Bahkan, angkatan laut Sri Lanka sampai terusir dari pelabuhan tersebut.

Said Didu mengkhawatirkan musibah yang sama juga akan menimpa Indonesia sebagai dampak dari proyek-proyek investasi Tiongkok saat ini.

“China pasti sdg mengincar Bandara Soekarno-Hatta, Ngurah Rai, dan Pelabuhan Tg. Priok sbg kompensasi,” Ungkap Said melalui cuitannya pada Kamis (13/04/2023).

Utang yang dikelola dengan baik akan bermanfaat, karena bisa menjadi alat pembiayaan yang efektif untuk membiayai proyek-proyek pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Dana dari utang itu untuk membangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor produktif lainnya.

Terdapat beberapa catatan atas kondisi utang yang saat ini sedang dihadapi oleh Ibu Pertiwi.

Pertama, risiko utang. Risiko yang berlebihan dapat menimbulkan risiko ekonomi. Jika negara yang meminjam tidak mampu membayar, dampaknya negara bisa kehilangan kepercayaan dari masyarakat dunia, bahkan bisa menyebabkan terjadi krisis ekonomi.

Kedua, utang harus dikontrol. Utang yang tidak terkendali akan menganggu kestabilan ekonomi negara, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan membebani generasi mendatang. Utang juga memiliki dampak politik dan ketergantungan ekonomi.

Selain itu, negara yang bergantung pada utang rentan terhadap tekanan kreditur atau gampang didikte, sebagaimana saat Indonesia mengalami krisis ekonomi di tahun 1998 dan harus berutang ke Dana Moneter Internasional (IMF). Saat itu, pembangunan di Indonesia banyak yang didikte oleh IMF.

Ketiga, pengelolaan utang harus dilakukan dengan bijaksana. Hal ini mencakup transparansi dalam penggunaan dana pinjaman, pemantauan tingkat suku bunga, jangka waktu utang dan kelayakan proyek yang dibiayai utang.

Jika pengelolaan utang tidak tepat, rakyat yang menjadi korbannya. Biasanya, subsidi-subsidi yang selama ini dinikmati rakyat akan dipangkas, karena uang APBN habis untuk membayar cicilan utang dan bunganya.

Saat ini, menurut mantan Wapres Jusuf Kalla (JK) dalam HUT ke-21 PKS pada Sabtu (20/5/2023), dalam setahun pemerintah harus membayar utang sebesar Rp1.000 triliun, dilansir dari rilis resmi JK.

Hampir sepertiga dari target APBN 2023 yang sebesar Rp3.061,2 triliun sudah habis untuk membayar utang. Tak heran jika banyak permasalahan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat.

Kata JK, masalah sosial yang terjadi saat ini menandakan adanya kondisi sosial yang buruk di negeri ini, khususnya pada pemerataan ekonomi.

Hidup bergelimang utang memang bukan hal yang patut dibanggakan. Apalagi, jika utang itu dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya tersier (kemewahan). Banyak yang berpendapat, Proyek KCJB itu masuk kategori barang tersier, yang sebenarnya belum mendesak untuk dipenuhi saat ini.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. KCJB siap beroperasi pada 18 Agustus ini. Harapannya, semoga multiplier effect atau dampak ikutan berupa bertumbuhnya kantong-kantong perekonomian di sepanjang jalur KCJB segera menjadi kenyataan, sehingga kekhawatiran Indonesia masuk jebakan utang Cina tidak terbukti.

Baca juga artikel terkait UTANG NEGARA atau tulisan lainnya dari Suli Murwani

tirto.id - Ekonomi
Kontributor: Suli Murwani
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas