Menuju konten utama

Banyak Program Ambisius, Penarikan Utang 2025 Harus Hati-Hati

Pembuatan utang baru oleh pemerintah terus meningkat drastis dari waktu ke waktu, terutama melalui penerbitan SBN.

Banyak Program Ambisius, Penarikan Utang 2025 Harus Hati-Hati
Petugas menyusun uang pecahan dolar AS dan rupiah di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Jumat (1/3/2024). Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah naik menjadi Rp8.253,09 triliun per Januari 2024, jumlah utang tersebut naik sebesar Rp108,4 triliun dibandingkan utang di Desember 2023, yakni sebesar Rp8.144,69 triliun. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Presiden terpilih Prabowo Subianto akan menarik utang baru sebesar Rp775,9 triliun pada 2025. Penarikan utang di tahun pertamanya itu lebih tinggi Rp222,8 triliun dari outlook pembiayaan utang di masa terakhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang diperkirakan hanya Rp553,1 triliun. Penambahan utang ini juga menjadi terbesar dalam sejarah Indonesia di luar tahun pandemi yakni 2020-2021.

Dalam Buku II Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 dijelaskan, utang tersebut nantinya digunakan untuk menambal defisit anggaran 2025 yang diperkirakan akan sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada 2025 belanja negara sendiri direncanakan sebesar Rp3.613,1 triliun. Anggaran ini terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.693,2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp919,9 triliun. Sementara pendapatan negara dirancang hanya sebesar Rp2.996,9 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp505,4 triliun.

“Kebijakan pembiayaan dalam rangka menutup defisit anggaran dilakukan dengan tetap menjaga pembiayaan utang dalam batas yang aman dan manageable serta mengoptimalkan pembiayaan non-utang,” tulis dokumen tersebut, dikutip Tirto, Kamis (22/8/2024).

Pembiayaan utang Prabowo akan dipenuhi melalui penarikan pinjaman sebesar Rp133,3 triliun, dengan rincian pinjaman dalam negeri Rp5,2 triliun serta pinjaman luar negeri Rp128,1 triliun. Kemudian diambil juga melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp642,6 triliun.

Di balik penarikan utang baru tersebut, pada 2025, pemerintahan Prabowo juga harus membayar bunga utang sebesar Rp552,8 triliun, naik 10,8 persen dari outlook pembayaran bunga utang 2024. Secara rinci, pembayaran bunga utang itu terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp497,62 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri Rp55,23 triliun.

“Perhitungan besaran pembayaran bunga utang tahun anggaran 2025 secara garis besar meliputi pembayaran bunga atas outstanding utang yang berasal dari akumulasi utang tahun-tahun sebelumnya; rencana pembiayaan utang tahun anggaran 2024 dan tahun anggaran 2025; dan rencana program pengelolaan portofolio utang," jelas dokumen itu.

Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky, melihat penarikan utang besar pada 2025 akibat postur RAPBN merencanakan kenaikan belanja cukup pesat, melampaui target laju kenaikan pendapatan. Sehingga defisit diproyeksikan akan melebar baik secara nominal dan rasio atas PDB

“Rasio utang terhadap PDB per Juli 2024 adalah 38,68 persen. Dengan penambahan utang di RAPBN 2025, rasio ini diproyeksikan akan meningkat menjadi 39,51 persen,” ujar Awali dalam diskusi Review RAPBN 2025: Utang Ngegas, dikutip Kamis (22/8/2024).

Penarikan utang ini, kata Awali, akan semakin meningkatkan rasio utang pemerintah dibandingkan pendapatan negara yang selama era Jokowi meningkat dari 168,27 persen di 2014 menjadi 315,81 persen di 2024. Bila mengikuti RAPBN 2025, rasio utang ini pun diperkirakan akan meningkat lagi menjadi 321,15 persen.

Di sisi lain, pembayaran bunga utang juga akan semakin meningkat. Porsi pembayaran bunga utang terhadap seluruh belanja pemerintah pusat terus meningkat di era Jokowi dari 9,94 persen di 2014 menjadi 19,50 persen pada 2024. Nilainya akan melampaui 20 persen menjadi 20,53 persen di 2025 berdasarkan RAPBN.

“Dengan RAPBN ini, pemerintah diperkirakan akan membayar Rp650 triliun pokok utang dan bunga utang sebesar Rp552,85 triliun, ” jelas Awalil.

Risiko Defisit Melebar

Dengan asumsi di atas, maka risiko kenaikan defisit RAPBN 2025 cukup besar karena potensi melesetnya asumsi dasar ekonomi makro, sehingga pembiayaan utang melebihi yang direncanakan. Bahkan, risiko penambahan posisi utang masih bisa meningkat karena risiko pelemahan nilai tukar.

“Asumsi dasar ekonomi makro untuk 2025 yang pernah diproyeksikan pada Nota Keuangan 2022, 2023, dan 2024 hampir seluruhnya meleset dari perkembangan saat ini. Asumsi yang dipakai RAPBN 2025 lebih buruk dari proyeksi Nota Keuangan tahun-tahun terdahulu,” kata Awali.

Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, menambahkan dengan banyaknya program prioritas pemerintahan Prabowo, termasuk pembangunan IKN, program Makan Bergizi Gratis (MBG), rencana pembentukan kementerian/lembaga baru, dan masih terbukanya peluang merubah APBN 2025 melalui mekanisme APBN-P, maka peluang defisit anggaran menembus 3 persen dari PDB itu dimungkinkan.

Belum lagi, kata Yusuf, bila memperhitungkan sensitivitas APBN terhadap perubahan asumsi makro ekonomi yang akan menaikkan beban pengeluaran negara, seperti pelemahan kurs rupiah dan kenaikan harga minyak dunia terkait ketidakpastian global yang masih tinggi.

“Maka peluang defisit menembus 3 persen dari PDB itu nyata, tidak mengada-ada,” ujar Yusuf kepada Tirto, Kamis (22/8/2024).

Risiko pelebaran defisit anggaran itu, kata Yusuf, datang bersamaan dengan besarnya beban utang. Dalam dekade terakhir, terlihat determinan yang semakin dominan pada terus meningkat-nya defisit anggaran, yakni stok utang pemerintah serta beban bunga-nya. Tumpukan utang yang kini menggunung telah menyebabkan beban bunga utang yang sangat besar.

Maka, pembuatan utang baru di 2025 dan kenaikan stok utang pemerintah kini tidak lagi sekadar fungsi dari defisit anggaran namun juga fungsi dari stok utang pemerintah itu sendiri. Hal ini secara jelas dapat dilihat dari fakta bahwa besaran utang baru berkorelasi sangat kuat dengan jumlah cicilan pokok utang dan bunga utang.

Pembuatan utang baru oleh pemerintah terus meningkat drastis dari waktu ke waktu, terutama melalui penerbitan SBN. Di era Presiden SBY, penerbitan SBN dari hanya Rp32,3 triliun pada 2004 melonjak hingga mencapai Rp439 triliun pada 2014.

Di era Presiden Jokowi, penerbitan SBN melambung tinggi, dari Rp 522 triliun pada 2015 menjadi Rp922 triliun pada 2019. Di masa pandemi, penerbitan SBN melonjak menembus Rp1.541 triliun pada 2020 dan Rp1.353 triliun pada 2021. Pasca pandemi, penerbitan SBN mulai menurun meski masih sangat tinggi, pada 2022 tercatat Rp 1.097 triliun.

Peningkatan besaran utang baru setiap tahunnya terlihat berkorelasi kuat dengan besaran beban bunga utang dan cicilan pokok utang. Pada 2015, jumlah SBN yang jatuh tempo dan beban bunga SBN baru di kisaran Rp300 triliun. Pada 2019, angka ini melonjak menembus Rp700 triliun dan pasca pandemi, pada 2021, menembus Rp800 triliun.

Pada 2022, jumlah SBN jatuh tempo dan beban bunga SBN diperkirakan turun menjadi Rp500 triliun, namun pada 2023 diproyeksikan melonjak mendekati Rp1.000 triliun dan pada 2024 di kisaran Rp1.100 triliun. “Dengan kata lain, kita sudah masuk dalam jebakan utang, berutang untuk bayar utang,” imbuh dia.

Sedangkan di era Presiden Prabowo, masalah ini akan semakin serius. Bila pada 2024 utang pemerintah jatuh tempo baru di kisaran Rp400 triliun, maka di sepanjang 2025 - 2028 utang pemerintah yang jatuh tempo total mencapai Rp3.100 triliun atau sekitar Rp800 triliun per tahun.

Dengan beban bunga utang di kisaran Rp500 triliun per tahun, maka beban bunga utang dan cicilan pokok utang di era Prabowo berpotensi menembus Rp1.300 triliun setiap tahunnya.

“Stok utang pemerintah yang terus meningkat, yang diiringi dengan beban utang yang semakin memberatkan, memiliki konsekuensi negatif yang mengkhawatirkan, yaitu akan semakin melemahkan potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang di masa depan,” jelas dia.

Prabowo Diminta Hati-Hati

Maka, lanjut Yusuf, untuk mencegah lonjakan utang pemerintah, presiden terpilih ke depan perlu berhati-hati dalam menerapkan aturan disiplin fiskal secara ketat. Maka tidak boleh ada defisit anggaran di atas 3 persen dari PDB dan tidak boleh ada monetisasi utang pemerintah oleh bank sentral, untuk alasan apa pun.

“Terlanggarnya batas defisit anggaran 3 persen dari PDB akan merusak disiplin fiskal dan mengancam stabilitas makroekonomi kita,” kata dia.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menambahkan di tengah penarikan utang besar dan risiko defisit APBN yang akan meleber pemerintahan selanjutnya harus berkomitmen menjalankan prinsip keberlanjutan fiskal dan tetap hati-hati. Ini menjadi modal awal yang seharusnya bisa dipegang oleh pemerintahan terpilih dalam 5 tahun ke depan.

“Artinya di tengah upaya mendorong atau menjalankan program baru dan diseting bersamaan menjalankan program-program yang menjadi kelanjutan dari program pemerintah lama, pemerintahan Pak Prabowo nanti tetap harus memperhitungkan ruang fiskal yang tersedia untuk menjalankan program tersebut,” kata dia kepada Tirto, Kamis (22/8/2024).

Yusuf Rendy mengatakan, ruang fiskal ini ada kaitannya dengan penarikan utang yang telah disinggung sebelumnya. Dan tentu, kata dia, jangan lupakan juga dalam beberapa tahun ke depan pemerintahan akan membayar yaitu utang jatuh tempo baik pokok maupun bunga utang.

“Jadi proses penyusunan anggaran nantinya perlu melihat prioritas dalam pemberian alokasi dana atau anggaran yang memang ukurannya perlu secara krusial menggambarkan kondisi perekonomian di tahun berjalan,” jelas dia.

Misalnya, apakah kemudian di tahun depan pemerintah membutuhkan stimulus perekonomian karena terjadi pelemahan daya beli. Jika demikian, maka program-program yang lain harus disesuaikan melalui bentuk realokasi anggaran sehingga pemerintah tetap bisa menjalankan program tersebut.

“Meskipun tidak sepenuh dari alokasi anggaran awal, tetapi di saat yang bersamaan pemerintah juga bisa mengalokasikan dana dari program tertentu untuk menstimulasi perekonomian yang dibutuhkan,” ujar dia.

Dia melanjutkan, strategi pengelolaan portofolio utang juga menjadi krusial dan penting termasuk ketika pemerintah merancang penarikan utang baru. Berbagai strategi menurutnya bisa dilakukan melalui skema buyback utang pemerintah dengan imbal hasil yang lebih rendah dan memperhatikan risiko-risiko tertentu.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menyarankan agar pemerintahan baru ke depan dapat mengerem pengeluaran belanja negara yang tidak produktif. Ini perlu agar defisit APBN ke depan bisa ditekan dan penarikan utang baru tidak begitu besar.

“Jadi banyak uang yang disalurkan ke daerah itu tidak dibelanjakan secara efektif. Bahkan menurut Bu Sri Mulyani beberapa kali disinggung ada ratusan triliun yang mengendap di bank di perbankan daerah dari kas daerah tersebut,” ujar dia saat dihubungi Tirto, Kamis (22/8/2024).

“Jadi bukan hanya terpaku pada defisitnya tetapi juga kita harus mengolah melihat pos-pos pengeluaran yang mungkin bisa lebih dimaksimalkan lebih dioptimalkan,” lanjut dia.

Baca juga artikel terkait RAPBN 2025 atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz