tirto.id - Harapan memudar bersama waktu yang terus berjalan. Mungkin bisa menggambarkan dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang genap 10 tahun pada 20 Oktober 2024. Jokowi dan wakilnya, Jusuf Kalla ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk periode pertama pada 22 Juli 2014.
Datang sebagai sosok yang jauh dari elite dan lingkar kekuasaan sisa-sisa Orde Baru, Jokowi dielu-elukan sebagai harapan baru. Kerap tampil di tengah masyarakat, Jokowi dicap pemimpin merakyat. Ia bahkan, diharapkan mampu mengakomodir kepentingan masyarakat sipil agar dapat membawa demokratisasi di Indonesia lebih maju.
Jokowi membawa agenda prioritas pemerintahannya kala itu yang disebut Nawacita. Isinya, sembilan gagasan yang akan dilakoni kabinet pemerintahan Jokowi-JK. Misalnya melindungi serta memberikan rasa aman bagi bangsa Indonesia; pemerintahan bersih dan demokratis; membangun Indonesia dari pinggiran serta memajukan daerah dan desa.
Selain itu, ada reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi; meningkatkan pendidikan dan pelatihan; menggenjot produktivitas rakyat dan daya saing; kemandirian ekonomi berupa kedaulatan keuangan dan mengikis utang negara; revolusi karakter bangsa dan memperteguh kebhinekaan.
Namun, Nawacita tinggal cerita dan gula-gula masa lalu. Demokrasi berjalan mundur dan semakin sekarat selama satu dasawarsa ke belakang. Pembungkaman kritik sipil dan media massa terus terjadi. Keamanan dan perlindungan kepada masyarakat menjadi semu dengan aparat penegak hukum yang masih bersikap represif dalam beraksi.
Periode kedua kepemimpinan presiden Jokowi tak jauh lebih baik. Besama wakilnya kali ini, Ma’ruf Amin, ia menggaet lawan-lawan politiknya di pemilu masuk ke dalam pemerintahan. Tercipta politik akomodatif dan oposisi yang semakin gembos di parlemen.
Berbagai produk legislasi lahir tanpa partisipasi bermakna dan mendapatkan protes besar di masyarakat. Undang-Undang Cipta Kerja, UU Minerba, hingga revisi UU KPK disahkan dan membawa banyak mudarat. Pembangunan infrastuktur menggusur rakyat, lingkungan hidup jadi di nomor sekiankan, dan KPK mengalami pembusukan.
Di penghujung masa jabatnya, Jokowi diduga menggunakan pengaruh kekuasaannya untuk merangkai dinasti politik. Pakem-pakem konstitusi diterobos dan hukum cuma jadi alat untuk mengemplang lawan politik. Legalisme otokratis kian kental, DPR tak punya lagi ruh check and balances dan cuma jadi tukang stempel pemerintah.
Anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, terpilih sebagai wakil presiden selanjutnya setelah adanya utak-atik aturan di Mahkamah Konstitusi (MK). Anwar Usman, adik ipar dari Jokowi sendiri yang mengetok palu putusan Nomor 90/2023. Kini, mulai dari anak, menantu, hingga orang-orang di lingkar dekat Jokowi digadang-gadang maju dalam Pilkada 2024.
Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menilai Presiden Jokowi gagal memberikan rasa aman terhadap warga seperti yang dicita-citakan agenda Nawacita. Belum ada jaminan keamanan untuk melakukan kritik dan berekspresi sesuai dengan hati nurani dan pikiran.
Hal ini, kata dia, disebabkan respons negara yang eksesif terhadap kritik dan kebebasan berekspresi warga. Aparat keamanan seperti TNI dan Polri, masih jadi perangkat andalan negara untuk membungkam kritik dengan cara-cara yang represif.
“Dapat dilihat dari sejumlah kasus kriminalisasi terhadap kritik dan ekspresi warga negara yang sejatinya dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, maupun melalui aparat TNI yang ikut dikerahkan merespons sejumlah konflik agraria,” kata Ardi kepada reporter Tirto, Kamis (8/8/2024).
Sikap represif negara berujung panjang bagi psikologis masyarakat. Kini rakyat cenderung melakukan self cencorship, atau mengurungkan niat melakukan kritik dan protes terbuka. Mereka khawatir dikriminalisasi atau mendapat perlakuan eksesif dari aparat keamanan.
Undang-Undang ITE masih menjadi andalan untuk menjerat suara rakyat dengan tudingan fitnah atau pencemaran nama baik pejabat negara. Ardi turut menilai, selama dua periode memerintah, Jokowi jelas gagal membentuk pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.
“Ibaratnya, tidak mungkin membersikan sesuatu menggunakan sapu yang kotor. Akar dari persoalan pemberantasan korupsi dalam 10 tahun belakangana ini yaitu dari pemerintah itu sendiri, yaitu mulai dari pelemahan KPK melalui revisi UU KPK,” jelas Ardi.
Selain itu, adanya intervensi kekuasaan terhadap aparat penegak hukum, disertai integritas yang rendah dari aparat penegak hukum masih menjadi persoalan. Korupsi bahkan terjadi di KPK dan menyasar pimpinannya. Belum lagi kasus mafia peradilan yang menyeret jajaran Mahkamah Agung.
Ardi menilai, aparat penegak hukum dan hukum itu sendiri sudah menjadi tameng penguasa dari kritik dan protes masyarakat. Misalnya, ambisi Jokowi menggenjot berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mengutamakan kepentingan investor, namun mengabaikan kepentingan publik atau keadilan yang lebih luas.
“Pimpinan KPK yang dipilih Presiden Jokowi mengakibatkan kepercayaan terhadap KPK runtuh. Belum lagi, serangan terhadap pegiat anti korupsi juga marak terjadi dalam 10 tahun belakangan ini,” ucap Ardi.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menegaskan pendapat Ardi. Gagasan di Nawacita untuk hadirkan pemerintahan yang bebas korupsi cuma tinggal pepesan kosong. Zaenur menilai, Nawacita gagal diwujudkan sebab penegakan hukum yang semakin lemah serta integritas lembaga antirasuah kian hancur.
“Penegakan hukum sangat buruk, hukum menjadi alat politik. Korupsi di bidang penegakan hukum malah tinggi. Di kepolisian, kejaksaan, bahkan di KPK, Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya,” kata Zaenur kepada reporter Tirto, Kamis (8/8/2024).
Zaenur meniali, saat ini tidak ada produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah dan DPR untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi. Rancangan UU Perampasan Aset dan Rancangan UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal tidak pernah berhasil diwujudkan di dua periode pemerintahan Jokowi.
Jebloknya pemberantasan korupsi terlihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang mundur dan cenderung stagnan. Pada 2014, IPK Indonesia di skor 34 dan sempat menjadi 40 di tahun-tahun setelahnya. Namun, 2023 lalu, IPK Indonesia kembali ke masa awal Jokowi baru menjabat, yakni skor 34.
Buruk rupa pemberantasan korupsi turut tercermin dengan makin permisifnya masyarakat dengan korupsi-korupsi kecil. Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia pada 2024 turun 3,85 dari sebelumnya di 2023 sebesar 3,92.
“Jadi secara general, selama 10 tahun pemberantasan korupsi tidak menjadi agenda dari pemerintahan Presiden Jokowi. Lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang justru ternyata juga gagal diwujudkan karena faktor hukumnya tidak dipenahi terlebih dahulu,” kata Zaenur.
Pembangunan Abai Rakyat
Gagasan-gagasan sektor ekonomi dalam Nawacita juga tak berjalan mulus. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan misi pembangunan ala Jokowi memiliki sejumlah catatan.
Misalnya, kata dia, banyak pembangunan infrastruktur yang tidak memiliki perencanaan baik sehingga dampak terhadap industrialisasi cukup minim. Sektor industri justru mengalami deindustrialisasi prematur selama dua periode Jokowi.
“Kan seharusnya biaya logistik turun signifikan, daya saing naik, tapi indeks kinerja logistik (LPI) justru anjlok 17 peringkat,” kata Bhima kepada reporter Tirto.
Kurangnya perencanaan pembangunan berakibat pada pembengkakan biaya di berbagai proyek. Selain itu, Bhima menilai, beban penugasan pembangunan masih di titik beratkan ke BUMN sehingga sebagian perusahaan pelat merah mengalami bleeding alias keuangan berdarah. Dominasi BUMN dalam pengerjaan infrastruktur negara juga mengecilkan peran dan dampak terhadap pelaku usaha swasta.
“Lalu, meningkatnya beban impor mesin dan teknologi untuk infrastruktur termasuk pada proyek kereta cepat dan proyek lainnya. Artinya, infrastruktur dibangun namun rupiahnya terus melemah karena kontribusi besarnya impor untuk percepat pembangunan,” ujar Bhima.
Sementara itu, misi kedaulatan keuangan di Nawacita juga terancam gagal. Debt to service ratio (DSR) utang memburuk dibanding periode awal Jokowi menjabat. Artinya, kemampuan bayar utang pemerintah luar negeri makin menurun.
“Klaim rasio utang masih rendah tapi fakta bahwa utang makin tidak produktif. Utangnya naik, rasio pajaknya rendah dikisaran 10-1 persen. Semakin besar utang tapi belum bisa mendongkrak sektor produktif yang berkontribusi ke penerimaan pajak,” jelas Bhima.
Buruknya kondisi utang, kata Bhima, turut berdampak negatif pada kedaulatan rakyat dalam mengelola ekonomi. Misalnya jebakan utang Cina yang membuat pemerintah menanggung beban utang jangka panjang. Alhasil banyak konsesi hilirisasi dikuasai oleh perusahaan asal Cina
Bhima memandang, terdapat indikasi crowding out effect atau perebutan antara agresifitas penerbitan SBN dengan bunga tinggi dengan deposito perbankan. Karena selisih bunga lebih menggiurkan SBN dengan besar 6-7 persen per tahun, maka likuiditas perbankan jadi ikut terganggu.
“Uang yang harusnya bisa diputar bank untuk penyaluran kredit, justru parkir di utang pemerintah,” ucap Bhima.
Di sisi lain, misi pembangunan infrastruktur era Jokowi juga kerap abai aspirasi masyarakat. Berbagai kebijakan insentif terus digelontorkan untuk investor, sementara masyarakat adat dan lokal cenderung terpinggirkan. Konflik agraria terus meletus, dan tak sedikit justru terjadi di area proyek strategis nasional (PSN), seperti di Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Rempang.
Kepala Departemen Kampanye dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benny Wijaya, menilai pembangunan dan kebijakan investasi pro-pasar serta modal ala rezim Jokowi luput menghormati hak-hak warga negara atas tanah. Akibatnya, pemerintah cum perusahaan akan dengan mudah mencerabut hak tanah masyarakat demi memfasilitasi kepentingan investasi dan badan usaha skala besar.
Dengan begini, semakin jauh pula agenda reformasi agraria yang nyantol dalam Nawacita. Pemerintah masih menggunakan aparat keamanan untuk merespons konflik agraria.
“Meskipun Presiden Jokowi dalam janji politiknya telah memasukkan agenda reforma agraria. Namun dalam praktek pelaksanaannya, apa yang dilakukan pemerintah saat ini masih mengulang cara-cara rezim pemerintah sebelumnya,” kata Benny kepada reporter Tirto, Kamis (8/8/2024).
Benny menjelaskan, reforma agraria punya indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilanya. Pertama, berkurangnya atau selesainya konflik-konflik agraria yang masih berlangsung. Kedua, berkurangnya ketimpangan penguasaan tanah.
Namun, konflik agraria justru mengalami peningkatan selama kurang lebih satu dekade terakhir. KPA mencatat, sepanjang periode 2015-2023 terjadi 2.939 letusan konflik agraria dengan luasan mencapai 6,3 juta hektar dan berdampak pada 1,7 juta rumah tangga petani.
Angka ini mengalami kenaikan dari satu dekade sebelumnya di mana terdapat 1.520 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 5,7 juta hektar dan berdampak pada 977.103 rumah tangga petani. Penguasaan tanah oleh korporasi berskala besar, baik di sektor perkebunan, kehutanan dan tambang juga mengalami kenaikan.
“Artinya, selama pemerintahannya, Presiden Jokowi telah gagal menjalankan reforma agraria. Sebab dari indikator tersebut, tidak satu pun yang menunjukkan penurunan,” kata Benny.
Pemerintah Jokowi memakai cara pandang hukum yang positivistik dalam pengelolaan sumber-sumber agraria sehingga dengan gampang menyingkirkan masyarakat, terutama petani, nelayan, masyarakat adat, masyarakat pedesaan dan miskin kota. Salah satu bentuk diskriminasi yang dilakukan pemerintah adalah tidak kunjung disahkannya RUU Masyarakat Adat.
Padahal, saban tahun RUU Masyarakat Adat selalu masuk prolegnas. Di berbagai wilayah, kata Benny, masyarakat adat sering menjadi korban konflik agraria akibat penggusuran dan perampasan tanah. Contohnya kasus PSN di Pulau Rempang, masyarakat adat di IKN, Kinipan, suku Ayyu di Papua dan di berbagai tempat lainnya.
“Ini bentuk-bentuk diskriminasasi yang dialami masyarakat adat. Kontras dengan Presiden Jokowi di depan umum yang selama menggunakan pakaian-pakaian adat,” ucap Benny.
Jokowi Minta Maaf
Presiden Jokowi atas nama pemimpin negara bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengungkapkan permohonan maaf atas dosa dan khilafnya selama memimpin Indonesia. Hal ini disampaikannya dua bulan sebelum dirinya lengser pada Oktober 2024 mendatang.
Jokowi menjelaskan bahwa selama menjadi pemimpin Indonesia nyaris sepuluh tahun, ada banyak pihak yang tidak bisa dipuaskan olehnya. Dia mengakui hal itu sebagai kekhilafannya sebagai manusia.
“Kami sangat menyadari bahwa sebagai manusia kami tidak mungkin dapat menyenangkan semua pihak,” kata Jokowi dalam acara ‘Zikir dan Doa Kebangsaan 79 Tahun Indonesia Merdeka,’ di halaman Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (1/8/2024).
Selain meminta maaf, Jokowi juga meminta seluruh masyarakat untuk bersatu padu di tengah ketidakpastian global. Menurut dia, di masa depan Indonesia akan menghadapi banyak tantangan yang silih berganti.
“Saya tidak sempurna, saya manusia biasa, kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT,” ucap Jokowi.
Sementara itu, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, menjelaskan sikap minta maaf yang dilakukan Presiden Jokowi merupakan bentuk kesadaran bahwa ia hanyalah manusia biasa. Ari mengklaim, permintaan maaf Jokowi tersebut dilakukan saat kepuasan masyarakat kepada Jokowi sangat tinggi.
“Meskipun dari berbagai hasil survei menunjukkan tingkat kepercayaan dan juga tingkat kepuasan pada kinerja Presiden Jokowi masih tetap tinggi, namun beliau tetap menyadari bahwa sebagai manusia biasa, beliau tidaklah sempurna," kata Ari Dwipayana dalam keterangan pers, Rabu (7/8/2024).
Ari juga menekankan sosok pribadi Jokowi yang menjunjung tinggi adab dan etika ketimuran yang selalu dia jaga hingga menjadi presiden.
“Permintaan maaf yang disampaikan Presiden Jokowi merupakan perwujudan dari nilai-nilai luhur agama dan adab ketimuran,” kata dia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz