Menuju konten utama

Di Balik Ledakan PHK dan Segudang PR Prabowo-Gibran ke Depan

Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka perlu melakukan intervensi dalam bentuk insentif fiskal untuk menahan laju PHK.

Di Balik Ledakan PHK dan Segudang PR Prabowo-Gibran ke Depan
Ilustrasi PHK startup. tirto.id/iStockphoto

tirto.id - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat total pekerja yang terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada kurun waktu Januari hingga Juni 2024 mencapai 32.064 pekerja. Pemutusan kerja paling banyak tercatat di DKI Jakarta dengan jumlah 7.469 pekerja. Diikuti Banten dengan total 6.135 pekerja, Jawa Barat sebanyak 5.155 pekerja, Jawa Tengah dengan 4.275 pekerja, dan sisanya tersebar di daerah lainnya.

"Tentunya [kami] menyayangkan jumlah PHK yang cukup besar,” ujar Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kemnaker, Indah Anggoro Putri, kepada Tirto, Senin (5/8/2024).

Indah berharap keputusan PHK adalah upaya atau solusi paling terakhir dari suatu masalah atau tantangan bisnis perusahaan. Namun, juga perlu diperhatikan setiap keputusan PHK harus sesuai regulasi dan ketentuan berlaku, dimulai dari Undang-Undang Ketenagakerjaan sampai dengan Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama di dalam perusahaan terkait.

"Lebih dari itu, harus disepakati oleh pihak pekerja dan manajemen, jadi bukan sepihak," ujar dia.

Ledakan PHK cukup besar pada semester I-2024 ini, tentu menjadi tantangan pemerintahan saat ini dan akan datang. Selain mendorong upaya menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang terdampak, pemerintah juga perlu melihat akar masalah dari penyebab terjadinya badai PHK untuk kemudian bisa dicarikan solusinya.

Menurut Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, salah satu penyebab terjadinya PHK karena krisis ekonomi global seperti inflasi tinggi dan resesi di negara-negara besar. Kondisi ini berdampak langsung pada perekonomian Indonesia dan memaksa perusahaan untuk mengurangi biaya operasional.

“Termasuk melalui PHK,” imbuh Media kepada Tirto, Selasa (6/8/2024).

Transformasi digital dan otomatisasi juga berperan besar menciptakan PHK massal. Pasalnya, kata Media, banyak perusahaan yang kini tengah mengadopsi teknologi baru untuk mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja manusia.

Kondisi di atas secara otomatis menyebabkan banyak perusahaan di sektor retail dan perdagangan tidak bisa beradaptasi terhadap perilaku konsumen. Sehingga terpaksa harus memangkas biaya operasionalnya dan salah satunya dengan PHK.

Tidak hanya itu, masalah manajerial dan upaya untuk meningkatkan efisiensi operasional sering kali membuat perusahaan memilih PHK sebagai solusi.

“Kombinasi dari semua ini menciptakan tantangan besar di pasar kerja Indonesia pada tahun 2024,” terang dia.

Pelemahan Daya Beli Berdampak ke Industri

Senior Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menambahkan terjadinya PHK tersebut tidak terlepas dari kondisi pelemahan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah. Hal ini tercermin dari tingkat konsumsi masyarakat dalam dua kuartal terjadi stagnasi.

“Artinya bahwa memang faktor utamanya ada pelemahan daya beli masyarakat. Karena kemarin diumumkan konsumsi masyarakat pada level di bawah 5 persen,” ujar dia saat dihubungi Tirto, Selasa (6/8/2024).

Menurut Tauhid, sebanyak 60 persen konsumsi masyarakat adalah kebutuhan pokok, sedangkan 40 persen bukan kebutuhan pokok. Dengan komposisi itu, artinya masyarakat Indonesia masih mempertahankan konsumsi yang pokoknya.

“Yang non-pokoknya, industri-industri berbasis komunitas non-pokok itu akan cenderung drop begitu. Nah ini yang kemudian menyebabkan situasi terjadi,” ujar Tauhid.

Sejalan dengan konsumsi yang melemah, terjadinya ledakan PHK ditengarai juga dengan penurunan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia. Dalam rilis S&P Global PMI manufaktur Indonesia Juli 2024 tercatat sebesar 49,3, atau turun dibandingkan Juni 2024 yang berada pada angka 50,7.

Kontraksi PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2024 dipengaruhi oleh penurunan bersamaan pada output dan pesanan baru. Permintaan pasar yang menurun merupakan faktor utama penyebab penjualan turun. Dalam hasil disebutkan, produsen merespons kondisi ini dengan sedikit mengurangi aktivitas pembelian mereka pada bulan Juli, menandai penurunan pertama sejak bulan Agustus 2021.

“Nah, itu kan terlihat ya kalau di ketenagakerjaan itu kan umumnya berada di sektor industri. Kalau PMI di bawah 50 tuh berarti ya dalam tanda kutip banyak industri yang mengalami kerugian. Kenapa rugi? Karena konsep PMI kan berapa input yang dibeli dan berapa output yang bisa dijual,” kata dia.

Dengan kondisi pelemahan daya beli di atas, tentunya ini menyebabkan penurunan permintaan dari konsumen. Khusus PMI manufaktur Indonesia, penurunan permintaan terutama oleh pasar domestik maupun pasar global.

“Artinya, ada yang menggambarkan bahwa memang konsumen di dalam negeri ini mengurangi pembelian untuk beberapa produk. Begitu juga sektor riil itu kan rata-rata flat, bahkan turun nih dalam tiga bulan terakhir,” katanya.

Penurunan daya beli dan PMI manufaktur Indonesia ini, secara tidak langsung, kata Tauhid, membuat perusahaan melakukan efisiensi. PHK terjadi terutama bagi pegawai-pegawai mayoritas adalah yang sudah pegawai tetap dan industrinya sudah dua tahun berturut-turut pertumbuhannya negatif, seperti tekstil.

Laju pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi terhadap produk domestik bruto (PDB) berdasarkan data BPS mengalami perlambatan pada kuartal II-2024 atau terkontraksi 0,03 persen secara tahunan. Kontraksi pada kuartal II-2024 ini masih lebih kecil jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang terkontraksi hingga -1,70 persen yoy.

Secara kuartalan, industri tekstil juga tercatat mengalami penurunan ke level -2,63 persen pada kuartal II-2024 atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang tumbuh positif 5,92 persen.

“Di industri tekstil itu misalnya, terpukul karena faktor kebijakan impor yang merusak pasar domestik untuk pelaku usaha lokal,” timpal Media Askar.

Dalam kesempatan berbeda, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, mengakui fenomena PHK ini terjadi karena mesin-mesin di industri sudah tua dan biaya ekonomi tinggi dibandingkan negara-negara lain di dunia. Tidak hanya itu, di beberapa tempat seperti Jawa Barat, relokasi pabrik ke daerah lain di Jawa juga mendorong terjadinya PHK.

“PHK ini ada dua, satu adalah relokasi pabrik dari Jawa Barat ke daerah lain di Jawa. Ada juga yang memang pabriknya ditutup. Masalahnya ada 2, mesinnya tua dan biaya ekonominya tinggi dibandingkan negara-negara lain,” beber Bahlil, dalam Konferensi Pers Realisasi Investasi Triwulan II 2024, di Jakarta, Senin (29/7/2024).

Berbagai permasalahan tersebut lantas berpengaruh pada produktivitas industri tekstil. Karena itu, menurut Bahlil, jalan tengah harus segera dicari untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan penyelesaian tidak hanya dari pemerintah dan dunia usaha saja, melainkan juga dari buruh.

“Hak-hak buruh tetap kita perhatikan, tapi buruh juga harus perhatikan keberlangsungan perusahaan. Kalau (industri tekstil) ini tutup, yang rugi kita semua, lapangan kerja tutup, industri nggak jalan, pendapatan negara berkurang,” katanya.

PR Pemerintahan Prabowo-Gibran

Celios menilai untuk mengatasi persoalan-persoalan di atas langkah jangka pendeknya yang perlu dilakukan adalah memperkuat jaring pengaman sosial bagi karyawan yang terkena PHK. Seperti program tunjangan pengangguran, pelatihan keterampilan, dan bantuan pencarian kerja.

“Balai Latihan kerja direformasi kembali dengan pendekatan yang lebih modern,” ujar Media Askar.

Sementara dalam jangka panjang, pemerintah selanjutnya yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka perlu melakukan intervensi dalam bentuk insentif fiskal atau subsidi untuk sektor-sektor yang mengalami kesulitan ekonomi. Serta meninjau ulang regulasi terkait impor dengan melihat kondisi masing-masing sektor.

Tauhid Ahmad turut memberikan pandangan, pemerintah ke depan perlu melihat faktor daya saing. Apakah memang produk-produk industri di dalam negeri ini kemudian kalah bersaing dengan produk-produk dari impor atau tidak.

“Hambatannya tentu saja sesuai dengan standar WTO, apakah misalnya non-tarif barrier ataupun standar-standar lain, macam-macam lah yang bisa dilakukan. Karena kalau nggak, lama-kelamaan mereka enggak bertahan pasar domestiknya digerogoti produk luar,” jelas dia.

Kedua, yang menurutnya penting juga adalah membuka peluang untuk melakukan reformulasi terhadap upah buruh di daerah-daerah. Sebab banyak sebenarnya PHK terjadi karena industri atau pengusaha tidak tahan dengan upah buruh.

“Ada banyak yang pindah, mencari tenaga kerja murah. Itu belum ada kebijakannya bagaimana perpindahan antar lokasi karena para industri berpindah ke lokasi lain yang upahnya lebih rendah,” ujar dia.

Permasalahannya, kata Tauhid, buruhnya sendiri tidak mau ikut pindah karena mereka upahnya sudah level lebih tinggi. Maka, kemudian ini yang perlu diatur bagaimana kebijakan upah tersebut supaya tidak disamaratakan. “Saya kira ada problemnya di situ,” imbuhnya.

Terakhir, lanjut Tauhid, mau tidak mau memang pemerintah Prabowo-Gibran ke depan juga ikut membantu meningkatkan daya saing industri dengan cara mengurangi cost-cost yang tidak perlu. Misalnya biaya birokrasi, biaya sewa lahan, pajak, dan lain-lainnya.

“Harus dikasih kebebasan industri-industri yang mengalami kemunduran ya pajaknya memang direstrukturisasi dan macam-macam lah. Itu yang kemudian harus dilakukan pemerintah,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait PHK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang