tirto.id - Tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di industri tekstil masih terus terjadi. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menilai fenomena ini terjadi karena mesin-mesin yang sudah tua dan biaya ekonomi yang tinggi dibandingkan negara-negara lain di dunia.
Tidak hanya itu, kata Bahlil, di beberapa tempat seperti Jawa Barat, relokasi pabrik ke daerah lain yang masih di Jawa juga mendorong terjadinya PHK.
“PHK ini ada dua, satu adalah relokasi pabrik dari Jawa Barat ke daerah lain di Jawa. Ada juga yang memang pabriknya ditutup. Masalahnya ada dua, mesinnya tua dan biaya ekonominya tinggi dibandingkan negara-negara lain,” kata Bahlil dalam Konferensi Pers Realisasi Investasi Triwulan II 2024, di Jakarta, Senin (29/7/2024).
Berbagai permasalahan tersebut berpengaruh pada produktivitas industri tekstil. Karena itu, menurut Bahlil, jalan tengah harus segera dicari untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan penyelesaian tidak hanya dari pemerintah dan dunia usaha, melainkan juga dari buruh.
“Hak-hak buruh tetap kita perhatikan, tapi buruh juga harus perhatikan keberlangsungan perusahaan. Kalau [industri tekstil] ini tutup, yang rugi kita semua, lapangan kerja tutup, industri nggak jalan, pendapatan negara berkurang,” katanya.
Tidak hanya itu, semua pihak juga harus memikirkan pemanis apa yang cocok untuk diberikan kepada industri tekstil supaya bisa terus berkembang.
Bahlil mencontohkan, sebagai sweetener, perbankan bisa saja memberikan pembiayaan dalam rangka peremajaan mesin kepada industri.
“Jadi, kalau orang ekonominya udah tinggi, di daerah-daerah lain kan sekarang masih murah. Kalau kita nggak kasih insentif, kemudahan untuk mendapat pembiayaan untuk beli mesin, ya pergilah orang-orang itu (investor). Jadi yang pertama afirmatif untuk kita dorong,” jelasnya.
Selanjutnya, penghargaan terhadap buruh, dengan memberikan upah layak juga perlu dilakukan untuk menjaga agar ekosistem industri tekstil dapat berjalan dengan baik. Namun sebaliknya, buruh juga diharapkan dapat memahami kondisi perusahaan.
“Kalau industri nggak jalan, ya gimana pabrik mau jalan dan survive? Jadi keduanya saling membutuhkan,” tegas Bahlil.
Meski begitu, di balik tutupnya beberapa pabrik tekstil, ada sejumlah pabrik lain yang lahir.
Di Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang, misalnya, terdapat produsen sepatu asal Taiwan, Yih Quan Footwear, yang berhasil melepas ekspor sepatu HOKA sebanyak 16.000 pasang. Investasi dari Grup LaiYih di KIT Batang mencapai Rp1,7 triliun, dengan serapan pekerja sebanyak 13.000 orang, termasuk tenaga kerja konstruksi.
“Tapi jangan sedih, karena ada yang pergi, ada yang datang. Contoh, kemarin kita meresmikan pabrik sepatu di KITB, di Jawa Tengah, itu menciptakan lapangan pekerjaan 2.000 lebih,” tukas Bahlil.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi