tirto.id - Sebuah bank terbesar di Singapura, DBS, mengumumkan rencana Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 4.000 karyawannya selama tiga tahun ke depan. Alasannya, perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) disebut sudah semakin mengambil alih peran manusia.
Di sisi lain, pihak DBS juga mengungkap rencananya untuk membuka sekira 1.000 pekerjaan baru yang berkaitan dengan AI. Chief Executive Officer (CEO) DBS Group, Piyush Gupta, menyatakan untuk pertama kalinya ia merasa kesulitan menciptakan lapangan kerja.
"Sejauh ini, saya selalu memiliki pandangan tentang pekerjaan apa yang dapat saya ciptakan. Kali ini saya kesulitan mengatakan bagaimana saya akan memanfaatkan orang-orang untuk menciptakan lapangan kerja," katanya, dikutip Reuters, Selasa (25/2/2025).
Langkah yang bakal diambil DBS itu mengkonfirmasi temuan-temuan riset yang sudah mengemuka. Laporan Future of Jobs 2025 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) misalnya, sebelumnya mengungkap, sebanyak 41 persen pengusaha bermaksud mengurangi jumlah tenaga kerja mereka karena AI telah mengotomatisasikan pekerjaan tertentu.
Dari ratusan perusahaan besar yang disurvei WEF di seluruh dunia, sekitar 77 persen mengaku, mereka punya rencana untuk meningkatkan keterampilan pekerja mereka. Hal itu bakal dilakukan selama 2025-2030, dengan alasan agar karyawannya dapat bekerja lebih baik bersama AI.
AI memang semakin masif merambah dunia industri. Menurut laporan WEF, Generative AI (GenAI), khususnya, telah menunjukkan lonjakan pesat dalam investasi dan adopsi di berbagai sektor.
Sejak peluncuran Chat GPT pada November 2022, aliran investasi ke AI sudah melesat hampir delapan kali lipat. Tak heran, permintaan keterampilan GenAI oleh bisnis dan individu juga tumbuh secara signifikan.
Meskipun adopsi aplikasi AI yang lebih umum masih relatif rendah, dengan hanya sebagian kecil perusahaan yang memanfaatkannya pada 2023, adopsi itu kini tumbuh pesat, meski tak merata di seluruh sektor.
“Sektor teknologi informasi memimpin dalam adopsi AI, sementara industri seperti konstruksi tertinggal,” begitu bunyi laporan WEF.
Namun demikian, perkembangan AI bukan berarti dan tak seharusnya menggantikan kerja-kerja manusia. Lagi pula, seperti diungkap laporan WEF, GenAI masih terbatas dalam melakukan tugas-tugas yang memerlukan eksekusi fisik, penilaian bernuansa, atau penerapan langsung.
Sebab beberapa keterampilan yang berakar pada interaksi manusia – termasuk empati dan mendengarkan secara aktif, serta kemampuan memproses sensorik – dan ketangkasan manual serta daya tahan dan ketepatan, tidak dimiliki oleh AI.
“Temuan-temuan ini menyoroti potensi GenAI untuk menambah pekerjaan manusia melalui kolaborasi manusia-mesin, alih-alih menggantikannya sepenuhnya di sebagian besar bidang. Keterampilan yang membutuhkan pemahaman yang bernuansa, pemecahan masalah yang rumit, atau pemrosesan sensorik menunjukkan risiko terbatas saat ini untuk digantikan oleh GenAI,” tulis WEF.
Perlu Kebijakan Responsif untuk Hadapi Era AI
Pakar Hukum Perburuhan Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, punya pendapat selaras. Menurut dia, AI bisa jadi bukan mengancam lapangan kerja, tapi kemudian justru menggeser jenis lapangan kerja.
“Lapangan kerja yang kemarin bisa dilakukan oleh manusia dan kini harus dilakukan oleh AI, mungkin memang jadinya dia tidak ada lagi. Tapi tentu saja akan ada jenis-jenis pekerjaan baru yang juga membutuhkan manusia,” ungkap Nabiyla saat dihubungi Tirto, Jumat (28/2/2025).
Kendati AI punya peluang membuka posisi pekerjaan baru, Nabiyla menilai, perlu adanya kebijakan dengan roadmap yang jelas untuk menyikapi AI di masa depan. Kebijakannya pun tak hanya soal industri, tapi juga yang terkait dengan penyiapan skill oleh tenaga kerja untuk kemudian bisa menyikapi era AI.
Indonesia sebenarnya telah memiliki beberapa aturan terkait AI, salah satunya yakni panduan etika pemanfaatan AI bagi pelaku usaha yang tertuang dalam Surat Edaran Menkominfo Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial.
Namun, bukan berarti perkara ini rampung. Indonesia masih harus menjawab tantangan transparansi dan akuntabilitas, sehingga pemerintah perlu mengidentifikasi dan memetakan risiko serta kerentanan dari seluruh siklus hidup AI.
M Irfan Dwi Putra selaku Peneliti di Center for Digital Society (CfDS), Universitas Gadjah Mada, mengungkap lewat tulisannya di The Conversation bahwa Indonesia tetap membutuhkan regulasi yang secara spesifik menyasar teknologi AI, agar pemanfaatannya dapat dilakukan secara bertanggung jawab sekaligus menciptakan ekosistem yang baik bagi pengembangan teknologi AI.
Sebab, dengan semakin canggihnya AI, maka kemungkinan PHK pun kian besar di kemudian hari. Dengan kata lain, ketika AI bisa membantu suatu pekerjaan, maka jumlah orang yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tersebut jadi berkurang. Oleh karenanya, Nabiyla menekankan, pemerintah perlu memikirkan agar AI tidak dijadikan alasan untuk melakukan PHK massal.
“Karena yang saya khawatirkan dengan tren PHK massal yang belakangan ini banyak terjadi di Indonesia kita perlu meng-assess juga apakah AI benar-benar merupakan alasan dari PHK massal tersebut atau ini hanya dijadikan sebagai kedok saja. Sepertinya itu juga hal yang kemudian perlu untuk dipertimbangkan dan disikapi dengan seriusoleh pemerintah,” ungkapnya.
Era AI yang kini dihadapi masyarakat memang menuntut para pekerja untuk memperbarui dan meningkatkan keterampilan. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, menilai, biaya upskilling atau upgrading seharusnya tidak dibebankan kepada individu.
“Persoalannya lagi, ketika kawan-kawan itu harus di-upgrade, di-upskilling itu, kan butuh biaya. Nah itu sebenarnya tugas pemerintah, tugas perusahaan dan pemerintah untuk melakukan itu. Jadi tidak dibebankan kepada para pekerja,” ujar Mirah kepada Tirto, Jumat (28/2/2025).
Dengan begitu, pekerja bisa lebih fasih dan cakap untuk menggeluti suatu pekerjaan atau memiliki kompetensi terkait dengan digitalisasi dan AI. Lagi pula, senada dengan pernyataan Nabiyla, keberadaan AI dinilai Mirah masih membutuhkan manusia.
Mirah berpendapat, tanpa AI pun sebetulnya PHK marak terjadi di Indonesia. Hal ini diperkuat oleh regulasi pemerintah yang seolah melancarkan PHK. Oleh karenanya, Mirah mendorong pemerintah untuk membuat keputusan atau regulasi yang tidak mereduksi atau menghilangkan hak-hak rakyat.
“Buat dong yang justru menguntungkan dan mensejahterakan rakyat. Salah satunya juga kan undang-undang Omnibus Law yang justru malah mereduksi hak para pekerja, yang alih-alih katanya untuk, awalnya kan undang-undang itu untuk membuka investasi masuk ke Indonesia, tapi kan ternyata kenyataan di lapangan nggak ada,” jelas Mirah.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang