tirto.id - Hegemoni dalam politik sering kali menimbulkan sifat predasi antar kontestan pemilu. Tak jarang demi meraup suara dukungan, cara-cara kotor digunakan untuk mencapai kekuasaan. Alih-alih bertarung secara jujur, adil, dan penuh gagasan, demokrasi yang pincang dijalankan dengan menggunakan kampanye hitam.
Kampanye hitam kerap muncul dalam bentuk disinformasi dan misinformasi yang menyudutkan lawan politik. Persetan adu gagasan dan argumentasi logis, kampanye hitam hanya peduli untuk menjatuhkan citra baik pesaing. Maraknya diskursus politik dan penggunaan media sosial (medsos) menjadi sasaran empuk bagi pihak yang ingin mencoreng reputasi lawan.
Kampanye hitam tentu merupakan kerawanan yang niscaya jelang Pemilu 2024. Minimnya pengendalian dan pengawasan akan membuat arena politik saat ini menjadi panggung kebencian. Dalam hal ini, vital menuntut moral dan etika partai politik/politikus untuk dapat menciptakan pesta demokrasi yang semarak dan mengedepankan kejujuran.
Baik dalam arena tarung pilpres maupun pileg, Indonesia punya catatan buruk soal penggunaan kampanye hitam yang berujung pada tsunami hoaks di mana-mana. Pemilu 2014 dan 2019, dipenuhi dengan hoaks dan kampanye hitam yang memancing polarisasi di akar rumput dan membunuh nalar kritis.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mewanti-wanti gelaran Pemilu 2024 yang berpotensi kembali dibanjiri hoaks. Berkaca pada dua pemilu sebelumnya, kampanye hitam berupa hoaks kepada lawan politik menebalkan hal tersebut sebagai tantangan nyata pada penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Dalam Pemilu 2014, kata Nisa, target hoaks adalah menyerang opini masyarakat, untuk dapat mengubah pilihan publik.
“Sementara di Pemilu 2019 terdapat perubahan target penyebaran hoaks, penyelenggara dan proses penyelenggaraan pemilu juga turut menjadi target penyebaran hoaks,” kata Nisa dihubungi reporter Tirto, Kamis (2/11/2023).
Nisa menambahkan, aktor penyebar hoaks bisa beraneka ragam. Pelaku kampanye hitam ini bisa datang dari tim salah satu peserta pemilu dan juga dapat berasal dari kelompok pendukung.
“Ada yang motifnya ekonomi, atau motifnya hanya untuk kesenangan saja,” terang Nisa.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Yanuar Prihatin menyatakan, kampanye hitam dilakukan agar lawan politik mengalami suatu keadaan yang diinginkan oleh pelaku hoaks. Tujuannya, kata Yanuar, bisa mengincar elektabilitas dan popularitas lawan agar kedodoran.
“Sehingga lawan mengalami keadaan tidak tampil sebagai kontestan yang unggul,” kata Yanuar di Kompleks DPR-MPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/11/2023).
Hal ini disampaikan Yanuar dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Bersama Mencegah Hoaks dan Kampanye Hitam Jelang Pilpres 2024’. Acara ini diselenggarakan oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen dan Biro Pemberitaan DPR RI.
Hadir juga dalam diskusi ini, Kepala Ketua Badan Pembina Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (BPOKK) Partai Demokrat Herman Khaeron, Ketua DPP PPP Syaifullah Tamliha, Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik, dan pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin.
Yanuar melanjutkan, perlu dibedakan antara kampanye hitam dan kampanye negatif. Kampanye hitam merupakan informasi palsu atau kebohongan yang diniatkan untuk mendiskreditkan lawan politik. Sementara kampanye negatif, merupakan fakta-fakta yang diolah menjadi sesuatu yang seakan-akan lebih buruk untuk tujuan menyerang lawan politik.
Menurut Yanuar, keduanya merupakan keniscayaan dalam kontestasi pemilu. Ia mengingatkan, agar para peserta selalu mengingat bahwa penggunaan cara-cara kotor dalam pemilu hanya akan memancing keburukan pada diri sendiri.
“Yang banyak menyebarkan hoaks justru dia yang berpeluang kalah dalam kontestasi ini,” terang Yanuar.
Kampanye Hitam Sulit Dikontrol
Kepala BPOKK Partai Demokrat Herman Khaeron menyampaikan, disinformasi dan hoaks yang telah tersebar akan sulit dikontrol di masyarakat. Menurut dia, prinsip politik adalah membangun persepsi publik.
Tidak mengherankan, kata Herman, politikus menggunakan berbagai cara untuk memoles citra diri sendiri. Sebaliknya, ada pula yang sibuk melancarkan serangan untuk menghancurkan citra lawan politiknya.
“Tentunya melakukan downgrading citra pihak lawan. Ini yang saya kira berlebihan dan masuk dalam ranah di luar kepatutan dan etika politik,” ujar Herman.
Ia menambahkan, kontestasi pemilu diharapkan dapat mengedepankan sisi moral dan etika agar dapat memunculkan cara bersaing yang baik. Di sisi lain, penyelenggara pemilu dan pihak-pihak penegak hukum diminta dapat melakukan kontrol yang ketat terhadap perilaku kampanye hitam.
“Jika tidak menegakkan hukum secara ajeg, yang membiarkan pelaku hoaks melakukan perbuatannya, maka selama itu pula terjadi. Kalau betul-betul hukumnya ditegakan, maka ini menjadi daya tangkal dan menimbulkan efek jera,” jelas Herman.
Herman juga mengusulkan jika perlu dibuat pakta integritas bersama para peserta pemilu untuk tidak menggunakan berita bohong dan hoaks. Dengan era digital yang kian masif, disinformasi akan jadi lebih mudah timbul dengan hadirnya influencer yang dibekingi pelaku kampanye hitam.
Dengan adanya pakta integritas, Herman berharap penyelenggara pemilu dapat mengawasi penuh penggunaan kampanye hitam oleh para kontestan. Jika ada yang terbukti melanggar, maka harus dilakukan sanksi yang tegas oleh penyelenggara pemilu.
“Maka (pelaku) dapat didiskualifikasi, kalau itu (dilakukan) menurut saya pasti agak takut juga (pelaku),” terang Herman.
Diprediksi Akan Meningkat
Sekjen DPP Partai Gelora Mahfuz Sidik memprediksi bahwa kampanye hitam akan meningkat tajam setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) meresmikan peserta Pilpres dan Pileg 2024. Utamanya, disinformasi dan hoaks yang akan menjamur di medsos dan ruang-ruang digital.
“Dan dalam hitungan saya, kelihatannya mulai November setelah DCT ditetapkan, setelah capres-cawapres ditetapkan, maka akan menjadi loncatan sangat tajam (hoaks) di dunia digital nanti,” ujar Mahfuz.
Mahfuz berpendapat, ada beberapa faktor yang memengaruhi lonjakan ini. Pertama, kontestan pemilu akan aktif menyasar gen Z dan milenial yang secara kebiasaan, lebih sering hadir dalam ruang digital. Selanjutnya, hadirnya tiga paslon capres-cawapres saat ini, dinilainya memicu benturan kekuatan yang akan semakin keras dalam Pemilu 2024.
“Ada bobot power struggle yang lebih kuat maka pertarungan akan semakin keras,” kata Mahfuz.
Aroma kampanye hitam itu diklaimnya sudah mulai terlihat akhir-akhir ini. Mulai berkembang, kata Mahfuz, narasi potensi kecurangan Pemilu 2024. Ini tidak jauh berbeda menurutnya dengan isu pada pemilu sebelumnya.
“Maka ini menjadi bumbu yang paling sedap untuk proses disinformasi di dunia digital,” ucap Mahfuz.
Belum lagi teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang digunakan untuk mengedit video seolah-olah merupakan rekaman asli. Kemajuan teknologi ini menurut Mahfuz bisa dijadikan strategi kampanye hitam jika tidak diantisipasi.
Di sisi lain, Ketua DPP PPP Syaifullah Tamliha mengkhawatirkan kampanye hitam justru dilakukan oleh organ intelijen negara. Pengerahan operasi intelijen untuk memenangkan pasangan tertentu akan menjadi ancaman bagi penyelenggaraan Pemilu 2024.
Tamliha menambahkan, rawannya penggunaan medsos sebagai media kampanye hitam, seharusnya membuat para politikus untuk berhati-hati dalam berperilaku. Hal ini dikarenakan medsos bisa digunakan untuk menyerang lawan politik dengan memanfaatkan rekam jejak orang tersebut.
“Sehingga kita perlu hati-hati menjaga ucapan dan tindakan hidup kita,” ujar Tamliha.
Ia berharap pemilih muda juga dapat menggunakan medsos dengan bijak dan bermoral. Sementara itu, Tamliha juga menyoroti peran media massa agar selalu objektif dalam memberikan pemberitaan dan bersikap netral dalam Pemilu 2024.
Dampak Kampanye Hitam pada Pemilih
Sementara itu, Ujang Komarudin menilai bahwa penggunaan buzzer alias pendengung dalam kampanye hitam memang diniatkan untuk menciptakan kebenaran baru. Kebohongan yang berulang, kata dia, akan berubah dipercayai khalayak jika dihembuskan secara masif dan konsisten.
“Jika tidak ada yang menangkal maka akan terus menjadi kebenaran,” kata Ujang.
Misalnya narasi kampanye hitam yang mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo seorang PKI. Ujang menyatakan, narasi tersebut banyak dipercayai oleh masyarakat sebagai sebuah fakta karena dihembuskan berulang.
“Maka ketika informasi deras hoaks membanjiri, sangat wajar ini tidak terbendung,” kata dia.
Ujang menyarankan agar elite politik melakukan narasi pembanding dengan fokus pada isu gagasan dan program kontestan Pemilu 2024. Selain itu, ia berharap masyarakat mampu melakukan klarifikasi jika menerima informasi dari medsos.
Dihubungi terpisah, analisis politik dari Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo menyatakan, kampanye hitam akan membuat pemilih menjadi disorientasi terhadap dinamika politik. Pemilih, kata dia, akan kehilangan kemampuan rasional karena informasi yang didapatkan adalah informasi yang salah.
“Sehingga pilihan mereka pun akan menurun drastis kualitasnya. Kualitas-kualitas pemimpin yang dihasilkan dari informasi yang kotor, informasi yang keruh, dan informasi yang beracun tentu akan menghasilkan pemimpin yang juga tidak bersih,” ujar Kunto.
Kunto menambahkan, kampanye hitam juga bisa digunakan untuk mendiskreditkan kelompok tertentu. Isu primordial seperti ras, suku, dan agama sangat rawan ditunggangi untuk kepentingan politik sesaat. Hal ini berbahaya bagi masyarakat karena akan memantik keterbelahan sosial yang meruncing.
“Karena propaganda hitam ini memang tujuannya untuk memecah belah,” kata dia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz