Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Ancaman Teroris Jelang Pemilu 2024, Ada Pergeseran Motif?

Peneliti ISESS Bambang Rukminto menilai ada perubahan motif aksi teror bila mereka ingin mengganggu pemilu.

Ancaman Teroris Jelang Pemilu 2024, Ada Pergeseran Motif?
Ilustrasi teroris. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Ancaman terorisme berpotensi memengaruhi proses Pemilu 2024. Hal ini tidak lepas dari serangkaian penangkapan terduga teroris yang dilakukan oleh Densus 88 Antiteror Polri dalam beberapa hari ke belakang.

Pada 31 Oktober 2023, Densus 88 Antiteror merilis informasi telah menangkap sekitar 59 terduga teroris selama Oktober 2023. Mereka yang ditangkap dari kelompok Jemaah Islamiyah, Jemaah Ansharut Daulah (JAD) maupun Anshor Daulah dengan status tidak terorganisir.

Dalam keterangan kepada wartawan pada Selasa (31/10/2023), Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri Kombes Aswin Siregar menyebut bahwa beberapa tersangka yang ditangkap dari Jawa Barat, Sumatera Selatan, NTB, Kalimantan Barat, Lampung, DKI Jakarta, dan Sulawesi Tengah itu disebut akan mengganggu Pemilu 2024.

“Karena dari keterangan yang disampaikan oleh beberapa tersangka yang telah diperiksa Densus 88, bagi mereka pemilu adalah rangkaian demokrasi,” kata Aswin.

Teranyar, Densus 88 menangkap 2 terduga teroris jaringan JAD di Jawa Barat. Kedua teroris ini disebut anggota JAD jaringan Abu Omar yang berkiblat pada Negara Islam Indonesia. Ia juga mengatakan, dua pelaku bersama 40 pelaku lain yang ditangkap mengaku ingin melakukan amaliyah dengan menggagalkan pemilu.

“Isi grup tersebut membicarakan mengenai giroh, semangat atau membangkitkan semangat untuk kegiatan-kegiatan yang sangat bersinggungan dengan aksi atau melanggar tindak pidana terorisme,” tutur Aswin, Jumat (3/11/2023).

Lebih lanjut, Aswin mengungkapkan, jaringan Abu Omar ini juga melakukan penggalangan donasi yang disalurkan ke suatu tempat. Kemudian, secara rutin dilakukan diskusi-diskusi cara amaliyah penggagalan pesta demokrasi.

“Pada Agustus 2023 yang bersangkutan mengikuti suatu acara kajian di suatu tempat dipimpin UR yang sudah ditangkap di mana menyampaikan rencana menggagalkan pemilu. Kegiatan itu harus dilakukan dengan cara amaliyah, bisa berupa penyerangan dengan sajam atau senpi atau bom bunuh diri semampu masing-masing,” ujar Aswin.

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan bahwa aksi penangkapan menandakan bahwa masih ada potensi aksi teror di masyarakat, terutama jelang pemilu. Ia memastikan pemerintah akan mengawasi gerakan terorisme sambil menjaga pemilu tetap berjalan aman.

“Dari kejadian-kejadian itu ini sebenarnya memberikan awarness kepada kita semua bahwa masih ada jaringan itu hidup dan ideologi yang dia kembangkan atas pikiran dia, yang dia yakini ternyata masih ada di Indonesia. Yang kita inginkan dalam suasana di tengah euforia politik demokrasi tetap mewaspadai gerakan yang berkaitan dengan terorisme,” kata Moeldoko di Gedung Bina Graha, Jakarta, Kamis (9/11/2023).

Hanya Gangguan, Tak Mungkin Bisa Gagalkan Pemilu

Pemerhati terorisme, Harits Abu Ulya, tidak memungkiri bahwa penangkapan yang dilakukan Densus 88 tersebut adalah hasil pemantauan jaringan terorisme pimpinan Abu Umar. Ia menilai, pemantauan dilakukan lewat aplikasi media sosial seperti Whatsapp, Telegram hingga rencana operasi jaringan.

Ia pun mengakui bahwa ada rencana mengacaukan pemilu dengan menggunakan senjata sisa konflik Poso. Ia mengatakan kalau kelompok Abu Umar ini memang punya pandangan ekstrem. Akan tetapi, Abu Ulya pesimistis mereka bisa menggagalkan pemilu yang notabene pesta demokrasi rakyat.

“Ya menurut saya itu rencana melanggar hukum, karena akan dianggap ganggu keamanan dan mencoreng proses demokrasi, tapi apakah teror atau gangguan keamanan yang mereka rencanakan bisa gagalkan pesta demokrasi? Menurut saya tidak sama sekali,” tegas Abu Ulya, Kamis (9/11/2023).

Abu Ulya menilai, aksi Abu Umar hanya ingin membuat gangguan dan menunjukkan ketidaksetujuan terhadap pesta demokrasi. Dalam kacamata dia, Abu Umar meyakini pemilu adalah hal yang salah. Aksi Abu Umar pun diyakini berdasarkan cara berpikir pendek dan emosional. Oleh karena itu, ia menilai narasi kelompok teroris untuk menggagalkan pemilu berlebihan.

“Jikapun benar ada rencana tersebut, maka sungguh tidak korelatif antara rencana dengan kapasitas yang dimiliki kelompok ini. Ya kalau sekadar bikin gangguan di beberapa titik itu bisa, tapi sampai pada taraf menggagalkan, itu jauh panggang dari api,” kata Abu Ulya.

Di sisi lain, Abu Ulya menilai, logika untuk menggagalkan pemilu lewat teror tidak masuk akal. Ia mengatakan, pemilu gagal membutuhkan keputusan politik dan kondisi negara dalam kondisi darurat. Selain itu, belum ada sejarah aksi teror bisa menggagalkan pemilu di Indonesia.

“Emang dalam sejarah 20 tahun terakhir di Indonesia aksi-aksi dari kelompok teror bisa memengaruhi pesta demokrasi sampai gagal? Nothing," kata Abu Ulya.

Ia menambahkan, “Pemilu gagal kalau yang menciptakan teror atau sejenisnya adalah kelompok atau partai atau entitas yang punya kekuatan besar untuk menciptakan instabilitas yang eskalasinya di luar kendali pemerintah.”

Sementara itu, analis keamanan dari ISESS Bambang Rukminto beranggapan bahwa ada perubahan motif aksi teror jika mereka ingin mengganggu pemilu. Ia melihat ada perubahan paradigma pelaksanaan teror.

“Kalau motifnya untuk mengganggu pemilu, artinya ada pergeseran paradigma yang sangat signifikan dari kelompok-kelompok terduga teroris tersebut atau mungkin berasal dari kelompok yang berbeda dari kelompok sebelumnya yang berbasis ideologisasi agama,” kata Bambang, Kamis (9/11/2023).

Bambang mengingatkan, kelompok ekstrem berbasis ideologi agama kerap menggunakan agama sebagai aksi teror. Ia tidak memungkiri situasi Gaza memengaruhi kemunculan kelompok ekstrem menguat di Indonesia. Namun, ada hal baru bila mereka sampai ingin mengganggu pemilu.

“Makanya jadi aneh juga bila kelompok yang ditangkap memiliki motif untuk mengganggu pelaksanaan pemilu, yang relevansinya jauh dari akar masalah terorisme yang terjadi selama ini," kata Bambang.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif ISESS, Khairul Fahmi. Ia tidak memungkiri bahwa teror bisa saja terjadi saat pemilu. Ia mengingatkan, pemilu berpotensi memicu gangguan keamanan yang bisa dimanfaatkan pelaku teror.

“Potensi gangguan keamanan termasuk teror selalu ada karena bagaimanapun kontestasi elektoral seperti ini yang diwarnai dengan isu-isu politik yang memanas segala macam, friksi-friksi yang selalu menghadirkan potensi instabilitas yang kemudian mudah juga dimanfaatkan untuk terjadinya gangguan keamanan,” kata Fahmi.

Akan tetapi, Fahmi menilai, tidak lazim pelaku teror berniat mengganggu pemilu, kecuali ada pergeseran makna 'amaliyah' atau fokus teror.

“Dulu tidak lazim. Berarti, kan, kalau memang penangkapan itu benar, artinya sesuai fakta, ada bukti yang kuat misalnya ya, berarti yang bisa kita simpulkan adalah adanya pergeseran fokus, ada pergeseran amaliyah,” kata Fahmi.

Fahmi mengatakan, pola teror yang dilakukan setelah kelompok Jemaah Islamiyah saat Amrozi CS, terutama saat masa berdirinya Islamic State (ISIS) adalah menggunakan pendekatan panggung yang menyerang ruang terbuka. Mereka melakukan serangan secara acak untuk menebar rasa takut dan dilakukan sambil mengikuti isu tertentu seperti perayaan hari kemerdekaan atau perayaan natal dan tahun baru.

“Artinya kalau sekarang ada pergeseran, sampai ada penangkapan yang menonjol, ya berarti kemungkinan adalah mereka, ya malas memilih isu dan yang paling dekat ini soal pemilu karena juga potensi kekisruhannya banyak, sehingga mereka akhirnya lebih leluasa untuk beraktivitas, ya merekrut, ya melakukan propaganda, terus merencanakan aksi," kata Fahmi.

Fahmi menilai, aksi penangkapan pelaku teror bisa diapresiasi sebagai bentuk aparat tidak lalai dalam bertugas. Namun, Fahmi berharap agar aksi penangkapan tidak dimaknai sebagai upaya membangun keresahan di masyarakat.

Ia berharap aparat untuk tidak menggunakan aksi penangkapan sebagai bentuk menebar teror baru bahwa aksi terorisme masih menghantui jelang pemilu. Ia juga berharap aparat tidak menggunakan momen potensi aksi teror sebagai upaya mencari keuntungan.

“Kita harus ingatkan aparat-aparat penegak hukum dan aparat keamanan lainnya juga dalam konteks ini sama-sama meluruskan niat, mendasarkan aktivitasnya pada itikad baik supaya pemilu ini benar-benar terselenggara dengan aman dan sukses, bukan sekadar motif-motif yang terkait, misalnya penambahan anggaran yang kesannya hanya untuk mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan isu-isu potensi gangguan keamanan,” kata Fahmi.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz