tirto.id - Keberadaan Mayor Teddy Indra Wijaya, ajudan Prabowo Subianto di tengah-tengah para tim sukses dalam debat capres perdana menuai polemik. Para netizen di media sosial ramai-ramai menyoroti keberadaan Mayor Teddy yang notabene anggota TNI aktif di barisan pendukung capres-cawapres nomor urut 2.
Salah satu tokoh yang ikut mempertanyakan adalah akademisi sekaligus pendiri lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani. Ia menyebut ada anggota TNI aktif, yakni Mayor Teddy terlibat dalam tim sukses Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
“Mayor Teddy Indra Wijaya (TNI aktif, dilingkari) jadi anggota tim sukses 02? Bukan melanggar UU itu?” demikian Saiful Mujani dalam cuitan di akun Twitternya.
Setelah ramai menjadi perbincangan di media sosial, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melakukan penelusuran soal dugaan keterlibatan Mayor Teddy. Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty, mengatakan bahwa berbagai pihak sudah menyampaikan lewat media sosial mereka dan menautkan dengan akun Bawaslu. Kini, mereka tengah melakukan kajian internal dengan pendekatan kepemiluan.
“Kalau soal netralitas ASN, TNI-Polri itu, kan, sudah enggak bisa diragukan lagi, itu sudah termaktub baik di Undang-Undang 7 [2017 tentang Pemilu], maupun Undang-Undang Polri, ataupun Undang-Undang TNI. Nah, dalam konteks ini nanti kami akan sampaikan, karena kajian sedang kami lakukan, jadi sabar, nanti kami sampaikan,” kata Loly, Minggu (17/12/2023).
Loly memastikan kajian tengah dilakukan dan upaya penelusuran sedang berjalan. Ia pun menargetkan kajian selesai pekan depan. Saat ditanya apakah kemungkinan bisa dikenakan sanksi, ia masih melihat sebagai potensi.
“Potensi dugaan pelanggaran tentu kami harus menyatakan berpotensi terjadi dugaan pelanggaran, tapi hasilnya seperti apa, masih dalam kajian Bawaslu,” kata Loly.
Apa Kata TNI, Jubir Prabowo, dan TKN Prabowo-Gibran?
Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, menjawab soal polemik Mayor Teddy berada di barisan timses saat debat capres perdana. Dahnil mengklaim, Teddy hadir dalam rangka bertugas sebagai ajudan. Ia juga menilai, hal tersebut sesuai amanat undang-undang.
“Yang bersangkutan sedang melakukan tugasnya sebagai ajudan dan pengawalan melekat bukan kampanye, secara umum kehadiran ajudan TNI/Polri dalam acara politik adalah wajar dan sah, ajudan TNI/Polri memiliki tugas perlindungan pengamanan terhadap atasan mereka, dan ini diatur dalam Peraturan Panglima TNI Nomor 56 Tahun 2012,” kata Dahnil kepada Tirto, Senin (19/12/2023).
Dahnil juga menekankan, semua capres mendapat pengawalan sehingga wajar. “Semua Capres mendapatkan pengawalan resmi dari aparat, dan hal tersebut sudah diatur,” kata Dahnil.
Hal senada juga diungkapkan Juru Bicara TKN Prabowo-Gibran, Fahri Hamzah. Ia membenarkan soal kehadiran Mayor Teddy pada debat capres, tetapi ia menegaskan soal posisi Teddy sebagai ajudan, bukan timses.
“Ini Mayor Inf Teddy Indra Wijaya ajudan yang melekat pada menhan. Artinya bahkan ia harus ikut berbaur. Makanya lulusan terbaik US Army Infantry School di Fort Benning, USA itu sering nampak memakai baju samaran. Alias mirip bosnya. Karena dia harus melekat dan melindungi,” kata Fahri lewat akun X-nya miliknya. Tirto sudah mendapat izin mengutipnya.
Fahri juga menceritakan pengalaman dirinya sebagai pemimpin lembaga negara. Pria yang pernah menjadi Wakil Ketua DPR itu pernah punya ajudan polisi sehingga memahami betul posisi Teddy.
“Jadi tahu lah ajudan itu tugasnya menurut UU gimana. Dia melekat. Jadi gitu. Saya pernah liburan sekeluarga enggak mau ajak ajudan. Dimarahin dianya oleh corps ajudan. Akhirnya dia diam-diam ke tempat saya libur,” kata Fahri.
Sementara itu, Kapuspen Mabes TNI, Laksamana Muda Julius Widjojo, menekankan kehadiran Mayor Teddy dalam rangka status sebagai ajudan. Ia juga menegaskan bahwa kehadiran Teddy tidak mewakili TNI.
“Dia hanya ajudan yang mengikuti kegiatan menhan. Tidak mewakili institusi TNI atau kepentingan pribadi (ajudan melekat ikut kegiatan menhan),” kata Julius kepada Tirto, Senin (18/12/2023).
Julius menekankan, situasi akan berbeda jika Teddy atau prajurit aktif lain datang ke acara tersebut atas kehendaknya sendiri. Selain itu, situasi akan salah jika Teddy datang dengan mengenakan pakaian militer.
“Kehadirannya tidak mewakili institusi TNI atau pribadi yang ikut berpolitik, yang bersangkutan hanya memosisikan dirinya sebagai ajudan, tidak lebih,” kata Julius.
Perlu Pengaturan Tambahan
Peneliti pemilu dari Perludem, Fadli Ramadhanil, mengatakan bahwa pejabat negara yang menjadi capres-cawapres tidak boleh menggunakan fasilitas negara, kecuali fasilitas protokoler yang melekat pada dirinya. Namun, ia mengkritik soal posisi Mayor Teddy dalam acara debat tersebut.
“Mestinya kalau ajudan itu bagian dari fasilitas protokoler, mestinya ajudan atau sekretaris dari pejabat negara tersebut, termasuk Prabowo, mestinya bersikap selayaknya ajudan, apalagi dia adalah TNI aktif, dia tidak harusnya terlibat dalam gerakan ekspresi dan menyuarakan aktivitas politik praktis dalam bentuk kampanye yang saat ini dilaksanakan,” kata Fadli kepada Tirto, Senin (18/12/2023).
Menurut Fadli, Teddy sebagai anggota TNI tidak seharusnya bersorak, mengacungkan simbol nomor urut, duduk di barisan tim kampanye, dan hal yang menunjukkan simbol dukungan. Ia menekankan bahwa protokoler harus bertindak sesuai protokoler umumnya.
Hal ini berbeda dengan kasus mantan Kabinda Papua Barat, Brigjen TSP Silaban, yang heboh karena surat dukungan kepada Ganjar beberapa waktu lalu. Mayor Teddy berposisi sebagai ajudan yang bertugas untuk menempel pada pejabat negara. Sementara itu, Silaban kala itu adalah pejabat negara yang menjadi bagian penyelenggara negara.
Dalam kacamata Fadli, kasus seperti Mayor Teddy perlu diatensi lebih jauh. Ia menyarankan agar ada pengaturan lebih jauh soal upaya menjaga netralitas, baik dari perilaku, penugasan hingga tingkah laku.
“Sangat penting itu diatur secara jauh lebih detail, terutama di TNI Polri yang harus dijaga netralitasnya, tindak tanduk personelnya di mana pun mereka bertugas dan sekarang yang muncul kan persoalan ajudan ya. Lagi pula menurut saya agak berlebihan juga fenomena ajudan yang kemudian ada di barisan pendukung, ikut memperlihatkan gestur dukungan politik, menunjukkan simbol citra diri dan dukungan dari pasangan calon presiden ini harus diperiksa," kata Fadli.
Sementara itu, pemerhati militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, memberikan sejumlah catatan dari sisi militer terkait kasus Mayor Teddy. Ia menekankan netralitas TNI adalah agenda reformasi yang diamanatkan dalam Pasal 39 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa anggota TNI dilarang terlibat menjadi anggota partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih sebagai anggota legislatif dan jabtan lain. Mabes TNI juga telah menerbitkan buku saku netralitas TNI dalam pemilu dan pilkada.
Selain itu, UU Nomor 25 tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer menyatakan bahwa pelanggaran hukum disiplin adalah perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata tertib militer dan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pidana yang sedemikian ringan sifatnya, dengan jenis hukuman berupa teguran; penahanan disiplin ringan paling lama 14 (empat belas) hari; atau penahanan disiplin berat paling lama 21 (dua puluh satu) hari.
Di sisi lain, sesuai Pasal 93 UU Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu, mengamanatkan Bawaslu agar mengawasi netralitas aparatur sipil, TNI dan Polri. Berdasarkan Pasal 95, Bawaslu berwenang menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran pelaksanaan aturan pemilu dan memberikan rekomendasi hasil pengawasan netralitas aparat tersebut.
Fahmi juga mengingatkan Pasal 280 ayat 2, 3 dan 4 dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 yang juga mengamanatkan tentang TNI dilarang terlibat dalam pelaksanaan kampanye dan dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu. Ia mengingatkan bahwa Pasal 494 UU Pemilu juga memberikan sanksi pidana kurungan 1 tahun dan denda Rp12 juta.
“Mengacu pada poin-poin di atas, maka kajian pengawasan atas potensi dugaan pelanggaran netralitas TNI sebagaimana diatur UU Pemilu yang dilakukan oleh Mayor Teddy, sudah semestinya dilakukan oleh Bawaslu, termasuk dengan meminta keterangan pada yang bersangkutan dan pihak-pihak lain. Bawaslu kemudian harus menyampaikan rekomendasinya pada instansi yang bersangkutan, dalam hal ini TNI,” kata Fahmi, Senin (18/12/2023).
Fahmi menilai, ada dua upaya yang bisa digunakan dalam penyelesaian masalah hukum terhadap Mayor Teddy sesuai UU TNI. Pertama, penegakan hukum lewat UU 25 tahun 2014 tentang Hukum Disiplim Militer. Hal ini bisa diterapkan apabila hasil kajian Bawaslu menyatakan Teddy berada di arena debat bersama tim kampanye Prabowo dan mengenakan atribut berkaitan kontestasi.
Opsi kedua adalah penyelesaian secara peradilan militer sesuai Pasal 494 UU Pemilu. Namun, mekanisme ini bisa diambil apabila hasil kajian Bawaslu menyimpulkan bahwa Mayor Teddy diduga melanggar Pasal 280 ayat (3) dengan ikut serta menjadi pelaksana dan/atau tim kampanye.
Berdasarkan hasil pemantauan Fahmi, ia ragu ada keterangan maupun bukti permulaan yang digunakan Bawaslu untuk menyimpulkan Mayor Teddy telah ikut serta dan/atau diikutsertakan sebagai pelaksana dan/atau tim kampanye sesuai 280 ayat 2 dan 3 UU Pemilu.
Ia menduga, Bawaslu mungkin hanya akan menyimpulkan pelanggaran disiplin terkait peraturan/pertintah netralitas di lingkungan TNI.
“Karena itu, rekomendasi penyelesaiannya akan berada dalam ruang lingkup hukum disiplin militer sebagaimana diatur UU Nomor 25 tahun 2014. Jika dinyatakan bersalah, dia bisa mendapat tindakan disiplin maupun hukuman disiplin berupa teguran, penahanan disiplin ringan, atau penahanan disiplin berat. Hukuman itu akan diikuti oleh sanksi administratif dan dicatat dalam buku hukuman disiplin militer," kata Fahmi.
Fahmi juga menekankan bahwa kasus Teddy berbeda dengan Silaban. Kasus Silaban ada pada ranah netralitas TNI di Pasal 39 UU TNI daripada pelanggaran UU Pemilu. Akan tetapi, larangan UU TNI tidak disertai ketentuan pidana yang mengatur soal pelanggaran dan kejahatan.
Dengan demikian, pelanggaran larangan dalam politik praktis seperti kasus Silaban hanya ditangani dengan pendekatan disiplin militer. Hukuman yang dijatuhkan dapat teguran, penahanan disiplin ringan maupun peranan disiplin berat disertai sanksi administratif, kemudian juga dicatat di buku hukuman.
“Nah yang kita tidak tahu sampai saat ini, apakah Brigjen TSP Silaban sudah menjalani proses penegakan hukum disiplin militer itu atau belum? Kemudian kita juga tidak tahu apakah penarikan Brigjen Silaban dari jabatannya sebagai kepala Binda Papua Barat itu merupakan bentuk sanksi administratif yang menyertai hukum disiplin militer atau tidak?" kata Fahmi mempertanyakan.
Fahmi menilai, TNI sebaiknya membuat sosialisasi masif kepada publik maupun penyelenggara pemilu agar jelas dan tegas apa saja tugas serta peran prajurit yang bisa dikecualikan dari ketentuan sekaligus larangan tentang netralitas, baik UU Pemilu maupun UU TNI.
Namun, ia mengingatkan bahwa Teddy adalah ajudan Prabowo. Dengan kata lain, tindakan Teddy harus mengikuti ketentuan atau protokol TNI dalam bertugas.
“Artinya aktivitas Mayor Teddy tidak bisa dipersepsikan sama dengan prajurit TNI yang atas keinginan atau kehendaknya sendiri terlibat dalam politik praktis atau pemenangan pemilu,” kata Fahmi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz