Menuju konten utama
Pemberantasan Korupsi

Firli Bahuri Lagi-Lagi Mangkir, Dewas KPK Didesak Tancap Gas

Dewas KPK didesak semestinya langsung memutuskan dugaan pelanggaran kode etik Firli Bahuri secara in absentia.

Firli Bahuri Lagi-Lagi Mangkir, Dewas KPK Didesak Tancap Gas
Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri (kiri) berjalan seusai menjalani pemeriksaan oleg Dewan Pengawas KPK di gedung ACLC KPK, Jakarta, Selasa (5/12/2023). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/wpa.

tirto.id - Mangkir, sepertinya menjadi rutinitas Firli Bahuri saat berurusan dengan masalah etik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua KPK nonaktif itu, tidak tampak batang hidungnya dalam agenda sidang dugaan pelanggaran kode etik, yang seharusnya dilaksanakan Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Kamis (14/12/2023). Firli meminta Dewas menunda agenda sidang sampai praperadilan atas penetapan tersangka dirinya menemui kesimpulan.

Dia mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Firli tidak terima atas penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya kepada dirinya, dengan sangkaan menerima gratifikasi dan memeras bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Sidang praperadilan ini akan diputus pada Senin (18/12/2023).

Mangkirnya Firli kali ini tidak mengagetkan, bahkan sudah menjadi manuver basi. Mantan Kapolda Sumatera Selatan itu punya catatan panjang mangkir dari panggilan Dewas. Lebih jauh, sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya, Firli berulang kali mangkir dari panggilan polisi dengan sejumlah alasan.

Permintaan penundaan sidang dugaan pelanggaran etik Firli Bahuri, diaminkan oleh Anggota Dewas KPK, Syamsudin Haris. Menurut dia, Dewas tetap menggelar sidang pembukaan dugaan pelanggaran etik untuk menentukan jadwal selanjutnya memanggil Firli.

“Pak FB (Firli Bahuri) minta sidang etik setelah tanggal 18, alasannya beliau masih mengikuti praperadilan kasus pidananya itu, kan, sedang berlangsung di pengadilan. Nah, beliau minta supaya sidang etik itu dilakukan setelah tanggal 18,” kata Syamsuddin di Gedung KPK, Kamis (14/12/2023).

Menurut Syamsuddin, dalam ketentuan setiap sidang etik harus dihadiri oleh pihak yang dilaporkan. Terkecuali, ketidakhadiran sudah dilakukan kesekian kali dengan alasan yang jelas.

“Ya kalau terlapor tidak hadir, kami tidak bisa melakukan sidang,” ucap dia.

Syamsuddin mengungkap, Dewas KPK menargetkan perkara etik Firli Bahuri bisa rampung sebelum libur Natal dan Tahun Baru 2024. “Ya itulah, kami maunya cepat selesai bagaimanapun ini, kan, menjadi beban juga bagi Dewas,” tambah dia.

Anggota Dewas KPK lainnya, Albertina Ho, menyampaikan pihaknya sepakat mengabulkan permintaan penundaan sidang etik yang diajukan Firli Bahuri. Sidang dijadwalkan ulang pada Rabu, 20 Desember 2023, pekan depan.

Dia menambahkan, jika dalam sidang itu Firli Bahuri kembali tidak hadir, maka agenda sidang etik akan tetap dilanjutkan. Rencananya, akan ada 27 saksi yang dihadirkan dalam sidang tersebut.

“Mudah-mudahan tidak ada kejadian luar biasa lagi ya,” kata Albertina, Kamis (14/12/2023).

Sebagai informasi, ada tiga dugaan pelanggaran etik yang menyandung Firli. Pertama, ihwal pertemuan dan komunikasi berulang yang dilakukan Firli dengan Syahrul Yasin Limpo. Kedua, soal harta kekayaan yang tidak dilaporkan secara benar di laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Ketiga, soal penyewaan rumah mewah di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Dewas KPK Mesti Tancap Gas

Sejumlah pegiat antikorupsi menyayangkan sikap Dewas KPK yang seakan terhanyut dengan kemauan Firli. Dewas diharap tidak mengalah dan mampu bersikap tegas untuk menghasilkan putusan yang objektif.

Putusan tegas bisa menjadi bentuk sikap tidak toleransi atas segala bentuk pelanggaran di badan KPK. Tentu sangat miris, ketika korupsi memangsa komisi antikorupsi dari dalam dirinya sendiri.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zaenur Rohman, menyampaikan Dewas KPK seharusnya terus tancap gas untuk melanjutkan sidang dugaan pelanggaran etik Firli. Menurut dia, hal ini bisa dilakukan dengan terus berpegang pada prinsip objektivitas.

“Kehadiran terperiksa itu adalah hak, bukan kewajiban, kalau menurut saya gitu ya. Hak untuk melakukan pembelaan diri, memberikan informasi pembanding, dan lain-lain,” kata Zaenur kepada reporter Tirto, Jumat (15/12/2023).

Dia menjelaskan, ketika Dewas KPK menyelenggarakan sidang etik, seharusnya mereka sudah memegang informasi, keterangan, dan alat-alat bukti untuk menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik terlapor. Zaenur menambahkan, jika menunggu Firli Bahuri hadir terus-menerus, justru akan menghambat jalannya perkara etik yang membelitnya.

“Jadi menurut saya, segera saja Dewas melanjutkan persidangan, ambil putusan, dan kemudian masalah ini akan cepat selesai,” tambah dia.

Namun, Zaenur menyatakan bahwa Dewas KPK memang tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan Firli. Dewas hanya bisa meminta Firli Bahuri mengundurkan diri jika terbukti melanggar etik.

Selain itu, perkara pidana yang bergulir di Polda Metro Jaya, seharusnya bisa menguatkan Dewas untuk mengambil putusan tegas. Di sisi lain, hasil putusan Dewas, juga dapat meyakinkan polisi bahwa Firli Bahuri memang bermasalah sebagai pucuk pimpinan KPK.

Ketua IM57+ Institute, M Praswad Nugraha, menyatakan seharusnya KPK Dewas langsung memutuskan dugaan pelanggaran kode etik Firli secara in absentia. Hal ini karena sudah dipanggil secara patut pada dia kesempatan namun dia tidak hadir.

“Jika Dewas kembali mengulur-ulur perkara ini dengan alasan terlapor tidak hadir, saya pikir Dewas bisa langsung mengundurkan diri saja jika tidak sanggup lagi menjalankan tupoksinya menegakkan kode etik,” tegas Praswad dihubungi Tirto, Jumat (15/12/2023).

Praswad berharap, putusan etik Dewas KPK adalah meminta Firli Bahuri untuk mengundurkan diri jika terbukti melakukan pelanggaran berat. Hal ini dapat membuat kepemimpinan Firli menjadi kehilangan legitimasi jika dipaksa terus dilanjutkan.

“Saat itu juga Firli Bahuri kehilangan legitimasinya untuk meneruskan jabatannya sebagai pimpinan dan Ketua KPK,” terang dia.

Reporter Tirto sudah berupaya meminta tanggapan Firli Bahuri dan kuasa hukumnya, Ian Iskandar. Kendati demikian, permohonan wawancara yang dilayangkan Tirto ke nomor ponsel keduanya, tidak mendapatkan respons.

Pembelaan Rekan di Praperadilan

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, ikut menjadi sorotan dalam pusaran perkara pidana Firli Bahuri. Sebab, Alex menjadi saksi meringankan dalam sidang praperadilan penetapan tersangka Firli di PN Jakarta Selatan, Kamis (14/12/2023). Hal ini atas permintaan Firli lewat tim kuasa hukumnya.

Dia menerangkan soal proses penanganan perkara korupsi di KPK kepada hakim tunggal Imelda Herawati. Lebih jauh, Alex juga menjelaskan pandangannya terkait kode etik pimpinan KPK bertemu pihak berperkara, yang tercantum dalam Pasal 36 di Undang-Undang KPK. Dia menilai, pimpinan KPK yang tidak sengaja bertemu dengan pihak berperkara belum tentu dapat disebut melanggar kode etik.

Usai agenda sidang, Alex juga mengaku akan diperiksa oleh polisi terkait kasus dugaan pemerasan Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri. Namun, dia belum dapat memastikan kapan jadwal pemeriksaan tersebut dapat dihadirinya.

“Jadi, saya dipanggil untuk memberikan keterangan yang meringankan, jadi waktunya terserah saya. Nanti saya akan koordinasikan kembali ya,” kata Alex kepada awak media.

Terakait ini, Praswad menilai, secara etika tidak pantas Alex hadir sebagai saksi meringankan atas perkara dugaan pemerasan Firli Bahuri. Mengingat, kata dia, jabatan melekat pada diri Alex selaku pimpinan lembaga pemberantas korupsi.

“Jika Alex memang sudah tidak berniat untuk melanjutkan tugas sebagai pimpinan KPK, silakan mengundurkan diri,” kata Praswad.

Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, tidak merasa heran dengan sikap Alex yang hadir meringankan perkara Firli. Boyamin menilai, keduanya memang merupakan rekan dekat cukup lama.

“Karena memang bestie gitu istilahnya, saya selalu menganggapnya Pak Alex dan Pak Firli itu bestie. Saya bahkan mendapatkan informasi (kedekatan) itu sudah sejak zaman pencalonan Pak Firli jadi deputi penindakan KPK,” ucap Boyamin kepada reporter Tirto, Jumat (15/12/2023).

Dia menilai seharusnya Alexander malu karena telah membela Firli Bahuri. Padahal, saat ini Firli Bahuri sudah ditetapkan menjadi tersangka dugaan kasus pemerasan dan gratifikasi.

“Sebenarnya tidak layak untuk jadi pembelaan KPK. Apalagi kemarin (di praperadilan) dalam kesaksiannya itu, mempertanyakan batasan etik untuk bertemu dengan pihak berperkara,” ujar Boyamin.

Boyamin menilai tindakan tersebut mengecewakan, terlebih dilakukan pimpinan KPK. Dia berharap Dewas KPK juga dapat menemukan indikasi pelanggaran etik terkait kehadiran Alexander Marwata sebagai saksi yang meringankan Firli Bahuri.

Reporter Tirto sudah berupaya meminta tanggapan Alexander atas pendapat yang menyasar dirinya. Kendati demikian, pesan yang dilayangkan ke nomor ponselnya, hanya bertanda ceklis dua alias terkirim tanpa dibaca.

Sementara itu, ahli hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, menilai dengan diajukannya Alexander sebagai saksi meringankan di kepolisian, artinya dia dianggap mengetahui peristiwa pemerasan Firli. Perlu ditelisik keterlibatan Alexander jika memang dia mengetahui perkara yang tengah diungkap pihak Polda Metro Jaya.

“Kesempatan bagi kepolisian untuk menyelidiki Alex juga. Jika ada bukti permulaan yang cukup, bisa diperdalam terutama tentang keterlibatannya,” ujar Fickar saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (15/12/2023).

Fickar menambahkan, seharusnya hasil praperadilan yang nanti diputus hakim adalah menolak upaya Firli. Sebab, kata dia, Polda Metro Jaya dinilai tidak mungkin gegabah menetapkan seseorang menjadi tersangka.

“Pasti sudah ada dua alat bukti yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka,” tutur dia.

Baca juga artikel terkait KASUS FIRLI BAHURI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz