tirto.id - Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Indonesia menyatakan, banyak panti sosial disabilitas mental di berbagai daerah melakukan praktik tidak manusiawi kepada para penghuni panti.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, Yeni Rosa Damayanti menegaskan hampir semua panti sosial yang pihaknya kunjungi terindikasi melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM).
“Hampir semua, bahkan di data yang kita kumpulin ini kan terbatas ya, hampir semua. Dari panti yang kita datangin, ada yang dirantai, ada yang diisolasi, enggak boleh keluar apa bedanya sama tahanan?,” kata Yeni ditemui reporter Tirto seusai seminar internasional bertajuk “Penyiksaan Yang Tersembunyi: Kondisi Panti-panti Penyandang Disabilitas Di Indonesia”, di Gedung Smesco, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
PJS Indonesia mencatat, pada tahun 2014, jumlah panti sosial yang menangani kelompok penyandang disabilitas — termasuk disabilitas mental — ada sekitar 800 panti.
Sedangkan berdasarkan pendataan pada tahun 2021, terdapat 12.314 penyandang disabilitas mental yang terkurung di dalam 180 panti sosial disabilitas.
“Di beberapa panti, penghuni harus beristirahat, buang air kecil, air besar di tempat yang sama,” ujar Yeni.
Adapun mereka kebanyakan hanya diberi makan dua kali sehari. Itupun, kata Yeni, dengan porsi kecil dan menu seadanya.
“Faktor sanitasi buruk dan nutrisi yang tidak memadai merupakan penyebab tingginya angka kematian di panti-panti rehabilitasi mental,” tambah Yeni.
Selain itu, banyak panti sosial disabilitas mental menempatkan penghuni laiknya sebuah penjara. Mereka ditempatkan dalam ruangan tertutup bertralis besi.
Menurut laporan PJS Indonesia, beberapa pelanggaran yang ditemukan berupa kekerasan, hilangnya privasi dan hak memiliki, pemaksaan tindakan medis dan non-medis, pelecehan seksual, kontrasepsi paksa, dan eksploitasi.
PJS Indonesia mencatat, hampir semua panti yang dikunjungi tidak memiliki mekanisme pengaduan untuk melaporkan kekerasan yang dialami penghuni.
“Pasca Indonesia meratifikasi CPRD (Committee on the Rights of Persons with Disabilities) pada tahun 2011, pemerintah tidak pernah memiliki perencanaan strategis untuk melakukan deinsititusionalisasi panti sosial dan rumah sakit jiwa di Indonesia sebagaimana yang dimandatkan oleh CPRD Pasal 19,” tegas Yeni.
Deinsititusionalisasi, kata Yeni, merupakan mandat yang telah disetujui oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Mekanisme ini mewajibkan para penyandang disabilitas mental dikeluarkan dari panti-panti sosial tempat mereka terkurung, untuk didampingi dan difasilitasi haknya tengah masyarakat.
“Bahwa yang bermasalah bukan sekadar kondisi pantinya, tapi hak hidup secara bebas dan inklusif di masyarakat itu yang jadi penegasannya. Jadi tidak boleh ada orang yang dirampas kebebasannya secara sewenang-wenang,” pesan Yeni.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri