Menuju konten utama
Kebijakan Energi

Potensi Jebolnya Anggaran Subsidi Energi, Pemerintah Harus Apa?

Potensi jebolnya kuota subsidi energi tahun ini dikarenakan pola konsumsinya yang belum mampu dikendalikan secara optimal.

Potensi Jebolnya Anggaran Subsidi Energi, Pemerintah Harus Apa?
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati (kedua kanan) bersama anggota komisi VI DPR I Nyoman Parta (ketiga kanan) meninjau stok elpiji 3 kilogram saat sidak Pangkalan LPG 3 kilogram di Denpasar, Bali, Minggu (30/7/2023). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nz

tirto.id - Kementerian Keuangan tengah mewanti-wanti kuota subsidi bahan bakar minyak (BBM), LPG, hingga listrik akan kembali 'jebol' pada tahun ini. Risiko terlampauinya kuota tersebut, otomatis akan membuat kantong Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) ikut membengkak.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Isa Rachmatarwata mengatakan, potensi jebolnya kuota subsidi energi tahun ini dikarenakan pola konsumsinya yang belum mampu dikendalikan secara optimal sebagaimana tahun lalu. Karenanya perlu ada pengendalian konsumsi ke otoritas terkait.

“Mengenai risiko pelampauan kuota subsidi BBM, LPG, kami terus cermati hal itu karena ada potensi [jebol]” kata Isa saat konferensi pers APBN Kita.

Berkaca pada 2022 misalnya, pemerintah memang telah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi BBM 2022 sebesar lebih dari tiga kali lipat, yaitu dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun.

Besaran subsidi Rp502,4 triliun tersebut bahkan tidak cukup hingga akhir tahun lalu. Ini karena kenaikan harga internasional dan volume penggunaan yang semakin naik dipengaruhi meningkatnya aktivitas masyarakat.

Untuk menjaga hal tersebut, Isa menuturkan, Kemenkeu akan terus memantau perkembangan realisasi belanja subsidi tahun ini. Pemerintah juga akan bekerja sama dengan badan usaha Pertamina dan PLN agar bisa mengendalikan volume BBM dan listrik.

“Kami terus kerja sama dengan Pertamina dan PLN untuk bisa kendalikan volume dari BBM dan listrik yang disubsidi untuk dikonsumsi,” kata dia.

Berdasarkan data APBN Kita, sampai dengan Juli 2023, realisasi pembayaran untuk subsidi energi telah mencapai Rp145,9 triliun. Pemberian subsidi energi itu terdiri dari subsidi LPG 3 kg, listrik, dan BBM.

Untuk subsidi LPG 3 kg sendiri, pemerintah sudah mengeluarkan Rp37,7 triliun dari alokasi anggaran Rp117,85 triliun di tahun ini. Angka tersebut setara dengan pemberian subsidi LPG 3 kg sebanyak Rp6,9 triliun setiap bulan untuk 4 juta masyarakat yang membutuhkan.

Kemudian jumlah subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk keperluan listrik hingga Juli 2023 sebesar Rp48,5 triliun. Artinya pemerintah sudah memberikan Rp6,9 triliun per bulan untuk 39,2 juta pelanggan listrik.

Sedangkan untuk untuk subsidi BBM dan kompensasi, pemerintah telah mengeluarkan Rp59,7 triliun. Dengan angka itu, berarti pemerintah mengeluarkan Rp8,5 triliun per bulannya.

Dari ketiganya, subsidi LPG 3 kg mengambil porsi terbesar bila dibandingkan dengan subsidi BBM dan listrik. Oleh karena itu, pendistribusian LPG 3 kg harus tepat sasaran agar dapat bermanfaat bagi masyarakat miskin ataupun masyarakat yang rentan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Kuota LPG Selalu Jebol

Jika menilik data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kuota penyaluran LPG 3 kg setiap tahunnya rentan melebihi kuota. Ini tercermin dari realisasi penyaluran LPG 3 kg sepanjang 2018 sampai dengan 2022 terus meningkat.

Pada 2018, realisasinya mencapai 6,53 juta metrik ton (MT) melebihi dari kuota yang ditetapkan 6,45 juta MT. Selanjutnya pada 2019, realisasi sebesar 6,84 juta MT dari kuota 6,98 juta MT. Untuk 2020, realisasi 7,14 juta MT melebihi kuota penetapan 7,00 juta MT.

Sedangkan pada 2023, kuota LPG tabung 3 kg ditetapkan sebesar 8,00 juta MT termasuk cadangan 0,5 MT. Adapun realisasi penyaluran sampai dengan Mei 2023 mencapai 3,32 juta MT atau 41,6 persen.

Sementara untuk kuota BBM subsidi sendiri pada tahun ini disediakan pemerintah sekitar 17,5 juta kiloliter. Jumlah itu terdiri dari 17 juta kiloliter solar dan 500 ribu kiloliter minyak tanah.

Dua jenis BBM tersebut dikategorikan sebagai jenis BBM tertentu (JBT) yang mendapatkan subsidi dari pemerintah. JBT berbeda dengan jenis BBM khusus penugasan (JBKP), di mana Pertalite termasuk di dalamnya, yang mendapatkan kompensasi. Namun, harga kedua BBM tersebut sama-sama ditetapkan oleh pemerintah.

Berdasarkan data Pertamina, penyaluran solar subsidi hingga Juni 2023 telah mencapai 8,34 juta kiloliter. Jumlah itu setara dengan 49 persen dari kuota solar subsidi yang telah ditetapkan pemerintah.

Namun, jika melihat trennya sejak 2019, kuota solar subsidi tahun ini menurun dibanding 2022. Akan tetapi, angkanya masih lebih tinggi dibanding kuota 2019 hingga 2021. Realisasi penyaluran solar subsidi umumnya lebih rendah dibanding kuota yang ditetapkan, kecuali pada 2019 ketika realisasinya lebih besar 1,23 juta kiloliter dibanding kuota yang ditetapkan.

Meski demikian, Isa mengaku, dampaknya pada APBN sejauh ini masih belum terasa. Ini karena harga BBM dan bahan baku untuk hasilkan listrik tahun ini lebih rendah dari yang diperkirakan dalam penyusunan APBN 2023.

“Tapi akan terus kami cermati terutama kami ingin ajak semua pihak untuk tetap jaga konsumsi BBM, listrik, LPG bersubsidi bisa kita kendalikan bersama dan tidak melampaui kuota yang sudah ditetapkan," ujarnya.

PERTAMINA TAMBAH PASOKAN GAS LPG 3 KG

Pekerja mengangkut tabung gas elpiji 3 kilogram bersubsidi di Pangkalan Gas di Cibubur, Jakarta Timur, Sabtu (25/4/2020). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/hp.

Menilik Penyebab Jebolnya Subsidi Energi

Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menilai, ada dua penyebab yang membuat kuota subsidi energi jebol. Pertama, karena fluktuasi harga minyak, LPG, hingga batu bara meningkat.

“Ini karena akibat terganggunya keseimbangan geopolitik dunia," ujar Yusri kepada reporter Tirto, Selasa (15/8/2023).

Kedua, kata Yusri, tak lepas dari terjadinya praktek penyimpangan konsumsi oleh konsumen yang tak berhak, tetapi menggunakan BBM solar subsidi. Contohnya masih banyak digunakan secara salah untuk kebutuhan industri tambang, perkebunan dan industri lainnya.

Di sisi lain, kelangkaan terhadap LPG 3 kg untuk kebutuhan rakyat miskin juga diakibatkan karena terjadi praktek mengoplos dari LPG 3 kg dipindahkan ke tabung LPG 12 kg. Sehingga perlu ada tindakan tegas mesti dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini.

“Hal yang perlu dilakukan adalah melakukan tindakan penegakan hukum yang bisa menimbulkan efek jera secara meluas dan masif," ujarnya.

Demi menjaga agar kuota subsidi energi tidak jebol, Yusri mendorong, pemerintah untuk memperbaiki tata kelola distribusi yang lebih transparan dan akuntabel. Termasuk menggunakan teknologi digitalisasi yang terintegrasi.

“Bisa dengan data produk digitalisasi yang bisa diakses oleh aparat pemeriksa ataupun aparat penegak hukum,” kata dia.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga juga mendorong pemerintah untuk mempercepat proses pencocokan data masyarakat yang memang layak menerima subsidi LPG 3 kg. Sehingga subsidi tersebut bisa lebih tepat sasaran dan gas LPG 3 kg, PSO tidak over kuota hingga akhir tahun.

Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan upaya-upaya lain untuk mengurangi beban subsidi LPG ini. Seperti, mempercepat program jargas, mengurangi ketergantungan gas LPG dengan program percepatan adopsi kompor listrik/kompor induksi dan kompor surya.

“Kita perlu belajar dari kesalahan saat konversi minyak tanah ke gas LPG 15 tahun lalu, kita tidak boleh hanya bergantung dari 1 sumber energi saja untuk kebutuhan rumah tangga, diperlukan adanya bauran energi,” kata dia.

Sementara dari sisi BBM, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi meminta, agar pemerintah segera melakukan pembatasan BBM. Dalam hal ini, kata Fahmy, yang boleh mengonsumsi BBM bersubsidi hanya sepeda motor dan angkutan umum saja. Di luar itu bisa dialihkan ke Pertamax Cs.

“Saya kira pemerintah harus berani melakukan pembatasan BBM, sudah tidak ada upaya pembatasan efektif. Karena subsidi BBM dan LPG salah sasaran dan besar sekali itu membuat jebol anggaran subsidi," ujarnya.

Menurut dia, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini, adalah mengubah sistem distribusi pembelian LPG 3 kg dari sebelumnya terbuka menjadi tertutup. Sebab, dengan sistem pembelian terbuka, siapa pun bisa membeli gas melon tanpa ada teguran dan sanksi.

“Itu mesti diubah dari sistem terbuka menjadi tertutup," imbuhnya.

Dalam upaya pengaturan pembelian, Pertamina tidak perlu lagi melakukan pencocokan data menggunakan P3KE. Sekalipun ingin, harusnya bisa menggunakan data Kementerian Sosial atau Sekretariat Presiden yang selama ini menjadi rujukan untuk bantuan sosial bagi kelompok penerima manfaat (KPM).

Peluncuran program MyPertamina tebar hadiah

Warga menunjukan aplikasi MyPertamina saat melakukan pembelian BBM non subsidi di SPBU Damalang, Cilacap Tengah, Cilacap, Jateng, Kamis (1/6/2023). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/aww.

Langkah Pertamina

Dalam mendukung penyaluran LPG bersubsidi sampai ke masyarakat yang berhak, Pertamina Patra Niaga mengklaim sudah melakukan uji coba pencocokan data dan transaksi digital LPG 3 kg di wilayah Sumatera Selatan.

Area Manager Communication, Relation & CSR Pertamina Regional Sumbagsel, Tjahyo Nikho Indrawan mengatakan, tujuan program ini adalah sebagai upaya pendistribusian LPG 3 kg yang lebih transparan dan tepat sasaran serta uji coba ini dilakukan di sub penyalur atau pangkalan resmi LPG 3 kg.

“Pencocokan data konsumen rumah tangga dan usaha mikro dilakukan di sub penyalur atau pangkalan resmi LPG 3 kg tanpa perlu penggunaan smartphone atau gadget milik konsumen," ujar Nikho dalam pernyataanya.

Pencocokan data ini disinergikan dengan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Nikho menambahkan dalam tahap pendataan, masyarakat masih dapat membeli LPG 3 kg di pangkalan resmi seperti biasanya. Pembeli di pangkalan hanya perlu menunjukkan kartu Tanda Penduduk (KTP) dan/atau Kartu Keluarga (KK), dan apabila sudah terdata dalam sistem hanya cukup menunjukkan KTP untuk pembelian selanjutnya.

“Namun jika belum terdata masyarakat dapat mendaftarkan NIK KTP dan KK di sub penyalur atau pangkalan resmi dengan pendaftaran hanya dilakukan sekali. Perubahan hanya pada skema transaksi, ada pencatatan dan pengecekan data secara digital terlebih dahulu sebelum bisa bertransaksi," imbuhnya.

Untuk pemenuhan kebutuhan LPG 3 kg, di wilayah Provinsi Sumatera Selatan sendiri terdapat 7.237 Pangkalan LPG serta Pertamina telah menyiagakan sebanyak 1.983 pangkalan yang siap untuk pencocokan data.

Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso menyampaikan, Pertamina melakukan berbagai upaya untuk memastikan penyaluran LPG bersubsidi tepat sasaran, salah satunya dengan pencocokan data dan transaksi digital, sesuai dengan ketentuan.

“LPG bersubsidi memiliki kriteria hanya untuk golongan yang tidak mampu dan kuotanya telah ditetapkan, sehingga distribusi LPG subsidi harus tepat sasaran,” kata Fadjar.

Dalam mewujudkan pendistribusian yang tepat sasaran, Pertamina berkoordinasi dengan pemerintah daerah, kepolisian setempat, serta mengajak masyarakat turut mengawasi dan melaporkan apabila mengetahui adanya penyimpangan maupun pendistribusian yang tidak tepat sasaran.

Baca juga artikel terkait SUBSIDI ENERGI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz