tirto.id - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saat ini kerap terjadi di sejumlah lokasi. Hal tersebut berpotensi semakin meningkat lantaran saat ini tengah memasuki musim kering atau El Nino yang makin memperparah karhutla.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan, puncak musim kemarau diprakirakan terjadi pertengahan Agustus hingga September 2023. Selama kurun itu panas meningkat.
“Nanti setelah masuk Oktober mulai berkurang, berkurang tapi masih kering. Nah, diprediksi hujan ini November,” kata Dwikorita sebagaimana dikutip Antara pada 25 Agustus 2023.
Semasa cuaca panas dan kering, lanjut dia, peluang terjadi kebakaran hutan dan lahan meningkat, sehingga BMKG mengimbau beberapa daerah untuk mewaspadai terjadinya karhutla ini. Daerah-daerah yang harus mewaspadai potensi karhutla adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Apalagi belakangan ini sudah banyak kasus kebakaran yang terjadi. Pada 26 Agustus misal, di Gunung Arjuno, Jawa Timur terjadi kebakaran. Akibatnya, gunung dengan ketinggian 3.339 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu ditutup. Padahal pada 25 Mei 2023 kawasan Gunung Arjuno juga terjadi karhutla.
Karhutla juga melanda wilayah Norabelen dan Nobo, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak Jumat (25/8/2023). Saat ini terus meluas.
Lalu, karhutla juga terjadi di Desa Tarai Bangun, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Riau, Senin (28/8/2023). Lokasi titik api karhutla yang berjarak dekat dengan SMP Negeri 8 Tambang bahkan sempat memenuhi lingkungan sekolah hingga mengganggu aktivitas belajar siswa.
Karhutla juga sampai memakan korban di Tapin, Kalimantan Selatan. Seorang petani Supian Suri (55) tewas akibat tak memakai alat pelindung diri (APD) saat berupaya memadamkan karhutla.
Tantangan Karhutla saat El Nino
Auriga Nusantara menyatakan, fakta di lapangan yang ditemukan selama dua dekade terakhir (2001-2019), mengungkapkan kelalaian manusia berkontribusi besar dalam karhutla. Sebagian besar titik panas berada di lahan gambut, terutama di Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Ini yang kemudian menyebabkan kebakaran semakin sulit dipadamkan. Api menjalar di perut gambut dan memicu bencana asap.
“Kesimpulan analisis Auriga Nusantara terhadap titik panas atau hotspot sepanjang 20 tahun terakhir, cenderung berulang dan di lokasi yang sama secara administratif," kata Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung melalui keterangan tertulisnya, Selasa (29/8/2023).
Ia menjelaskan, titik panas tersebut cenderung meninggi pada bulan yang sama di kabupaten yang sama di tujuh provinsi; Riau (proporsi hotspot 19%), Kalimantan Tengah (19%), Kalimantan Barat (13%), Sumatera Selatan (12%), Jambi (5%), Papua (5%), dan Kalimantan Selatan (4%).
Ditelisik lebih dalam, titik api berulang tersebut ternyata tidak hanya di dalam konsesi monokultur, tapi juga di kawasan konservasi.
“Data hotspot juga menunjukkan bahwa muncul fenomena episentrum api baru di provinsi (masih) kaya hutan, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Utara,” ucapnya.
Ia menambahkan, ketujuh provinsi tersebut adalah provinsi kaya gambut. Misal 2019, salah satu tahun puncak kebakaran di Indonesia, hotspot di area gambut tertinggi terjadi di Sumatera, yakni di Jambi, Sumatera Selatan, dan Riau. Tiga provinsi ini juga mencetak rekor titik panas tertinggi di lahan gambut dalam 20 tahun terakhir.
Sejalan dengan temuan tersebut, Pantau Gambut memaparkan dampak strategis dari kasus polusi udara dan karhutla di gambut yang meningkat secara konstan dalam beberapa bulan terakhir.
Sebagai gambaran, hingga 13 Agustus 2023, Pantau Gambut menemukan adanya 4.175 hotspot pada area Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) yang tersebar pada 212 area KHG di 81 kabupaten/kota di 18 provinsi. Tercatat pula adanya titik panas yang masuk ke dalam wilayah 27 konsesi korporasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, pergerakan investasi pada industri ekstraktif dan monokultur skala besar terus bergeser dari Indonesia bagian barat ke arah Indonesia bagian timur, termasuk Papua.
“Hal ini menimbulkan konsekuensi pada peningkatan risiko bencana ekologi seperti karhutla maupun banjir. Apabila dilihat secara proporsi, Provinsi Papua Selatan menjadi provinsi dengan KHG yang memiliki kerentanan terbanyak dan Provinsi Kalimantan Tengah menjadi provinsi dengan kerentanan terluas,” kata Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas.
Ia berpendapat bahwa proyek strategis nasional lumbung pangan atau food estate juga menyumbang potensi kerentanan tinggi yang menyebabkan adanya hotspot penyebab karhutla. Pembukaan lahan atau alih fungsi lahan gambut dari hutan menjadi lahan untuk penggunaan lainnya memungkinkan terjadinya karhutla.
Contohnya kerentanan di KHG di daerah Sungai Ifuleki Bian–Sungai Dalik di Provinsi Papua Selatan menjadi KHG dengan proporsi kerentanan karhutla terbesar. Upaya restorasi lahan gambut seharusnya sudah dilakukan sejak 20 tahun yang lalu.
“Sayangnya, hingga kini ini pemerintah masih abai dengan restorasi lahan gambut yang serius dan hanya pernyataan secara seremonial saja. Untuk itulah, karhutla masih terus terjadi,” tuturnya.
Yayasan Madani Berkelanjutan memperkenalkan perhitungan Area Indikatif Terbakar (AIT) sebagai alat bantu penanggulangan karhutla di Indonesia. AIT memberikan gambaran pergerakan kebakaran dari bulan ke bulan yang relatif lebih dini, sehingga bisa digunakan untuk mencegah perluasan karhutla.
Analisis AIT menunjukkan bahwa karhutla 2023 sudah pasti akan lebih buruk daripada 2022. Sampai Agustus 2023 saja, 262.000 hektare diindikasikan sudah atau sedang terbakar. Dan 85% area tersebut terindikasi terbakar dalam dua bulan terakhir.
“Padahal, El-Nino belum mencapai puncaknya sampai dengan September. Analisis ini adalah ‘alarm’ bagi para pemangku kepentingan untuk segera bertindak mengendalikan kebakaran sebelum semakin meluas,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad.
Langkah Mitigasi
Nadia mengatakan, dalam upaya penanggulangan karhutla, kementerian, lembaga dan pemda wajib bersinergi sesuai dengan koridornya masing-masing. Pasalnya, pihaknya mencatat luas AIT meningkat berkali-kali lipat di wilayah izin hutan tanaman, perkebunan sawit, dan konsesi minerba serta konsesi migas dalam dua bulan terakhir.
Hal ini perlu menjadi perhatian KLHK, Kementan, Kementerian ESDM, Kemendagri dan para kepala daerah. Sayangnya, Kementerian ESDM tidak termasuk lembaga yang dimandatkan dalam Inpres No. 3 Tahun 2020.
Ia juga mengingatkan bahwa 2 dari 10 provinsi dengan AIT terluas, yaitu Aceh dan Papua, belum menetapkan status Siaga Darurat Karhutla.
Langkah lainnya adalah melakukan mitigasi bencana yang lebih holistik berbasis konservasi ekosistem dan tata ruang. Perlu adanya kolaborasi multipihak dalam upaya melakukan mitigasi tersebut, sehingga kolaborasi tersebut dapat melahirkan penanganan kebencanaan yang berkelanjutan untuk memastikan kesejahteraan masyarakat.
“Penanganan yang efektif juga perlu menyesuaikan dengan kearifan lokal dan fungsi ekologis daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu melakukan proteksi lingkungan dan pengurangan risiko karhutla,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Gita Syahrani mengatakan, pemerintah perlu memasukkan agenda konservasi hutan dalam konteks ketangguhan bencana ke dalam dokumen perencanaan, baik jangka panjang, menengah, serta spesifik untuk pencegahan dan penanggulangan bencana.
Perencanaan dan penganggaran yang baik dapat menjadi bekal daerah agar sinergi antardinas dan pemangku kepentingan memiliki ketahanan dalam beradaptasi pada iklim ekstrem seperti saat ini, yaitu kemarau panjang yang disertai dengan fenomena El Nino, dapat berlangsung dengan baik.
Seluruh perencanaan jangka panjang nasional dan daerah Indonesia akan habis pada 2025, sehingga penting sekali untuk memastikan agar rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2025-2045 yang prosesnya dimulai sejak tahun ini sudah memuat perspektif perlindungan ekosistem penting di masing-masing daerah, termasuk hutan dan gambut, untuk meningkatkan ketangguhan bencana.
Dokumen perencanaan juga perlu mengarahkan proyek prioritas nasional dan daerah agar mendukung masyarakat dalam pengembangan model ekonomi dan usaha yang membantu peningkatan ketangguhan bencana.
“Misalnya lewat pembentukan kelompok masyarakat peduli api, upaya patroli wilayah oleh desa dan pengolahan komoditas ramah hutan dan gambut untuk mempertahankan kondisi biofisik,” kata dia.
Pemerintah Klaim Telah Lakukan Penanganan
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian LHK, Thomas Nifinluri mengatakan, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk melakukan upaya penanggulangan karhutla.
“Saat ini, karhutla di beberapa wilayah sudah berhasil dipadamkan. Namun, Manggala Agni dan Satgas Dalkarhutla di daerah masih melakukan upaya pemadaman di beberapa titik," kata Thomas kepada Tirto, Selasa (29/8/2023).
Ia menjelaskan, provinsi yang saat ini mendapat perhatian dari pemerintah adalah wilayah yang terdapat lahan gambut seperti Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, dan Kaltim. Namun, hotspot yang terpantau saat ini sudah mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan minggu lalu. Hotspot yang terpantau pada hari ini hanya di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur.
Sebagai langkah antisipasi karhutla, dilakukan upaya-upaya pengendalian karhutla, yang meliputi upaya pencegahan, penanggulangan dan penanganan pasca karhutla. Meliput menggiatkan patroli pencegahan karhutla, baik patroli mandiri yang dilakukan Manggala Agni maupun patroli terpadu yang beranggotakan tim yang terdiri dari Manggala Agni bersama anggota Polri, TNI, tokoh masyarakat dan Masyarakat Peduli Api (MPA) sepanjang tahun.
Penyadartahuan pencegahan karhutla melalui sosialisasi dan kampanye kepada masyarakat baik secara langsung maupun melalui berbagai media juga dilakukan, kata dia.
Koordinasi dan komunikasi intensif antar stakeholder terkait pengendalian karhutla dari tingkat pusat, daerah hingga ke tingkat tapak. Kemudian pelaksanaan rekayasa cuaca melalui operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk pembasahan areal gambut untuk menurunkan potensi karhutla.
Monitoring dan deteksi dini hotspot yang terpantau karhutla monitoring system; melakukan verifikasi lapangan/groundcheck hotspot yang terpantau; peningkatan peran serta masyarakat melalui aktivasi kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA); dan pemadaman darat secara dini jika ditemukan karhutla.
“Pemadaman udara terutama di lokasi remote area dengan aksesibiltas yang sulit dan penegakan hukum terus dilakukan,” kata dia.
Sementara itu, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengklaim, telah berupaya melakukan pencegahan karhutla, khususnya kebakaran di lahan gambut. Gambut yang terbakar pasti gambut kering. Hal tersebut karena manusia bangun kanal-kanal untuk mengeringkan.
“Makanya BRGM membangun sekat-sekat kanal untuk menahan air gambut jangan keluar sia-sia ke sungai atau laut untuk jaga gambut tetap basah tidak mudah terbakar,” kata Kepala Kelompok Kerja Kerjasama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat, Didy Wurjanto kepada Tirto, Selasa (29/8/2023).
Saat ini, kata Didy, pemerintah gencar melakukan upaya pencegahan karhutla. Bila Karhutla terjadi, terdapat satgas gabungan untuk pemadaman.
“BRGM berperan bekerja sama dengan BRIN memodifikasi cuaca melalui pelaksanaan teknologi modifikasi cuaca atau membuat hujan buatan," tuturnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz